Status Baru

1348 Kata
Dia yang mengejar aku dan dia juga yang menceraikan ku. Siapa lagi kalau bukan mantan suamiku. Setelah malam itu aku belum pernah bertemu lagi dengannya. Semua proses perceraian di urus oleh orang kepercayaan keluarganya. Mereka pasti takut aku menuntut harta gono-gini yang sudah dijanjikan sebelum pernikahan. Aku lebih baik hidup serba pas-pasan seperti ini dibandingkan bergelimang harta milik pria jahat itu. Sungguh aku lebih nyaman hidup dengan status baru sebagai seorang janda. “Dyah bisa tolong saya?” “Sejak pagi Mas sudah minta tolong. Kali ini butuh bantuan apa lagi?” “Aku butuh teman kondangan. Kamu pergi ke toko baju belilah gaun yang bagus. Setelah itu, ke salon untuk dandan. Acara akan di mulai pukul 7 malam.” Nah, mulai lagi gilanya. Minta tolong ditemani kondangan tapi bilangnya sudah jam 6 sore. Baru juga selesai sholat magrib sudah kerasukan setan lagi. Malas menjawab aku kembali menghitung pendapatan dan pengeluaran harian klinik. Biar saja Bos menyebalkan mencari teman kondangan di pinggir jalan. Memangnya cari gaun dan dandan tidak membutuhkan waktu lama? Bisa-bisanya hanya memberiku waktu satu jam. “Dyah, apa kamu tidak mendengar ucapanku barusan?” “Dengar kok, Mas. Aku enggak bisa membantu Mas Agung. Maaf, cari orang lain saja,” tolak ku. “Orang lain siapa yang kamu maksud?” Aku mengangkat kedua bahuku. Ya, mana aku tahu teman-teman wanita Mas Agung. Malah tanya sama aku. Hah, akhirnya Mas Agung kembali ke ruangannya. Tidak memaksaku ikut ke kondangan. Status baruku membuat orang sering salah paham. Senyum sedikit dengan seorang pria pasti akan muncul berita aku memiliki pacar baru. Jangankan pacar baru pacar pertama saja aku tidak pernah punya. Dijodohkan lalu menikah setelah itu diceraikan. Selucu itu kisah cintaku. Dugh ... “Awww, Pak satpam kenapa nggak bilang kalau ada kaca?!” Aku buru-buru membantu seorang wanita yang kesusahan membawa koper kecil juga beberapa gamis. Mempersilahkannya masuk ke ruang Mas Agung. Apa dia salah tempat ya? Ini klinik hewan tapi perempuan itu seperti seorang MUA. Wajahnya sangat familiar tapi aku lupa siapa namanya. “Mau kemana Dyah?” tanya Mas Agung. “Kembali ke meja kerja,” jawabku. “Apa aku harus membuatkan minuman?” “Tidak, kamu masuklah ke dalam kamar itu.” Mas Agung menunjuk kamar pribadinya. “Iren akan membantumu bersiap-siap. Waktu kita tidak banyak jadi jangan melamun dan cepatlah masuk.” Mendapatkan titah dari atasan aku bergegas masuk. Aku baru ingat jika Mbak Iren ini MUA yang disewa Bunda saat aku lamaran. “Cantik sini,” panggil Mbak Iren. “Langsung pakai gaunnya ya. Si Agung bakal ngomel-ngomel kalau aku lambat bekerja. Jadi mohon kerjasamanya.” Demi kebaikan semua orang, aku mengambil gaun yang dibawa Mbak Iren lalu masuk ke dalam toilet. Aku membuka pintu setelah mengingat sesuatu. “Mbak ...” “Iya, ada apa?” “Boleh aku mandi sebentar? Seharian bekerja rasanya tidak nyaman pergi ke kondangan tanpa mandi.” “Cepat ya mandinya. Enggak usah terlalu bersih yang penting kena air dan sabun.” Aku menganggukkan kepala kemudian menutup kembali pintunya. Untungnya ada handuk bersih dan perlengkapan mandi di dalam sini. Pasti ini milik Mas Agung tapi tak masalah karena keadaan darurat. Salah sendiri minta ditemani kondangan dadakan. Badan terasa segar setelah mandi meskipun kilat. Bau rambut dan badanku seperti pria. Aku butuh banyak parfum untuk menyamarkan baunya. “Cantik sekali kamu, Dek.” “Make up Mbak Iren yang membuatku cantik.” “Sebelum di make up kamu sudah cantik. Sepertinya kita pernah bertemu ya. Tapi dimana?” Aku tersenyum ketika Mbak Iren membantu menata hijab ku. Saking banyaknya klien dia sampai melupakan ku. “Malah senyam-senyum bukannya menjawab.” “Kita pernah bertemu saat aku lamaran, Mbak,” jawabku. “Oh, iya, kah?” tanya Mbak Iren tak percaya. “Agung bilang kamu masih single saat ditelpon tadi loh, Dek.” “Benar yang dikatakan oleh Mas Agung. Aku memang single tapi statusku pernah menikah. Orang-orang sering menyebutku Janda.” “Issshhh, memangnya kenapa kalau janda? Sekarang tuh banyak janda yang sukses setelah disakiti para suami tidak tahu diri,” ucap Mbak Iren menggebu-gebu. “Asal kamu tahu, Dek. Aku juga janda kok. Seperti slogannya merk motor, janda semakin di depan, haha.” Bisa-bisanya Mbak Iren ngelawak. Dia sama sepertiku sudah bisa berdamai dengan takdir. Tidak lagi meratapi nasib karena pernikahan gagal dan berujung perceraian. “Sudah, cantik banget! Agung pasti tambah terpesona sama kamu.” “Terpesona apanya, Mbak? Dia tuh galak banget. Kalau ngomong pedes ngalahin cabai setan.” “Caper sama kamu. Aslinya dia baik banget dan tentunya royal. Aku saja dibayar mahal agar mau datang ke sini.” Ketika aku ingin bertanya, Mas Agung sudah lebih dulu membuka pintu. Mengatakan jika sudah waktunya kami berangkat ke kondangan. Gaun yang kupakai malam ini sangat cantik. Tak ku sangka warnanya senada dengan jas yang dipakai Mas Agung. Pantas saja Mbak Iren minta bayaran mahal. Ternyata bosku pelanggan VIP. *** “Siapa yang menikah, Mas?” “Anak tetangga. Rumahnya tepat di depan rumah Mama.” “Lah, masih tetangga Bunda juga dong.” “Iya, memangnya kenapa? Justru bagus kamu sudah mengenal pengantinnya.” Aku berdecak kesal. Mencubit lengan Mas Agung hingga dia berteriak kesakitan. Mengajakku pergi ke kondangan tetangga bisa jadi aku akan bertemu dengan kedua orang tuaku. Apa dia tidak pernah berpikir sampai ke sana? “Aku enggak mau turun!” seruku. “Mas masuk ke tempat acara sendiri saja.” “Takut ketemu mantan?” tanya Mas Agung, tersenyum miring ke arahku saat mobil berhenti ditengah kemacetan. “Tenang saja, aku akan membantumu membalas rasa sakit hatimu.” Dih, bantuin. Justru dia yang selalu mengungkit-ungkit perceraianku setiap hari. Mengatakan jika aku tidak bisa move on karena sering kepergok melamun. Bukannya belum move on tapi aku sedang memikirkan cara bertemu dengan Bunda. Sejak malam pernikahan sekaligus perceraianku sampai sekarang aku belum bertemu dengannya. Ayah tidak mengizinkanku masuk ke dalam rumah. Dan, Bunda diancam akan diceraikan jika diam-diam menemui ku. “Gak usah nangis! Make up Iren mahal sekali harganya,” omelnya. “Siapa yang mau nangis?” “Gaun yang kamu pakai pun harganya mahal. Jangan sampai kotor ataupun rusak.” “Dih, sampai segitunya. Lagipula siapa yang minta dibelikan gaun mahal. Mas Agung sendiri yang mengundang Mbak Iren dan membelikan gaun ini.” Akhirnya mobil sampai di depan hotel. Acaranya pernikahan anak tetangga kami di ballroom hotel ini. Aku harus menyiapkan hati seluas samudera untuk menerima cibiran-cibiran manusia julid. “Dadamu sesak? Bilang saja kalau butuh nafas buatan.” Plak!!! Aku memukul lengan Mas Agung. Bicara suka sembarangan. “Aku baru resmi bercerai dan tidak ada niatan untuk menikah lagi.” “Apa hubungannya dengan nafas buatan?” “Ya, ada lah. Memberi nafas buatan itu berarti kita akan berciuman. Mohon maaf ya, Mas. Aku tidak tertarik berciuman denganmu!” Tak!!! Gantian Mas Agung yang menjitak keningku. “Pikiranmu kotor sekali. Kita bukan mahram mana boleh berciuman. Jangan-jangan kamu berharap aku cium. Ayo ngaku?” “Lah, kok maksa. Enggak mungkin aku memikirkan soal ciuman. Apalagi dengan Mas Agung, dih ...” Sebelum turun aku kembali menata penampilanku. Meskipun tamu tak di undang aku harus tampil menarik. Biar orang-orang tidak terlalu menghinaku. Mas Agung dengan tidak sabaran memintaku agar cepat turun. Mulutnya bawel sekali pengen aku kuncir pakai karet pecel. “Eh, tunggu sebentar, Mas.” Aku menutup kembali pintu mobil saat melihat mantan suami dan mertuaku. “Biar mereka masuk ke dalam lebih dulu.” Mas Agung menurut dan kembali menutup pintu mobil. “Kalian sudah resmi bercerai. Kenapa masih takut bertemu?” “Bukan takut tapi malas. Pria itu kemarin memberiku uang tapi aku kembalikan.” “Berapa jumlahnya?” “800 ribu rupiah diberikan secara cas dengan mengatakan jika aku perempuan gatal dan matre.” “Kamu kembalikan dengan cara apa?” “Aku buka amplopnya lalu aku lempar uang itu ke wajahnya. Setelah itu, aku kembali masuk ke dalam sekolah.” “Dan, menangis di toilet?” “Hmmm, ya gimana lagi, hatiku sakit sekali mendapatkan tuduhan menjijikkan itu.” Mas Agung membuka pintu lalu memintaku turun. “Ayo, balas mereka yang sudah mempermalukan dan menghinamu!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN