Di tengah derasnya hujan Dane mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang. Di tengah jalan ia melihat ada seorang anak perempuan berpakaian putih merah, pakaian anak Sekolah Dasar pada umumnya.
Ia menyipitkan matanya, berusaha melihat lebih jelas anak kecil yang sudah kebasahan itu dari jarak yang tidak terlalu dekat, ditambah derasnya hujan hampir sering kali menutupi kaca mobilnya kalau tidak segera dibersihkan wiper.
Sampai akhirnya Dane lebih mendekat lagi. Matanya membulat, ia kenal siapa anak perempuan kuncir satu itu.
"Faya," desisnya pelan. Dane langsung menghentikan kemudinya.
Faya, Fayara Diantara, adik satu-satunya Dane. Walaupun ia muak dengan keluarganya, melihat adik kecilnya yang masih berusia sepuluh tahun itu berjalan sendirian di tengah derasnya hujan, rasa kasihan pun bisa Dane rasakan, terlebih, Faya sangat menyayanginya.
Dane sering kali membentaknya, tapi Faya tetaplah adik manis yang manja dan tidak pernah marah meski dibentak beberapa kali.
Dane keluar dari mobil, ia buka payung lebih dulu, lalu berjalan cepat menuju Faya.
"Faya, kamu ngapain hujan-hujanan?" tanya Dane tiba-tiba.
Faya terdiam beberapa saat, masih tidak menyangka kalau orang yang ada di hadapannya saat ini adalah Dane, kakak satu-satunya yang telah lama tak ia jumpai.
Faya langsung menangis. "Kak Dane, Faya kangen," ucapnya pelan. Ia tidak berani memeluk Dane, padahal ia ingin sekali memeluknya.
Dane sering kali mendorongnya saat mendekat, ia akan membentak keras kalau Faya masih tidak mau mendengar ucapannya. Karena itulah ia jadi tidak berani memeluk ataupun mendekati kakak laki-lakinya sendiri.
Dane menyentuh baju Faya. "Basah, hei, jawab, kamu ngapain jalan sendirian lagi hujan kayak gini? Mana ibu? Biasanya ibu, kan, yang jemput kamu?" Kini suara Dane naik satu oktaf.
Faya menggeleng. "Faya enggak tau, Faya udah tunggu ibu, tapi ibu enggak datang-datang. Faya tunggu ibu dari jam dua belas siang, Faya sampai ketiduran di halte. Bangun-bangun baju Faya basah, ternyata hujan. Yaudah Faya pulang sendiri, tapi ... Faya nyasar."
Dane mengembuskan napas kasar. "Payungi aku," titahnya.
Dane harus bungkuk untuk membuka hoodie-nya, tinggi Faya hanya sesikunya. Ia pakaikan hoodie-nya ke tubuh Faya. Setidaknya anak ini tidak harus terlalu kedinginan. Ia rangkul tubuh Faya pelan untuk ikut berjalan dengannya. Ia bukakan pintu mobil untuk Faya.
"Masuk."
"Mobil kakak nanti basah," ucap Faya takut. Orang yang paling Faya takutkan adalah kakak laki-lakinya.
Dane berdecak. "Kamu mau aku taruh di bagasi, hah? Udah cepat naik, bajuku udah ikut basah sekarang!"
Setelah Faya masuk, Dane ikut masuk ke dalam. Sebelum menyalakan mesin mobil, Dane memejamkan matanya sebentar. Ia berpikir sesaat, harus ia apakan anak ini.
Dane menghubungi temannya yang mempunyai adik perempuan seusia Faya, ia mau meminjam baju, setelah itu ia hubungi Noura kalau ia akan datang lebih lambat tanpa memberi tahu karena apa.
"Kita mau ke mana, Kak? Kakak mau antar Faya pulang?"
Dane menyalakan kembali mesin mobilnya lalu menoleh sekilas ke arah Faya. "Aku enggak mau pulang, kamu ikut aku dulu, nanti aku pesanin taksi online biar antar kamu ke rumah."
Faya nampak kecewa, padahal ia berharap besar kakaknya itu mau mengantarnya pulang dan mampir sebentar.
***
"Lha ... kamu enggak kenal sama istrinya tuan Dian? Keluarganya itu, kan, yang sering nongol di televisi karena sikap baik dan uangnya yang tajir melintir itu."
"Tapi kok enggak ada, sih, tuan Dian-nya?"
"Katanya hari ini dia lagi ada di Dubai, biasa bisnis kerja, aku lihat di media sosialnya. Dia enggak terlalu aktif media sosial, tapi kalau misalnya ada bisnis selalu di-upload."
"Terus gimana nasib istrinya?"
"Katanya, sih, kurang darah, tapi yang satu darah sama dia cuma anak pertamanya, anak pertamanya enggak pernah diekspos, enggak tau siapa dan di mana. Aku kenalnya anak keduanya, yang jago main biola itu, lho."
"Semoga aja segera ketemu, lewat tiga jam, nyawa jadi taruhan tuh."
Walaupun aku tidak tahu para perawat itu membicarakan siapa, aku terhanyut dalam pembicaraan mereka. Mereka tadi memeriksa kepalaku dan mengganti perbannya. Sekarang sedang sibuk melepas selang infus yang sebelumnya melekat di punggung tangan kiriku.
Telingaku berpindah fokus, yang sebelumnya ke para perawat, sekarang ke benda pipih yang ada di samping kepalaku. Ternyata pesan dari Dane.
Dane: Aku datang agak lambat.
Kenapa dia? Apa jangan-jangan bannya kempes? Atau ... mobilnya mati di tengah jalan karena hujan deras?
Kuketik balasan untuknya tepat saat perawat selesai melakukan tugasnya.
Noura: Kenapa? Kamu baik-baik aja, kan?
Sudah lama aku menunggu, tapi tak kunjung dapat balasan darinya. Aku jadi khawatir, semoga dia baik-baik saja.
"Nanti malam sudah boleh pulang, ya, Kak, tapi kalau masih mau menginap juga enggak apa-apa," ucap salah satu perawat.
Aku tersenyum. "Iya, terima kasih."
Perawat itu ikut tersenyum lalu keluar bersamaan.
***
Langit sudah menjingga sekarang. Jalanan sangat macet, terlebih ia harus ke rumah temannya dulu tadi, menunggu Faya ganti baju dan kini ia harus merayap di jalanan yang macet akibat ada kecelakaan lalu lintas.
Dane membuka kaca mobilnya, ia bisa melihat dari kejauhan mobil yang jatuh ke danau sedang ditarik oleh mobil penarik, dan mobil tronton pembawa semen yang sedang diamankan. Ia langsung tutup kembali karena hujan masih deras.
"Kasian banget, ya, Kak, yang kecelakaan, hujan lagi deras, keluarganya pasti sedih banget."
Dane menoleh ke arah Faya, dia fokus menatap mobil yang sedang ditarik dari kaca mobil.
"Kalau kamu ada di posisi keluarganya, apa yang kamu lakuin?"
Faya menggeleng, matanya masih fokus menatap kaca jendela. "Aku enggak punya pemikiran lain selain nangis, aku enggak kuat lihat keluarga aku terluka."
"Termasuk aku?"
Faya menoleh ke arah Dane, Dane menaikkan sebelah alisnya, khasnya saat menunggu jawaban.
"Jangankan Kakak terluka, Kakak pergi aja aku udah sedih," jawab Faya sambil menunduk, menatap kakinya yang kini sudah terbebas dari sepatu basah.
Dane tersenyum miring lalu menatap lurus ke jalanan yang mulai melenggang. "Harusnya kalian senang aku pergi, rumah jadi tentram dan damai, kan?"
Faya menggeleng. "Bukan damai, lebih tepatnya sunyi. Ayah kerja, ibu kerja, mama juga kerja."
Dane menggebrak stir, membuat Faya terlonjak kaget. "Jangan sebut dia mama, dia itu orang lain, hanya anaknya aja sahabat aku."
"Kak ... apa salah mama sama Kakak?"
"Hadirnya itu sumber masalah."
"Bukannya Kakak yang jadikan semua ini masalah?"
Dane menoleh, menatap tajam adiknya yang kini sudah menunduk takut. "Lu mau diam atau gua turunin di sini?!"
Faya mengangguk. "Aku diam, maaf ...."