"Aku enggak pernah maksa kamu untuk punya pekerjaan yang menghasilkan uang banyak, aku selalu mencoba paham sama keadaan kamu, tapi apa balasan kamu ini, Mas? Udah tau kondisi ekonomi kita lagi merosot habis-habisan, tapi kamu ... kamu malah main wanita? Mabuk-mabukkan? Sakit hatiku, Mas. Anggara besok lulus SMP, harusnya kamu juga berpikir bagaimana cara untuk bisa cari uang, anak kita butuh pendidikan, minimal kamu ikut kerja keras agar anak kita bisa belajar sampai Perguruan Tinggi, aku enggak mau anak kita kayak kamu! Aku mau dia dihargai, aku mau dia punya masa depan cerah!"
"Kamu lelah jadi istriku, hah? Kalau gitu kita cerai aja, selesai, kan?"
Plak!
"Benar yang ibuku katakan, kamu cuma modal kata-kata manis, wajah tampan, tapi enggak punya tanggung jawab sebagai kepala keluarga! Oke, hari ini juga, kita cerai! Aku akan pergi dari rumah kumuhmu ini bersama anakku! Jangan harap kembali lagi saat dia sukses nanti!"
Pak Roy--ayah Anggara--mengangguk sambil tersenyum, dia masih dikendalikan alkohol sampai tidak bisa berpikir jernih. "Oke, kamu aku talak tiga! Harusnya aku yang bilang, jangan harap datang kepadaku saat butuh uang!"
Brak!
Pak Roy langsung masuk kamar dan menutup pintunya dengan keras.
Bu Tania--ibu Anggara--hanya bisa menangis sambil memijit pelipis. Saat mereka masih muda dahulu, pak Roy berhasil membuatnya percaya kalau menikah dengan laki-laki itu adalah pilihan terbaik, ia sampai melawan apa yang ibunya katakan karena cinta buta itu. Sekarang, ia benar-benar menyesal. Rumah tangga memang berbeda dengan hubungan di masa muda dulu, yang bertengkar, minta maaf, kencan, baikkan kembali.
Tanpa bu Tania dan pak Roy tahu, Anggara yang kebetulan belum tidur di pukul dua subuh itu hanya bisa melamun sambil menempelkan punggungnya di dinding. Ini bukan yang pertama kali, ibu dan ayahnya memang sudah sering bertengkar. Ayahnya selalu membuat ibu marah, tapi ibu tidak pernah membuat Anggara benci dengan ayahnya. Namun sekarang, entah mengapa ia jadi ikut marah dengan ayahnya.
Tiba-tiba setetes airmata meluruh membasahi pipinya, ia harus bisa mengabulkan impian ibunya, ia harus jadi anak baik, dan tentunya ... ia juga harus sadar diri. Ia bukan lahir dari pengusaha besar seperti Bintang, ia bukan lahir dari keluarga yang memang sudah kaya turun-temurun seperti Azara, ia hanya Anggara, laki-laki yang lahir dari keluarga sederhana, yang mana setiap harinya selalu ada instrumen percekcokkan antara ibu dan ayahnya.
Usianya sebentar lagi tujuh belas tahun, dan besok adalah waktu ia melaksanakan wisuda setelah tiga tahun menginjakkan kaki di lantai SMP. Yang harusnya hari ini menjadi hari paling berbahagia, malah dipadukan dengan kesedihan.
Ia embuskan napas pelan, seberat apapun masalah yang ia hadapi kini dan nanti, ia harus tetap melaluinya dengan lapang d**a, dunia memang tempatnya lelah, sebab keabadian yang sesungguhnya adalah ketika manusia mati dan telah diadili oleh keadilan Allah lalu masuk Surga. Benar, setelah dikubur dengan tanah pun manusia harus melalui masalah baru, bukan berarti merasa lelah hidup di dunia lalu bunuh diri dan semuanya selesai, justru di sanalah tempat manusia bertanggungjawab atas apa yang sudah manusia lakukan di dunia ini.
Saat mendengar isakan tangis ibunya Anggara langsung keluar dari kamar, saat mata mereka bertemu, hati Anggara mencelos, pasti berat menjadi ibu, ia bertekad, saat sudah dewasa nanti ia tidak akan membuat perempuan menangis karenanya.
Anggara langsung memeluk ibunya erat-erat, tidak ada pembicaraan di antara mereka, hanya suara isakan tangis ibunya dan elusan pelan tangan Anggara di punggung ibunya.
***
Azara tersenyum lebar saat melihat Bintang datang menghampiri ia bersama dengan ibunya.
"Aku yakin deh kamu bakal kepilih jadi lulusan terbaik tahun ini," ucap Azara.
"Semoga," jawab Bintang masih dengan senyuman di bibirnya.
Azara langsung melambaikan tangan sambil tersenyum lebar saat melihat Anggara datang bersama ibunya.
"Wow, kamu kayak model," ucap Azara sambil melihat Anggara dari atas sampai bawah.
Anggara memang menuruni ayahnya, dia tampan dan memiliki postur tubuh bagus. Dia langsung membusungkan d**a. "Iya dong, Anggara."
"Kalian ke aula duluan, gih, nanti kita nyusul," ucap Bu Yessi--ibu Azara, ucapannya disetujui oleh ibu Anggara dan ibu Bintang. Mereka ingin mendengarkan keluh-kesah sahabatnya yang baru mengalami masalah besar dalam rumah tangganya--bu Tania.
Azara langsung memeluk tangan kedua temannya dan menarik mereka untuk menjauh. "Ayo!" ucapnya.
Anggara tersenyum, pura-pura tidak tahu apa yang akan para ibu-ibu itu bincangkan. Ia harus bersikap seperti anak remaja normal pada umumnya agar ibunya tidak sedih, ia tidak boleh terlihat tertekan agar ibunya tidak sedih. Meski ia pun kadang bingung, mengapa hidupnya tidak semanis kehidupan orang lain.
"Kata mamaku, kita bertiga bakal satu sekolah lagi, mama udah daftarin nama kita di SMA X Negeri, tinggal ikut tes aja nanti." Tiba-tiba Azara berbisik, "Tenang ... aku udah punya kisi-kisi, nanti kita belajar bareng, ya, di rumah aku?"
Anggara dan Bintang hanya mengangguk.
Azara ini benar-benar tidak sadar diri, sudah tahu dua temannya laki-laki, tapi dia bertindak seolah kedua temannya itu perempuan, yang bisa ia peluk, pegang, dan perlakukan sesukanya, tanpa memikirkan bagaimana perasaan mereka. Meski mereka sudah berteman lama, Anggara dan Bintang tetap laki-laki normal yang menyukai perempuan. Mereka berdua hanya tidak menampakkan saja, padahal tanpa Azara tahu, baik Anggara ataupun Bintang, mereka sama-sama memiliki perasaan lebih dengan Azara.
"Siang nanti aku bakal tampil karena kemarin menang juara pertama, kalian ikut datang, ya?" ucap Bintang.
"Yang lomba main piano itu?" tanya Azara excited, "Kamu juara pertama? WAH KAMU KEREN BANGET, BINTANG!"
Bintang tersenyum lalu mengusap pucuk kepala Azara, beberapa tahun lalu tinggi mereka bertiga tidak beda jauh, tapi sekarang saat jalan bertiga justru seperti tangga berjalan, Anggara-lah yang paling tinggi. Di sini, hanya Azara yang proses pertumbuhan tingginya lambat.
"Di mana?" tanya Anggara.
Bintang menoleh ke arah Anggara. "Studio Bunga."
Anggara mengangguk. "Oke nanti aku jemput kamu, Za," ucap Anggara sambil merangkul Azara.
Hal itu tidak lepas dari pandangan Bintang, saat Anggara menoleh ke arahnya, Bintang langsung tersenyum--entah apa makna dari senyuman itu. Yang jelas, tanpa Azara tahu, dua laki-laki yang ada di sampingnya sedang perang dalam diam, tanpa menampakkan aura saling saing-menyaingi ataupun musuh-memusuhi, mereka melakukannya dengan sangat halus, bersaing dalam diam.
"Ga, kamu mau enggak jadi model di tokonya kak Dio? Dia semalam tanya ke aku."
"Nanti aku pikirin dulu."
"Jangan lama-lama mikirnya."
"Iya-iya."
"Nanti kalau kamu jadi model di sana, wajah kamu bakal terkenal."
"Aku enggak berharap terkenal."
"Ah masa?"
Dan pada akhirnya Bintang hanya menjadi penonton di antara mereka. Bintang memang tidak terlalu suka banyak bicara, ia hanya bicara saat penting saja. Namun ada kecualinya--kecuali saat bersama Azara, bahkan pembahasan konyol pun bisa jadi topik pembicaraan mereka.
***
Benar yang Azara katakan, Bintang meraih lulusan terbaik pertama. Bintang yang berhasil mendapatkannya, ia yang heboh kegirangan. Bahkan saat sesi pemotretan Bintang sampai minta satu sesi tambahan untuk foto bertiga dengan Azara dan Anggara.
Setelah acara wisuda selesai mereka jalan bertiga kembali, ibu mereka masih sibuk bicara sampai melupakan anaknya sejak tadi, maklum ibu-ibu, itulah kata-kata yang Anggara katakan saat Azara bertanya topik apa yang sebenarnya sedang dibicarakan para ibu-ibu itu.
"Za, aku mau bicara sesuatu," ucap Bintang tiba-tiba saat Azara dan Anggara sedang berbincang.
Azara dan Anggara menoleh bersamaan, Bintang tersenyum kecil, matanya menatap lurus ke mata Azara. Bintang pernah bilang, di mata Azara ada bintang, ia suka menatap mata Azara.
"Kenapa? Bicara aja kali, biasanya juga gitu, kan?"
"Kali ini beda," ucap Bintang masih dengan senyumannya.
"Ya, kenapa, Bintang?"
"Aku suka sama kamu, Za, aku mau kita punya hubungan lebih dari teman, apa kamu mau jadi pacar aku?"
Bibir Azara terbuka, tapi ia tak berkata apa-apa, ini terlalu mendadak sampai membuatnya kaku seketika. Azara menoleh ke arah Anggara, laki-laki itu sudah menatapnya sejak tadi, dia menaikkan sebelah alisnya sambil tersenyum.
"Kamu becanda, ya, Bi, masa ...."
Belum sempat Azara melanjutkan ucapannya Bintang langsung menutup bibir Azara dengan jari telunjuknya, kini bukan hanya lengkungan indah yang tercetak di bibir laki-laki itu, dia juga menampakkan gigi-giginya yang sering membuat para kaum hawa teriak histeris.
"Aku serius," ucapnya lembut.
Bintang itu memang laki-laki yang lembut, bahkan Azara tidak pernah mendengar Bintang bicara dengan nada tinggi dengan siapa pun. Ibunya pernah mengatakan, carilah laki-laki yang bisa memperlakukanmu dengan lembut, dan Bintang adalah laki-laki itu. Namun, bagaimana dengan Anggara? Untuk yang ke dua kalinya Azara menoleh ke arah Anggara. Laki-laki itu selalu tersenyum saat ia menatapnya, sama seperti Bintang.
"Ak-aku ...."
"Kamu bisa jawab besok atau lusa kok, yang penting aku udah nyatain perasaan aku," potong Bintang.
"Ayo, Bintang, pulang," ucap Bu Melia--ibu Bintang. Dia tidak tahu kalau anaknya baru saja menembak perempuan sampai perempuan itu tak bisa berkata-kata dengan leluasa seperti sebelumnya.
"Aku duluan," ucap Bintang sambil tersenyum lalu melambaikan tangan dan pergi bersama ibunya ke mobil yang sudah ada supir pribadi di dalamnya.
"Ga, aku harus gimana?" tanya Azara. Ibunya dengan ibu Anggara masih belum menampakkan diri.
Anggara tersenyum kecil, ia usap bahu Azara pelan. "Kalau kamu suka sama dia, ya terima aja, jangan sia-siakan kesempatan dan jangan gegabah juga. Aku ikut bahagia kalau kamu bahagia."
"Aku mau bilang sesuatu, tapi cuma sama kamu aja, dan kamu janji, ya, jangan bilang siapa-siapa?"
Anggara menggeleng sambil membungkuk, mendekatkan telinganya ke bibir Azara.
"Aku juga suka sama Bintang."
Anggara memejamkan matanya sekilas, entah mengapa hatinya sakit sekali mendengar itu. "Yaudah, kamu terima aja. Mau aku bantu bilang?"
Azara menggeleng lalu tiba-tiba mengangguk. "Tap-tapi."
"Aku bakal bilang Bintang nanti, selamat, ya, kalian saling suka dan ditakdirkan memiliki hubungan."