“Mom, aku sudah sampai.”
Letty terkekeh, tetapi matanya tampak berkaca-kaca lantas dua bulir cairan bening jatuh ke pipinya. Ya Tuhan, rasanya baru sebentar Letty bersama putrinya dan sekarang dia harus merelakan sebuah perpisahan yang Letty sendiri tak tahu apakah dia bisa bertemu dengan putrinya lagi atau tidak.
Namun, kenyataan seolah selalu ingin menyudutkan Letty dan mendorongnya ke tepi jurang terdalam. Membuat Letty tak memiliki banyak pilihan selain merelakan putrinya dibawa pergi oleh ayahnya.
“Mommy?”
Panggilan itu membuat Letty bergeming. Sebisa mungkin ia meredam suara tangisan yang sesungguhnya bagai ingin meledak di dalam tenggorokannya. Wanita muda itu berusaha untuk tegar. Sekalipun masih sesenggukan, tetapi Letty berusaha keras untuk tegar. Semua ini demi keluarganya.
“Ya, Sayang. Maaf, Ibu sedikit melamun,” ucap Letty. Wanita muda itu menutup ucapannya dengan terkekeh. Semua itu dilakukannya agar supaya Aurora tak menghawatirkannya.
“Mommy, kamu harus jaga diri di sana. Kamu sudah berjanji jika Ibu Canadia sudah sembuh kalian semua akan kembali ke New York. Mommy tidak perlu menghawatirkan aku. Aku akan baik-baik saja di sini. Aku juga tak akan merepotkan ayah. Aku janji.”
Ucapan Aurora membuat Letty tertawa dalam balutan tangis air mata. Betapa perih hati Letty Van Der Lyn saat tahu jika putrinya sudah sangat beranjak dewasa. Aurora bagai orang dewasa yang terjebak dalam tubuh anak kecil. Bukan baru kali ini, tetapi sudah banyak kali Aurora menunjukkan sikap dewasanya. Dan semua itu membuat Letty ingin menangis tersedu-sedu. Namun, sekali lagi wanita muda itu harus mengendalikan perasaan emosional yang nyaris menguasainya tersebut.
“Yeah,” gumam Letty tentunya dengan nada lirih. “I believe you.” Lanjut Letty. Tampak sepasang bulu matanya bergerak ke sudut, memandang jendela yang terbuka. Letty meletakkan punggung tangannya di depan bibir untuk menahan teriakannya agar tidak sampai keluar.
“Apa ... Mommy sedang menangis?”
“No!” jawab Letty sambil menggelengkan kepalanya, seakan-akan Aurora sedang melihatnya. Bahkan wanita itu mengusap air matanya dengan cepat dan memastikan bahwa tak ada lagi kesedihan di wajahnya.
“No, baby. I’m not crying,” ujar Letty.
“Tapi aku mendengar suara tangisan, Mommy, are you okay?”
Letty menghela napas dan menahannya di d**a. Wanita muda itu diam sejenak. Jantung Letty masih berdebar-debar dengan perasaan sakit sehingga ia memilih untuk menangkan diri. Setelah beberapa detik, Letty pun akhirnya tertawa.
“Tidak, Sayang. Mommy hanya sedang menonton serial di televisi. Filmnya menyedihkan, mommy ikut menangis.” Letty menutup ucapannya dengan tergelak.
“Benarkah?”
Namun, Aurora terlalu sulit untuk dibohongi.
“Hem,” gumam Letty. “bolehkah mommy bicara dengan daddy?” tanya Letty. Ini adalah salah satu cara untuk menghindari pertanyaan berlebihan dari Aurora.
“You wanna talk with daddy?”
Sambil tersenyum, Letty pun menganggukkan kepalanya. “Yes, Honey. Can I?”
“Sure!” jawab Aurora. “Dad!” Terdengar Aurora memanggil. “Mommy wanna talk with you.”
“Oh. Sayang, ayah sudah siapkan makan malammu. Kamu mau makan sekarang atau tunggu ayah?”
“Tidak. Aku akan menunggumu. Aku akan pergi dan main dengan Lily.”
Letty kembali tersenyum saat mendengar suara putrinya.
“Oke, kalau begitu pergilah. Ayah akan menyusulmu.”
“Hem!” gumam Aurora. “Mommy, I wanna go. Just don’t cry!”
Letty tak bisa berhenti tersenyum dan sesungguhnya putrinya itu semakin dewasa.
“Hey, Baby!”
Suara Alexander membuat Letty bergeming. Senyumnya masih bertahan di wajah. “Hei ...,” jawab Letty.
“Everythings good?”
“Yeah!” jawab Letty sambil menganggukkan kepalanya. “yeah. We good. Don’t worry,” ujar Letty.
“Heum ... tapi kedengarannya kamu baru saja menangis. Ada apa?”
Lagi-lagi Letty memejamkan mata dan kali ini ia tak berusaha menahan kesedihannya. Letty kembali menangis, sekalipun dia mengulum bibirnya kuat-kuat dan meredam suara tangisan agar jangan sampai terdengar hingga ke Aurora.
“Yeah,” jawab Letty akhirnya.
“What’s wrong?” tanya Alexander.
Lagi-lagi Letty menggelengkan kepalanya. “I don’t know. Rasanya seperti ada yang meremas dadaku. Rasanya sakit!” Letty tersekat di akhir kalimatnya. “seperti baru kemarin aku bersama putriku dan sekarang aku harus—“
“Hei ....” Alexander menyergah dengan gumaman rendah dan menangkan. Letty kembali meremas bibirnya. Gumaman itu malah membuat Letty ingin berteriak dan mengeluarkan perasaannya.
“It’s okay,” gumam Alexander.
“Alex, aku hanya—“
“Baby, listen to me,” sergah Alex. “aku tahu ini keputusan besar dan aku tahu ini sulit bagimu. Namun, kamu tidak boleh membiarkan perasaan rindu ini melemahkan dirimu. Ingat, sebentar lagi kamu akan memasuki markas para mafia. Bukankah kamu sendiri yang bilang kalau setitik keraguan dalam dirimu bisa meruntuhkan konsentrasi dan akibatnya akan sangat fatal?”
Letty kembali memejamkan mata. Sungguh pun, wanita muda itu tak dapat mengontrol air mata yang terus berderai keluar. Adalah sebuah ungkapan dari lubuk hati yang benar-benar terluka.
“Hem ...,” gumam Letty sambil menganggukkan kepalanya.
“Sayang, aku hanya ingin kamu berkonsentrasi. Terhadap apa pun itu karena satu-satunya yang akan membawamu kembali padaku adalah setelah kamu menyelesaikan misi ini. Kau tahu, aku juga sangat tersiksa. Rasanya aku ingin merantai kedua kakiku agar aku tidak ke sana dan menyusulmu. Sungguh!”
“Alex ...,” panggil Letty dengan nada lirih.
“Ya, Letty. Aku sangat tidak tahan untuk tidak menghampirimu untuk itu jangan buat aku menunggu terlalu lama. Selesaikan semua ini dan kembalilah kepada kami. Tolong ....”
Bibir Letty gemetar. Matanya semakin terasa perih oleh ledakkan air mata yang kembali menggenangi pelupuk matanya.
“Alex ....” Letty memanggil nama suaminya dalam lirihan. Tubuhnya terkulai hingga ke lantai dan sungguh hatinya serasa disayat dengan belati. Sakit!
“It’s okay, Baby. Kami akan baik-baik saja. Kapan pun kamu ingin menelepon, jangan ragu. Kumohon. Dan ... kumohon jangan menghawatirkan apa pun. Aku juga yakin jika pamanmu akan baik-baik saja. Kamu juga bilang kalau kamu akan pergi bersama timmu dan aku sudah melihat bagaimana kalian begitu solid. Aku yakin sebesar apa pun kekuatan musuh, tak ada yang dapat meruntuhkan kuatnya kekuatan sebuah persaudaraan. So ... please, be strong. Don’t be sad for anything.”
Masih sambil berderai air mata, Letty pun menganggukkan kepalanya. “Ya!” gumam Letty. Bagai ada sesuatu yang tiba-tiba saja menguatkan hatinya. Letty pun secara perlahan bangkit dari lantai.
“You wanna be strong for us?”
Letty kembali menganggukkan kepalanya. “Ya!” jawab Letty dengan tegas.
“Good. Now, raise up and show them that the dark Angel is back.”
Wajah Letty yang tadi tampak sedih seketika berubah menjadi tak berekspresi. Wajahnya menjadi tegas serta tatapannya yang menikam pada bayangan di depannya. Menghadap ke cermin, Letty pun melihat tangannya mengepal dengan kuat.
“Angkat dagumu,” perintah Alexander dan Letty tak ragu untuk mengikutinya. “well, sepertinya sudah lama sayap itu tak mengepak. Sekarang kepakkan!”
Letty memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam dan seolah sedang mengirim sugesti pada dirinya sendiri dan ketika ia membuka mata, Letty seolah melihat ada sepasang sayap berwarna hitam di belakang punggungnya. Lambang kekuatan yang terselubung dengan rasa sakit.
“Letty, listen closly and remember what I say. Kamu adalah malaikat kegelapan. Ketika sayap itu telah mengepak maka semua lawan harus merasakan ketakutan dan teror yang besar. Buatlah agar kamu tak perlu menyerang dan menumpahkan darah. Buatlah agar tanganmu tak perlu ternoda bahkan walau itu hanya setitik debu. Your mind is your bullet. Use them!”
Wajah Letty membesar bagai balon. Sungguh pun, jantungnya datang dengan ketukan berbeda. Setiap ketukannya bagai berusaha membangunkan sesuatu yang sudah lama tertidur.
“Kamu mendengarkan aku?”
“Yeah!” jawab Letty.
“Good. Sekarang gunakan The Dark Angel untuk berperang. Letty tak boleh tahu. Dia harus tetap bersembunyi dan bermain dengan kesenangan. Pikirkan Aurora dan biarkan The Dark Angel melakukan tugasnya.”
Tampak sepasang rahang itu mengencang sempurna serta tatapan matanya yang berubah. Diam dan brutal, bagai pemangsa paling kuat. Leonard Van Der Lyn yang sedari tadi berdiri di depan pintu dan mengintip lewat celah pintu lantas memicingkan mata. Namun, sejurus kemudian ia pun mendelik dan merinding di tempat.
“Yeah!”
Suara Letty pun berubah terdengar tegas. Garang. Menakutkan.
“Letty,” gumam Leonard. Tak berselang lama, Letty pun menoleh ke belakang. Leonard yang melihatnya kian mendelik. Apalagi ketika Letty tak berucap lagi dan begitu saja memutuskan sambungan telepon. Letty langsung berjalan menghampiri adiknya.
“Let’s find him!” gumam Letty dengan suaranya yang terdengar dalam.
Leonard benar-benar tak bisa berkata-kata. Sungguh pun, ia belum pernah melihat Letty seperti ini, bahkan alam bawah sadar Leonard ikut merinding dibuatnya. Entah apa yang dikatakan Alexander hingga membuat Letty seperti ini. Namun, satu hal yang Leonard harus tahu bahwa wanita yang baru saja melintas di depannya mungkin sudah bukan kakaknya lagi.