Lidah Setajam Pisau

1242 Kata
Resepsi pernikahan seperti ini pernah direncanakan oleh Ayah dan mertuaku. Katanya, pernikahan putri tunggal Pak Kades harus mewah tidak boleh kalah dengan resepsi pernikahan warganya. Kata orang-orang sombong kala itu. Menikah baru lima jam sudah ditalak tiga tanpa kejelasan mau dirayakan dengan mewah. Ya, kali merayakan hari pernikahan sekaligus perceraian. Meski memakai hijab, aku tetap tampil mempesona. Semua ini berkat Mbak Iren dan gaunnya. Pasti Bos menyebalkan menghabiskan banyak uang untukku malam ini Tanpa bergandengan tangan aku berjalan tepat di samping Mas Agung. Langkah kaki pun senada hingga membuat orang-orang menatap ke arah kami. “Sepertinya rencana pertama mu berhasil,” ucap Mas Agung. “Aku hanya butuh sedikit polesan makeup kalau cantik sudah sejak lahir.” “Terserah! Kita langsung naik ke atas pelaminan untuk memberikan selamat pada mempelai pengantin. Setelah itu, mencari mantan suami dan mertuamu.” Aku melirik sebentar ke arah kanan, lalu kembali melihat ke depan. “Gak usah di cari. Mereka sudah menatap kita sejak tadi. Sampai menganga mulutnya.” “Bagus kalau begitu,” bisik Mas Agung tepat disebelah telingaku. Dia pun tersenyum. “Kita mulai akting. Jangan anggap aku sedang merayu mu!” “Hmmm, lanjutkan. Dan, jangan terpesona dengan kecantikanku malam ini. Aku tidak ingin direpotkan tengah malam hanya untuk menemani bayi tua yang tidak bisa tidur.” Mas Agung mendengkus, lalu mengajakku maju ke pelaminan. Ucapanku tadi adalah kejadian nyata. Saat itu aku izin tidak masuk kerja karena selama sebulan penuh tidak pernah libur. Malamnya Bos ku menelpon dan meminta ditemani sampai ketiduran. Menyebalkan sekali bukan? Ketika turun dari pelaminan aku tak sengaja melihat Ayah dan Bunda. Seketika tubuhku membeku, sulit untuk digerakkan. Mataku berembun saat melihat wajah Bunda yang terlihat tirus. Andai saja bisa mendekatinya pasti aku akan memeluknya erat. Mengatakan jika aku baik-baik saja dan sangat merindukannya. “Selamat malam, Tante,” sapa Mas Agung pada Bunda. Dia berjalan mendekati kedua orang tuaku. Sedangkan aku masih tertinggal dibelakang. “Selamat malam, Nak. Baru datang apa sudah mau pulang?” “Baru datang, Tan. Langsung salaman mumpung sepi.” Mas Agung sama sekali tidak berniat menyapa Ayah. Padahal beliau ada di samping Bunda. Wajar jika dia bersikap tidak sopan dengan Ayah. Semua ucapan pedasnya pada Mas Agung saat melamar ku sangat keterlaluan. Bukan hanya menolak dengan kasar, Ayah juga mengatakan jika status Mas Agung hanya anak angkat tidak akan mendapatkan warisan. Aku sebagai anaknya malu memiliki seorang Ayah yang gila harta. Sampai tega menikahkan putrinya dengan pria jahat demi mendapatkan mahar bernilai fantastis. Sayang sekali keinginannya tidak tercapai. Besannya mengambil kembali aset yang telah diberikan karena putranya telah menceraikan ku. “Kenapa tidak menyapa Bunda?” tanya Mas Agung setelah mengajakku menuju ke tempat makan. “Bunda bakal kena amukan Pak Kades kalau aku menyapa apalagi memeluknya. Kayak nggak tahu saja kelakuan si paling kaya-raya.” “Orang yang kamu maksud adalah Ayahmu, jika kamu lupa.” “Tidak perlu diperjelas!” Semua makanan yang tersedia sangat menggugah selera. Mumpung ada makanan gratis aku harus makan sepuasnya. Lumayan bisa irit beras malam ini. Semenjak diusir dari rumah, aku terbiasa makan seadanya. Tidak pernah beli lauk mahal dan jika makan lebih banyak nasinya daripada lauknya. Aku mengambil piring lalu mendekat ke arah nasi timlo solo. “Mas ...” panggilku dan Mas Agung ternyata ada di belakangku. “Hehe, maaf, aku pikir Mas masih di sebelah sana.” “Ambilkan aku juga,” ucapnya memberikan piring padaku. “Aku nanti yang bawa minumannya.” “Enak Mas bawa gelas kecil,” protes ku. “Lupa kalau kamu kesini untuk menemaniku? Lagipula ini masih terhitung jam kerja.” Dasar menyebalkan! Padahal sedang berada di luar tetap saja tidak mau rugi. Baru pukul setengah delapan itu berarti jam kerjaku masih setengah jam lagi. “Cari tempat duduk, Mas.” “Disana saja,” tunjuk Mas Agung pada meja bundar yang tidak ada orangnya. “Kamu hati-hati bawa piringnya. Jangan sampai tumpah ke baju. Harganya mahal sekali.” “Ungkit saja terus. Mas kalau enggak ikhlas nanti aku balikin gaunnya.” “Bakal aku buang kalau kamu kembalikan,” jawabnya, berjalan duluan meninggalkan aku yang kesusahan membawa dua piring nasi timlo solo. *** Makanan habis dan perutku sangat kenyang. Tidak hanya nasi timlo solo yang ku makan tapi beberapa menu lainnya. Mas Agung kesambet jin baik mau mengambilkan makanan untukku. Saatnya pulang ke klinik untuk mengambil motor lalu pulang ke rumah untuk istirahat. Perut kenyang membuat ku mengantuk. “Eh, ada Perempuan gatal di sini. Berani sekali menampakkan diri di depan umum. Tebal muka ya,” sindir mantan mertua. “Mama ngapain sih? Ayo kita pulang sekarang,” ajak mantan suamiku. “Jangan bikin malu, Ma!” “Seharusnya Wanita ini yang malu karena telah tidur dengan Pria lain sebelum kalian menikah. Kenapa kamu malah membelanya?” Hah, drama apa lagi ini? Perut kenyang membuat selera berdebat ku menghilang. “Ma, Robi sudah jelaskan kalau semua itu hanya salah paham.” “Salah paham gimana? Orang fotonya beneran wajah Dyah sedang tidur dengan seorang Pria.” Mas Agung bukannya mengajakku pergi justru asik menikmati perdebatan antara Ibu dan anak ini. Pasti dia merencanakan sesuatu untuk membalas perlakuan jahat mantan mertua dan suamiku. “Lenka sengaja membuat foto palsu agar aku marah lalu menceraikan Dyah.” Eh, ternyata masalah telah terpecahkan. Mantan terindah ternyata dalangnya. Aku merasa bersyukur jika fitnah yang membuatku dicap sebagai perempuan gatal tidak terbukti benar. “Pulang yuk, Mas,” ajak ku pada Mas Agung. “Yakin mau pulang tanpa membalas cacian dari Wanita tua ini?” Mas Agung sengaja mengeraskan suaranya agar mantan mertuaku mendengarnya. “Mas,” tegur ku. “Sekarang balikan sama anak angkat Pak Yopie? Carinya yang lebih kaya. Pintar banget menggoda para Pria.” Aku menoleh ke samping. Menatap lekat wajah sinis mantan mertua. “Tante kalau bicara hati-hati ya. Selama ini saya diam saja saat difitnah berselingkuh tapi sekarang tidak akan lagi. Anak Tante yang bodoh karena percaya dengan hasutan mantan pacarnya. Harusnya Tante ajarin tuh Mas Robi biar pinteran dikit.” “Kamu tidak sopan!” teriaknya. Tangannya ingin menamparku namun aku menangkisnya lebih dulu. “Lepaskan,” teriak nya lagi. Aku menghempaskan tangan mantan mertuaku. Kemudian berdiri dari tempat duduk. “Saya tidak selingkuh dan foto yang Tante lihat itu editan. Jaman sekarang kok percaya dengan aplikasi. Katanya orang kaya tapi nggak bisa membayar ahli IT. Percuma punya uang banyak kalau masih bodoh,” ujarku. Aku mengajak Mas Agung pergi. Meninggalkan mantan suami dan mertua yang masih terdiam di tempat. Pasti mereka terkejut aku bisa seberani ini. Dulu aku memang selalu menurut pada siapapun. Meski dicaci dan dimaki aku tetap diam saja. Tak pernah membantah ataupun melawan. Sekarang tidak akan lagi. Semua yang berniat menyakitiku akan aku lawan. Tidak akan ku biarkan hatiku disakiti dan dipatahkan lagi. “Astagfirullah,” ujarku sambil mengelus d**a. “Rasanya aku kehabisan oksigen.” “Aku siap memberikan nafas buatan.” Aku memukul Mas Agung dengan tas. “Sembarangan kalau bicara!” “Aku hanya ingin menolong. Jika kamu tidak mau ya nggak usah marah.” “Mau menolong apa mencari kesempatan? Mas Agung ini ngebet banget pengen cium aku. Maklum sih faktor usia.” “Dyah ...” Aku mengangkat kedua jari. “Bercanda ... bercanda. Pulang yuk, aku lelah sekaligus kenyang.” “Gaji bulan depan aku potong untuk make up dan gaun.” Aku menghentikan langkahku, menoleh ke belakang dan menatap sinis Mas Agung. “Aku akan menjual sapi-sapi mu kalau gaji ku di potong!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN