S1 - Prolog
Belajar untuk membuka lembaran baru dari kisah indah yang berakhir tiba-tiba tanpa pernah bisa terulang kembali itu sangat menyesakkan. Terlebih, ditinggal dan tak akan bisa bertemu kembali. Tidak ada pilihan lain selain mendoakan, dan ... melupakan. Cinta pertama yang tak bisa menjadi terakhir.
Maaf, Thar, ini yang harus aku lakukan. Sebab kita berbeda, kamu telah tiada dan aku masih harus merangkai cita di dunia yang fana ini. Dengan segala perih yang entah sampai kapan akan terobati.
- Noura Banafsha.
Sejak kepergian Athar, aku selalu datang menjenguknya di pemakaman. Terkadang aku enggan mengatakan itu pemakaman, sebab, hal itu bisa membuat air mataku turun untuk kesekian kalinya, mengingatkan kembali bahwa aku dan Athar telah berpisah, sangat jauh.
Dari kejauhan kulihat ada yang melambaikan tangan dengan senyuman khasnya, aku ikut tersenyum. Dia Dane, sahabat laki-lakiku setelah Athar pergi.
"Kamu datang dari kapan?" tanyanya setelah berhasil mendekat dan kini duduk tepat di sampingku.
Aku tersenyum kecil, dahulu aku enggan tersenyum kepadanya, karena aku merasa sangat sedih mengingat dia hanya mendekat karena kasihan padaku yang harus ditinggal satu-satunya sahabat terbaik—Athar. Apa pun alasan Dane mendekat, semoga saja aku bisa belajar mengenal lingkungan lebih baik lagi darinya.
"Baru," jawabku singkat.
"Aku tadi latihan basket dulu, maaf telat, kamu istirahat sendiri?"
Dane itu salah satu laki-laki yang menjadi idola di SMA Adiwangsa, sekolah kami. Dan Athar, dia cukup banyak teman, tapi sama sekali tidak mengikuti organisasi seperti Dane. Ternyata ... dia memiliki penyakit yang telah diumpat selama bertahun-tahun. Dan aku menyesal baru mengetahui di ujung usianya.
Aku pun tidak paham dengan Dane, kenapa dia masih mau mendekatiku, padahal dia laki-laki idaman di sekolah, dia juga pintar. Sementara aku, aku hanya wanita yang tidak kasat mata di sekolah ini, hanya sekedar sekolah tanpa dikenal penghuni sekolahnya.
"Biasanya aku sama siapa?"
Dia terkekeh kecil. Dane masih mengenakan pakaian basket lengkap, ia datang membawa dua botol air mineral dengan rasa berbeda, entah dapat dari mana.
"Tadi dikasih perempuan, adik kelas kayaknya, belum terlalu kenal, kamu suka rasa apa?" ucapnya seolah tahu apa yang sedang aku pikirkan saat ini.
Aku merasa tidak pantas diperlakukan baik olehnya, siapa aku? Tidak pantas rasanya duduk bersampingan dengan laki-laki yang banyak dikagumi wanita cantik ini.
"Aku ... aku mau ke kamar mandi dulu, ya, Dane."
Dane menarik ujung lengan bajuku. Otomatis langkahku pun terhenti.
"Kamu insecure?"
Itulah kelebihan Dane, dia seolah bisa baca raut mukaku. Selama beberapa bulan dekat dengannya, aku mulai mengenal Dane. Pantas saja Athar mengatakan Dane adalah sahabat yang ia sayangi, Dane memang baik walau terkadang aku merasa ada sesuatu yang aneh pada dirinya.
Aku tertawa hambar. "Aku ... aku cuma kebelet pipis, Dane."
Dia menatapku yang sedang menatap tanah. "Walaupun kita baru dekat beberapa bulan, tapi aku udah bisa lihat raut kamu kalau lagi bohong," ucapnya seraya melepas tarikan di ujung lengan bajuku. "Jangan pernah merasa minder ada di samping aku, Ra, kalau kamu enggak mau anggap aku teman, anggap aja aku saudara kamu."
Aku tersenyum kecil, saking kecilnya, aku rasa Dane pun tak akan bisa melihatnya. Aku masih menunduk, diam sesaat dan langsung pergi setelahnya.
Thar ...
Terima kasih telah hadir dalam hidupku.
Terima kasih telah mewarnai hidupku yang sebelumnya pekat dengan abu kenangan buruk.
Namun ....
Kini kamu sudah menjadi kenanganku pula.
Terima kasih telah hadirkan Dane dalam hidupku.
Sesuai apa yang kamu ucapkan, aku akan menjadi sahabatnya.
Berbahagialah di sana.
Aku mencintaimu seperti kamu mencintaiku.