S1 - BAB 12

1000 Kata
"Sampai akhirnya kita hanya menjadi kenangan buruk. Masa kecil yang indah udah enggak ada lagi dalam ingatanku, Ra. Aku ... aku hampir putus asa, kondisi keluarga yang buat aku muak, dan pertemanan yang hancur karena ulah aku sendiri, semua ulah aku. "Apa kamu masih mau bersama orang gila?" Bibirku mengatup-ngatup bingung, mataku mengerjap beberapa kali. Dane menaikkan sebelah alisnya, menunggu jawaban dariku. Aku mengangguk. "Kamu enggak gila, Dane, kamu butuh sedikit rubah diri kamu aja, yang biasanya kamu ikut sertakan emosi, tolong kikiskan itu, lebih pandailah mengontrol diri. Semua yang kamu lalui ini cuma dampak dari emosi kamu sendiri, kan? Berawal dari keluargamu, sampai ke persahabatanmu?" Dane mengangguk lalu menutup wajahnya dengan telapak tangan. Napasnya ia embuskan kasar tiba-tiba. Aku sampai terkejut mendengarnya. "Apa kamu tau rasanya ingin bangkit tapi sulit?" Aku mengangguk. "Aku pun merasakannya sekarang, aku masih di tahap berusaha untuk bangkit menjadi Noura yang lebih baik lagi. Agar aku enggak selalu dipandang rendah seperti sampah di mata orang lain." "Sementara aku, aku harus apa, Ra?" Aku tersenyum kecil. "Kita ini sangat bertolak belakang, ya, kamu yang berusaha untuk sedikit lebih merendah, dan aku yang harus berusaha lebih meninggi. Terkadang ... pilihan tengah memang baik. Kamu perlu lebih hati-hati, Dane, kalau kamu emosi, kamu bisa pergi, kalau kamu lagi muak, kamu bisa pergi, tapi ingat untuk kembali. Biar itu terulang, agar kamu terbiasa." Dane menggeleng. "Aku enggak bisa, apalagi dengan Wira dan ... Gea. Mungkin keluarga masih bisa aku perbaiki, tapi pertemanan yang udah hancur tahunan ini, mana mungkin bisa aku perbaiki. Terlebih ... Gea adalah perempuan pertama yang aku cintai dan ... perempuan pertama pula yang aku benci. Jadi, aku udah enggak mau bertemu dia lagi, sampai kapan pun, lebih baik enggak bertemu dia lagi. Dia cuma kenangan buruk yang mau aku lupakan sesegera mungkin, Ra." "Dane ... masa lalu itu bukan untuk dilupakan, tapi dijadikan bahan acuan untuk masa depan. Kamu yang buruk di masa lalu, kini harus lebih baik lagi. Kamu yang udah baik di masa lalu, harus lebih baik lagi. Kalau kamu jalan di tempat, stuck dengan penyesalan, apa manfaat yang bisa kamu petik? Enggak ada. Hidup kamu cuma sia-sia, dan hari-hari kamu cuma diisi dengan penyesalan, dengan segala ego yang enggak mau kamu kikis sedikit pun." Kulihat Dane terdiam. "Kamu bisa mencaciku sekarang, aku dengan mudah menasihatimu, sementara aku masih stuck dengan apa yang sedang aku usahakan. Aku cuma mau jadi apa yang kamu mau, menasihati sekali pun aku sulit menasihati diri sendiri. Karena ... sekiranya aku enggak berguna di mata orang, bisa berguna di mata kamu." Dane menggeleng, ia menggenggam jemariku erat. "Pertemuan kita bukan hanya suatu peristiwa yang bisa dibilang kebetulan, lebih tepatnya, memang kita saling membutuhkan. Sisi kita yang saling bertolak belakang, saling berusaha untuk merubah diri. Sebenarnya ... kita cukup melengkapi, Ra." Aku mengangguk. "Tapi ... jangan jadikan alasan bisa saling melengkapi lalu enggak mau perbaiki diri." Aku tersenyum ke arahnya. "Jadi, mari memperbaiki diri, membuka lembaran baru, walaupun sulit, kita coba perlahan-lahan." Dane mengangguk. "Apa kamu mau menjadi pengganti Gea dalam hidupku, Ra?" Aku menggeleng. "Orang yang pernah singgah, selalu punya sisi tersendiri, aku orang baru dalam hidup kamu, aku juga punya sisi tersendiri dalam hidup kamu." "Apa kamu udah enggak ada niatan untuk membuka hati lagi, Ra?" Aku menggeleng. "Bukan enggak ada niatan, tapi kali ini aku belum mau. Bukan karena aku terlalu tergila-gila dengan Athar lalu sampai mati enggak mau menerima orang lain, enggak. "Yang aku benci dari pertemuan adalah perpisahan, yang aku benci dari percintaan adalah kekecewaan, yang aku benci dari harapan adalah keputusasaan. "Jadi, lebih baik kita bersahabat dengan baik, sama-sama membuka lembaran baru untuk perbaiki diri. Kalau kita masih terus menetap, mungkin Allah emang menakdirkan kita terus bersama, lalu ... kalau kita berpisah di tengah jalan, mungkin Allah menakdirkan kita untuk saling mengobati, setelah selesai berpisah. "Aku berharap yang pertama," ucap Dane antusias. "Semoga." Dia bangkit dari duduknya. "Kata dokter, kamu enggak boleh pulang, nunggu luka kering." Aku menggeleng. "Aku bisa kok rawat diri sendiri." Dane menempelkan jari telunjuknya di bibir. "Aku pulang dulu, ganti pakaian, nanti aku ke sini lagi, sekalian kita jenguk nenek di ruangan sebelah." *** Sampai di apartemen, Dane langsung mandi. Ia sudah tinggal di apartemen sejak kelas satu SMA. Sebenarnya ia merasa kesepian, tapi karena ego ia bisa bertahan dengan apa yang ia pilih, walaupun pilihannya itu melenceng dari yang seharusnya ia pilih. Saat air membasahi tubuhnya, air matanya ikut meluruh. Ia sering seperti ini, menangisi apa yang ia lakukan dalam sepi, tanpa orang tahu. Sebenarnya, ia ingin memperbaiki, tapi lagi-lagi ia kalah dengan egonya sendiri. Seharusnya ia bisa bahagia bersama keluarganya, seharusnya ia bisa memiliki sahabat yang baik, tanpa harus bertengkar seperti sekarang ini. Terkadang ia pun aneh dengan dirinya sendiri. "Ya Tuhan, jika Engkau memang ada, tunjukilah kuasa-Mu, tampakkan kepadaku kalau Engkau membantuku," teriak Dane. Suaranya bertabrakan dengan suara air dari shower. Tiba-tiba hujan turun begitu deras, sejak tadi langit memang sudah mendung. Jam sudah menunjukkan pukul empat sore. Dane menatap rintikan air hujan dari kaca kamar apartemennya. Sekasar apa pun tabiatnya, sekeras apa pun perilakunya, sebenarnya kenyataan berbalik dari apa yang biasa orang lihat dari dirinya. Saat hujan ia sering kali membayangkan kisah dahulu, saat ia masih bisa tertawa dan tersenyum bebas tanpa ada beban pikiran yang hadir karena ulahnya sendiri ini. "Dari hujan ke hujan, aku tetap sendiri selama tiga tahun ini, entah hujan di tahun yang akan mendatang," ucap Dane sebelum akhirnya menyambar hoodie lalu melangkah menuju parkiran, ia harus menempati janjinya dengan Noura. *** Aku tidak tahu awalnya, ternyata Dane lagi-lagi membiayaiku, tidak tanggung-tanggung, dia membiayai aku dan nenekku dalam kamar VIP. Tidak terbayangkan berapa jumlah uang yang ia keluarkan? Suara rintik hujan tidak terdengar, tapi aku bisa melihat rintikannya dari kaca kamar. Ingin rasanya aku keluar, menikmati hujan. Aku suka dengan hujan, karena saat hujan turun, aku seperti tidak sendiri, rintikannya mengalun indah, tangisku tak akan terlihat oleh orang lain saat hujan turun, hadirnya memanjakanku, memberiku sisi untuk mengeluh, jiwaku yang kesepian sering kali terasa lebih nyaman saat hujan turun.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN