Di pukul dua siang, sesuai janjinya, Anggara menjemput Azara untuk menghadiri penampilan solo Bintang di Studio Bunga sebagai pemenang pertama perlombaan dua minggu lalu.
"Ga, kamu belum bilang, kan?" tanya Azara berbisik saat sudah naik ke atas motor Anggara.
Anggara menggeleng. "Nanti di sana aku bilangin kalau kamu emang malu akui sendiri."
Azara menghela napas pelan lalu tersenyum, Anggara bisa lihat senyuman itu dari spion motornya. Nampaknya Azara memang menyukai Bintang, dia terlihat bahagia.
"Kamu pasti senang banget, ya, dapat kenyataan kalau perasaan kamu enggak bertepuk sebelah tangan?" tanya Anggara.
Azara mengangguk sambil tersenyum, dia langsung memeluk tubuh Anggara. Anggara tersenyum kecil, padahal hatinya sakit, ia juga memiliki perasaan lebih dengan Azara, tapi Azara hanya menganggapnya sebagai teman baik sejak dulu. Dan lihatlah, setelah mengetahui kalau orang yang dia suka juga menyukainya, dia masih saja bersikap seperti ini kepada Anggara, membuat laki-laki itu menaruh harapan lagi dan lagi.
"Kamu sesuka itu, ya, sama Bintang? Sejak kapan kamu suka sama dia? Alasan kamu suka sama dia apa?"
Azara bergumam, masih dengan posisi memeluk Anggara. "Kita udah berteman tujuh belas tahun, aku suka sama kamu dan Bintang dengan cara berbeda, kalian berdua selalu ada buat aku, kamu selalu bela aku kalau ada anak nakal, dan Bintang selalu nenangin aku kalau aku sedih. Aku suka kamu seperti kakak laki-lakiku sendiri, sementara Bintang, aku suka sama dia seperti kekasihku sendiri. Dulu ... waktu kita kecil, kita suka main rumah-rumahan, aku jadi ibu, Bintang jadi ayah, dan kamu jadi anak, lucu enggak, sih, kalau selama ini tuh bayangan itu masih terekam, aku sering berimajinasi hal itu, haha."
Anggara ikut tertawa, tapi terkesan dipaksa demi menjaga perasaan Azara. Cintanya sungguhan bertepuk sebelah tangan.
"Kalau aku sama Bintang nanti pacaran, kamu juga cari perempuan dong, katanya kamu suka sama perempuan ceria?"
Anggara menggeleng sambil tersenyum. "Aku belum mau pacaran, aku mau fokus belajar aja."
Azara menepuk tangannya setelah melepaskan pelukan di punggung Anggara. "Kamu keren!"
"Za? Kalau misalnya aku sama Bintang suka sama kamu, kamu bakal pilih siapa?"
Hening beberapa saat, sampai akhirnya Anggara yang tertawa lebih dulu.
"Aku bercanda kok."
Azara langsung meninju bahu Anggara. "Becanda kamu enggak lucu tau!"
Anggara hanya terkekeh pelan menanggapinya.
Sepanjang perjalanan ada saja yang Azara jadikan topik pembicaraan, hal itu membuat Anggara lupa kalau cintanya tak berbalas.
"Kamu udah makan?"
"Udah."
"Semalam kamu tidur nyenyak enggak? Insomnia kamu udah membaik?"
"Udah."
"Syukur deh."
Itu menjadi salah satu hal yang membuat Anggara jatuh hati dengan Azara, setiap hari perempuan itu selalu saja menanyakan banyak hal tentang dirinya yang jarang sekali ditanya siapa pun termasuk ibunya. Azara tahu kalau keluarga Anggara tidak baik-baik saja sejak dulu, ayahnya pemabuk dan sering pulang malam tanpa membawa uang sepeser pun. Azara selalu khawatir dengan keadaan Anggara, karena itu dia tidak pernah lupa menanyakan keadaan laki-laki itu baik langsung maupun lewat chat.
Satu hal yang Azara tidak suka dari Anggara, laki-laki itu selalu saja mengatakan tidak apa-apa saat dirinya jauh dari kata tidak apa-apa. Ia pernah menangis hanya karena melihat Anggara mimisan, ia sangat menyayangi Anggara seperti kakaknya sendiri, hal itu juga berlaku untuk Bintang.
***
Tepat saat Anggara dan Azara sampai di Studio Bunga, Bintang sudah ada di panggung, dia membawakan lagu River Flows in You. Laki-laki itu memang sangat pandai menggunakan piano sejak masih kecil. Di mana Azara suka bermain masak-masakan, Anggara suka main bola, Bintang malah sering menghabiskan waktu di rumah untuk memainkan piano.
"Azara, Anggara, sini!" panggil Bu Melia sambil melambaikan tangan.
Azara nampak bingung, studio sudah gelap, cahaya hanya disorotkan ke arah Bintang yang sedang memainkan piano dengan senyuman indahnya. Anggara langsung menarik tangan Azara, anak ini tidak bisa dibiarkan sendiri di tengah keramaian.
Saat sudah mendapatkan tempat duduk, Azara benar-benar terpana dengan piano yang dimainkan Bintang. Bintang sungguhan seperti bintang, dia sangat cerah saat dipandang, siapa pun pasti jatuh cinta dengan laki-laki itu, dia punya segalanya, wajah tampan, suara indah, bakat akademik dan non akademik, sikap perhatian, lembut, baik, dermawan, sungguh laki-laki idaman.
Setelah acara selesai, Bintang datang menghampiri Azara, Anggara, dan ibunya. Senyumannya membuat semua orang tersenyum.
"Terima kasih karena kalian udah datang," ucap Bintang sambil menatap Azara dan Anggara bergantian.
Sejak tadi Azara tidak berani menatap Bintang, rasanya benar-benar beda, ia jadi kaku dan canggung setelah tahu kalau Bintang memiliki perasaan kepadanya.
"Aku izin ke taman belakang, Ibu," ucap Bintang.
Bu Melia mengangguk. "Jangan lama-lama, habis ini kita makan siang bareng."
Setelah mendapat persetujuan ibunya Bintang langsung mengajak Azara dan Anggara keluar studio. Kini mereka sedang duduk di tepi danau sambil menatap lurus ke depan.
"Gimana, kamu mau?" tanya Bintang sambil menoleh ke arah Azara.
Azara yang sudah gugup jadi tambah gugup saat Bintang menatapnya. Anggara tersenyum kecil ketika melihat Azara menatapnya dengan tatapan ingin dikasihani.
"Dia punya perasaan yang sama, dan mulai hari ini kalian resmi pacaran," ucap Anggara sambil menatap lurus ke depan, senyumannya tercetak meski hatinya tak mendukung senyuman itu.
Bintang nampak berbinar. "Itu benar, Za?" tanya Bintang.
Azara menunduk sambil mengangguk, senyumannya tercetak kecil. "Iya, aku juga suka sama kamu."
Bintang langsung meninju angin karena bahagia. "Terima kasih."
***
Tepat saat hujan turun secara tiba-tiba, Anggara langsung masuk ke dalam rumah, sebelumnya ia sedang melamun di depan pintu, hari ini rumahnya sangat sepi, ibu dan ayahnya tidak ada di rumah. Ia tidak tahu mereka ke mana.
Sampai akhirnya Anggara menemukan secarik kertas di samping teko air.
Anggara, surat ini Ibu tulis saat kamu pergi. Ibu sudah memikirkannya matang-matang, ini demi kebaikan kamu, Ibu harap kamu bisa mengerti.
Ibu tidak akan kembali sebelum Ibu sukses, tapi tenang, Nak, setiap bulan Ibu akan mengirimkanmu uang. Jangan cari Ibu, dan jangan harapkan Ibu kembali. Tanda kalau Ibu sudah tidak bernyawa, kamu bisa lihat ATM, kalau Ibu tidak mengirimkanmu uang, itu berarti Ibu sudah tidak ada di dunia ini.
Ibu harap kamu bisa belajar dengan benar, jadilah laki-laki yang baik, jangan seperti ayahmu. Di sini, Ibu akan berjuang untukmu. Ibu sangat mencintaimu lebih dari cintanya Ibu kepada diri sendiri. Jaga diri baik-baik.
Tangan Anggara langsung gemetar, padahal ia berharap ibunya hanya keluar untuk mencari makan malam seperti biasanya. Air mata Anggara menetes, dadanya benar-benar sesak. Tubuhnya meluruh ke bawah bersamaan dengan derasnya air mata dan hujan malam ini. Penderitaan tak henti-henti menganggu hidupnya.
Ia menangis tanpa mengeluarkan suara, tubuhnya benar-benar dingin dan gemetar.
"Sekarang di mana tempatku berpulang? Di mana aku bisa menemukan kehangatan kalau ibu pergi?"