S1 - BAB 11

1306 Kata
Waktu pulang sekolah memang ramai, tapi kali ini jauh lebih ramai. Kelasku ada di lantai tiga, dan sekarang aku berada di lantai dua. Dari lantai dua bisa terlihat dengan jelas pemandangan di parkiran. Mataku membulat, ternyata ada yang sedang bertengkar di parkiran, dan yang membuat mataku membulat adalah, orang yang bertengkar itu Dane. Kupercepat langkahku. Aku harus melerainya. Semoga saja aku bisa menjadi pengganti Athar yang dibilang Ratih, menjadi "tuas pengamanan". Aku malah gemetar saat melihat Dane dengan bengisnya mendorong seorang laki-laki ke tubuh mobilnya. Dan lagi-lagi, selalu saja orang yang lebih babak belur daripada Dane. Dane mencekik leher laki-laki itu, bajunya sudah tidak beraturan, bahkan kancing bajunya banyak yang terlepas. Aku tidak mau Dane menjadi pembunuh, tapi aku bingung ingin berbuat apa. Aku bingung, kenapa tidak ada yang mau melerai. Dari belakang kulihat ada seorang laki-laki mengangkat batu besar, aku tidak salah lihat, laki-laki itu hendak menjatuhkan batu besar itu ke punggung Dane. Aku berlari ke tengah keramaian. Aku peluk tubuh Dane erat sampai akhirnya sebuah hantaman keras kurasakan tepat di kepala bagian belakangku. Dan aku sudah tak ingat apa-apa lagi setelahnya. *** Kilas balik .... Tepat saat bel pulang berbunyi, Dane berpapasan dengan seorang laki-laki yang jarang ia lihat beberapa tahun ini di parkiran, dan ia yang membuat laki-laki itu jarang terlihat. Nama laki-laki itu Wira. Dengan angkuhnya Wira menepuk bahu Dane. Dane menatapnya dari atas sampai bawah. Bisa-bisanya dia kembali. "Gimana? Keren, kan, gua bisa masuk sekolah lagi, setelah bermasalah sama lu, setelah lu buat gua enggak bisa masuk sekolah lagi entah bagaimana caranya. Dan sekarang gua tau, karena ayah lu berperan penting dalam runtuh enggaknya sekolah ini, karena itu lu bisa semena-mena sama orang yang cari masalah sama lu, iya?" Wira tertawa. "Sayangnya gua cukup berduit untuk lu semena-menain." Dane tersenyum miring. "Bagus." "Gua ingetin sama lu, jangan pernah lu berharap Gea mau lagi sama lu, dia udah jadi milik gua, dan orangtua kita udah saling janji buat nikahin kita setelah lulus SMA. Karena itu dia milih pergi jauh dari hidup lu, dan akan ketemu gua nanti. Lu cuma pecundang, Dane." "Gua enggak peduli, karena dia bukan lagi wanita yang gua prioritasin." "Semudah itu, setelah lu berhasil racunin dia dengan omong kosong lu ini?" Wajah Wira langsung memerah. "Kenapa harus sulit di saat dia dengan mudahnya pergi setelah buat gua nyaman? Gua bukan laki-laki bodoh kayak lu." "Dia begitu karena lu, bodoh!" Wira mencengkram kerah baju Dane, saking kerasnya kancing baju Dane sampai ada yang terlepas. Dane mendorong tubuh Wira ke tanah, ia menginjak perut Wira sampai Wira terbatuk-batuk. "Semuanya hancur karena lu yang serakah, gua buat lu keluar dari sekolah ini karena gua enggak mau terus punya keinginan buat bunuh lu!" Dane jongkok, ia cekik leher Wira yang kini terkapar di tanah. "Gua benci sama orang yang datangnya cuma buat gua naik darah kayak lu. Dan bilang sama perempuan lu yang udah jadi bekasan gua itu." Dane tertawa keras, tapi sisi matanya mengeluarkan sedikit air mata. "Dia bukan siapa-siapa gua, jadi enggak ada alasan untuk enggak bisa melupakan dia, gua benci dia." Baru saja Wira ingin bicara, tapi Dane sudah lebih dulu menampar wajahnya sampai berdarah-darah, dan itu berulang kali Dane lakukan. Ia mengangkat tubuh Wira. "Gua enggak suka keributan, tapi gua enggak suka diajak ribut kayak gini. Sampai kapan pun, dendam gua sama lu berdua enggak akan sirna, kalian harus ingat itu." Wira sudah tidak bisa bergerak, bahkan tubuhnya sudah lemas. Ia tidak mengerti, tubuhnya dengan tubuh Dane jauh lebih besar ia, meski tinggi Dane lebih darinya, tapi kenapa dia selalu kalah setiap bertengkar dengannya. Padahal ia sudah percaya akan menang. Dane mendorong keras tubuh Wira ke tubuh mobilnya. Ia cekik keras leher Wira. Sampai akhirnya Dane merasa dipeluk oleh seseorang, ia langsung menolah, matanya membulat saat melihat batu besar menghantam kepala bagian belakang Noura. Akhirnya ia lepaskan cekikannya pada Wira yang sudah tidak berdaya itu. Ternyata itu ulah teman Wira, Wira memang ketua genk besar di sekolah. Dia lari cepat saat Dane melihat wajahnya. Dane sudah tak ada kesempatan untuk mengejar laki-laki itu. Keselamatan Noura lebih utama. Dane membopong tubuh Noura lalu memasukkannya ke dalam mobil. Dengan keadaan kacau dan emosi belum mereda, Dane mengendarai mobil secepat kilat menuju rumah sakit terdekat. Sementara Wira sudah tidak sadarkan diri, tapi napasnya masih berembus. *** Kembali .... Saat mataku terbuka, kepalaku terasa nyeri, tubuhku tak bisa leluasa digerakkan. Saat ini, bukan pemandangan sekolah yang ada di pandangan, justru selang infus dan beberapa alat medis yang dominan. "Kamu udah sadar?" "Dane ... kamu enggak apa-apa?" Aku benar-benar khawatir dengannya. Dane memejamkan matanya lalu menatapku lekat-lekat. "Seharusnya aku yang tanya itu ke kamu." "Maaf ...." Dane memijit keningnya dengan tangan, sepertinya ia sedang banyak pikiran. "Kenapa tadi kamu bisa bertengkar?" "Kayaknya udah saatnya kamu tau tentang aku, lebih jauh." Entah mengapa jantungku malah berdetak lebih cepat. "Laki-laki tadi namanya Wira, kamu enggak akan kenal sama dia, satu tahun ini dia enggak sekolah, dan itu ... karena aku. Itu yang buat orang-orang takut berurusan sama aku. Ucapan Wira buat aku sadar, kalau aku masih bergantung dengan ayahku. "Setiap kali ada orang yang cari masalah denganku, aku akan hubungi ayah lewat chat, dia langsung menuruti apa yang aku mau, supaya aku mau kembali jadi Dane yang baik, tapi ... aku enggak pernah melakukan yang terbaik untuknya. "Sebenarnya alasan aku melakukan itu karena aku enggak mau terus menyakiti orang. Setiap kali berhadapan dengan orang yang pernah cari masalah denganku, aku ... aku enggak bisa nahan untuk enggak mukul dia. Enggak bisa, aku enggak tau aku kenapa." Dane mengacak-acak rambutnya frustasi. "Dan Wira itu, dia ...." Dane menatapku dengan tatapan memelas. Aku tidak tahu apa maksudnya. "Ra, aku butuh kamu." Dane menunduk lalu menutup wajahnya dengan telapak tangan. "Aku ada di sini, Dane, selagi nyawaku masih berembus aku akan berusaha ada untuk kamu, walaupun aku enggak bisa pastikan akan selalu atau enggak, udah pernah aku bilang, kan, kalau manusia itu punya hati yang bisa berubah sewaktu-waktu." Tiba-tiba Dane menggenggam jemariku yang bebas dari selang infus. "Tuhan menakdirkanmu hadir dalam hidupku aja aku udah bersyukur, apalagi kalau Tuhan bisa menakdirkanmu selalu ada untukku. "Dulu aku sama seperti kamu dan Athar, aku punya sahabat kecil perempuan, namanya Gea. Dan Wira, Wira juga sahabat mainku dulu bersama Gea. "Aku pernah bilang, aku pernah dikecewakan dan pernah mengecewakan. Wira adalah orang pertama yang aku kecewakan karena Gea ternyata suka sama dia, mereka sempat pacaran, dan aku, aku cuma jadi nyamuk saat main bersama, itu berlangsung sampai SMP. Mungkin masih labil-labilnya, pacaran pun belum waktunya. Akhirnya mereka putus. "Aku pernah janji sama Wira untuk enggak ambil Gea dari hidupnya, tapi ... aku malah ambil Gea. Gea benci Wira karena aku terus jelek-jeleki Wira di depannya. Kami jauhi Wira. Semakin hari, akhirnya Wira tau kalau itu ulah aku. Akhirnya dia benci sama aku. Dia terus berusaha buat jatuhin aku, tapi selalu enggak bisa, karena Gea udah nyaman sama aku dan aku pun nyaman sama dia, dia udah banyak berjanji sama aku, untuk enggak pernah tinggalin aku, sampai kapan pun. "Bahkan dia selalu katakan kalau dia mencintaiku, tapi nyatanya, setelah dia tau semuanya, dia pergi. Sebelum pergi, dia bilang, "Aku akan kecewain orang yang mengecewakan orang lain, dan itu kamu, Dane, aku benci kamu, sampai kapan pun benci kamu." Kata-kata dia masih terngiang-ngiang dalam ingatan aku. "Enggak lama setelahnya Wira bilang kalau mereka akan nikah setelah lulus sekolah, dan itu keputusan orangtua mereka. Aku drop, entah karena obsesi atau memang aku cinta sama Gea. "Tapi, bukannya cinta yang sesungguhnya itu membawa kebaikan? Justru semakin cinta aku sama Gea, aku semakin gila, aku semakin ... bodoh. "Sampai akhirnya kita hanya menjadi kenangan buruk. Masa kecil yang indah udah enggak ada lagi dalam ingatanku, Ra. Aku ... aku hampir putus asa, kondisi keluarga yang buat aku muak, dan pertemanan yang hancur karena ulah aku sendiri, semua ulah aku. "Apa kamu masih mau bersama orang gila?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN