Anggara terbangun di pukul dua pagi buta, rupanya dia ketiduran di lantai, tepatnya lantai ruang tengah, tempatnya biasa menghabiskan waktu bersama ibu. Dahulu ia dan kedua orangtuanya memilih untuk pindah rumah karena orangtua ibunya tidak suka dengan pak Roy--ayah kandung Anggara. Jadilah ibunya berinisiatif untuk membeli rumah, walaupun tak besar, setidaknya lumayan tenang, ya ... meski ketenangan itu tak sungguhan tenang. Suaminya memang pantas dibenci oleh orangtuanya, dia laki-laki yang tidak bertanggungjawab dan ibu Anggara sangat menyesal telah melawan orangtua demi laki-laki itu.
Tubuhnya terasa sakit, bahkan matanya benar-benar terasa berat untuk dibuka, satu karena mengantuk, satunya lagi karena terlalu lama menangis. Untungnya besok belum ada kegiatan sekolah. Anggara langsung memeluk lutut, mencari kehangatan dari tubuhnya sendiri. Ia jadi tidak yakin ingin meneruskan SMA, bahkan untuk menjadi apa setelah ini saja ia sangat bingung, jalannya benar-benar terasa gelap.
Tubuh Anggara bergetar, handphone yang ada di saku celananya bergetar pertanda telepon masuk. Ia rogoh handphone dari saku celananya itu. Matanya tambah sayu saat melihat nama Azara di sana. Anggara pun bingung, kenapa setiap kali ia merasa terpuruk Azara adalah orang pertama yang ada untuknya. Hal itu semakin membuat dadanya sakit sebab mengingat kalau Azara sudah menjadi kekasih Bintang--sahabatnya sendiri.
Akhirnya Anggara membiarkan telepon Azara, tapi Azara tidak kenal lelah, dia terus menghubungi Anggara, sampai Anggara tak tega untuk mengabaikannya lagi. Ia menarik napas lalu mengembuskannya perlahan.
"Ada apa, Za, telepon jam segini, emangnya kamu belum tidur?"
"Anggara ... mamaku bilang, ibu kamu pergi, mamaku juga ikut nyuruh orang buat cari ibu kamu." Tiba-tiba Azara menghentikan ucapannya, ia terisak. Inilah kebiasaan Azara, ia selalu menangis saat melihat dua laki-laki yang ia sayangi menderita, baik penderitaan kecil ataupun besar. "Ga, aku ke rumah kamu, ya? Kamu pasti sekarang sedih banget."
Anggara terkekeh pelan, saking pelannya, yang Azara dengar hanya suara embusan napas laki-laki itu saja. "Aku enggak apa-apa, kamu tidur, ya. Aku matiin nih saluran teleponnya."
"Tunggu ...," cegah Azara.
"Kenapa?"
"Jangan merasa kesepian, kamu masih punya aku sama Bintang, kalau kamu butuh apapun, aku siap kok bantu kamu semampu aku."
Lagi-lagi Anggara terkekeh pelan. "Iya, janji sama aku habis telepon ini terputus harus tidur, ya?"
"Aku sayang kamu, Ga, kamu juga harus tidur." Setelah mengatakan itu, Azara langsung mematikan saluran telepon.
Senyuman di bibir Anggara langsung sirna, entah mengapa kata sayang yang Azara katakan malah membuat hatinya seperti teriris-iris. Ia tarik napas dalam-dalam lalu bangkit dari ketersungkuran. Tubuhnya benar-benar lemas karena belum makan, ibunya sudah menyiapkan makan malam sebelum pergi, tapi tetap saja, Anggara tidak napsu makan.
Akhirnya Anggara memilih langsung masuk kamar untuk merebahkan tubuhnya. Ia tidak bisa tidur, matanya terus terbuka, ia melamun, benar-benar melamun, pikirannya kosong, ia benar-benar bingung harus seperti apa, sampai buntu seperti sekarang.
Seketika kata-kata Azara terngiang-ngiang kembali di otaknya. Bibir Anggara melengkung. "Dia bilang sayang sama aku, tapi dia ninggalin aku, apa ini adil? Semua orang meninggalkanku, hah ... memang hanya diri sendiri yang bisa kupercayai, kuandalkan, dan kujadikan semangat untuk tetap hidup, bukan orang lain yang bisa datang dan pergi sesukanya," ucap Anggara sambil menatap langit-langit kamarnya.
***
Pagi-pagi sekali, Anggara dikejutkan oleh Azara yang datang tiba-tiba bersama Bintang. Azara tak bisa menutupi kekhawatirannya saat melihat kondisi Anggara sangat memprihatinkan. Dia terlihat seperti belum tidur, terlebih matanya pun memerah dan sembab. Bintang pun khawatir, tapi sesuai dengan karakternya, laki-laki itu tetap bisa bersikap tenang.
Azara langsung memutari tubuh Anggara sambil menutup mulutnya dengan telapak tangan. "Ga ... are you okay?" tanya Azara saat sudah puas memutari tubuh Anggara.
Anggara tetap tersenyum walaupun kondisinya jauh dari kata baik-baik saja, fisik dan batinnya sekarang sedang sakit, hanya saja ia tak mau menampakkan kelemahannya, terlebih di depan Azara, perempuan yang selalu menangis saat melihatnya kenapa-napa.
"Im okay, Za," jawab Anggara sambil mengusap rambut Azara yang terasa halus di tangan besarnya.
Azara langsung mendorong tubuh Anggara dengan ekspresi sedih, tiba-tiba air matanya menetes, di saat itu juga ia langsung memeluk Anggara, menangis di dadanya. "Kamu bohong, aku tau kamu bohong, kamu selalu bohongin aku, aku kesel sama kamu!" ucap Azara sambil memukul pelan d**a Anggara.
Bintang hanya memerhatikan dengan ekspresi tenang, padahal hatinya sekarang sedang tidak baik-baik saja. Ia tidak suka melihat Azara memeluk Anggara. Namun ia masih memandang kalau Anggara, ia, dan Azara memang hidup bersama sejak kecil, ia masih berusaha memaklumi kalau laki-laki itu adalah Anggara.
"Semalaman aku enggak bisa tidur karena mikirin kamu, bahkan mama aku pun ikut sedih," ucap Azara saat pelukannya sudah terlepas dari tubuh Anggara.
Anggara tersenyum sambil menepikan rambut Azara ke sela-sela telinga. "Terima kasih," ucapnya pelan.
"Ayo kita sarapan," ucap Bintang yang kini sudah pindah tempat ke meja yang ada di ruang tengah rumah Anggara.
Azara langsung menarik tangan Anggara untuk mendekat. Anggara baru tersadar dengan kondisi saat ini. Ia dan Azara memang sudah biasa bersikap seperti tadi, tapi sekarang dan sebelumnya sudah berbeda. Ia tak bisa menampik, Azara dan Bintang sekarang memang sudah menjalin hubungan, jadi ia harus tahu diri.
"Makanan ini buatan Bintang, dia bangun pagi buta untuk ini, kamu pernah bilang, kalau kamu itu suka sama makanan buatan Bintang, jadi Bintang buat ini sepesial untuk kamu, berharap dengan ini perasaan kamu bisa lebih membaik," ucap Azara sebelum menyuap suapan pertamanya.
"Thanks, Bi," ucap Anggara.
Bintang tersenyum tenang sambil mengangguk. Laki-laki itu memang tidak terlalu banyak bicara. Terkadang untuk membedakan apakah Bintang marah atau tidak itu bisa membuat kepala pening, baik sedang marah ataupun tidak, dia selalu bersikap tenang.
"Jangan sungkan, kamu bisa mengandalkan aku," ucap Bintang.
Anggara tersenyum kecil, antara terharu dan sedih, perasaan itu menjadi satu.
Setelah makan selesai, Azara terus membeo, bertanya banyak hal dengan Anggara. Perempuan itu memang tak pandai menutupi rasa khawatirnya, dia juga mudah terbawa suasana.
"Lebih baik kamu temui nenekmu, ibu dari ayahmu, dia sangat menyayangimu," ucap Bintang sambil membereskan rumah Anggara, Bintang memang tidak bisa diam kalau melihat hal-hal yang menurutnya kurang rapih.
Anggara mengangguk. "Niatnya juga seperti itu, nenek enggak ada yang rawat, jadi aku berniat tinggal bersamanya sambil merawat ia," jawab Anggara yang kini sedang mencuci piring bekas mereka makan.
Azara hanya memerhatikan dengan wajah gelisah, jujur saja ia sangat khawatir dengan Anggara. Ingin rasanya menawarkan Anggara tinggal bersamanya, tapi ia yakin Anggara tidak akan mau meski ia paksa sambil menangis. Anggara tipe laki-laki yang tidak suka merepotkan siapa pun.
Ia embuskan napas pelan. "Aku akan selalu ada buat kamu, Ga," ucap Azara.
Tiba-tiba hening, Anggara dan Bintang sempat bertatapan sesaat. Azara benar-benar perempuan muda yang lugu, bahkan dia tak memahami kalau apa yang baru saja ia katakan bisa menimbulkan pertengkaran. Untungnya Bintang masih bisa memaklumi sebab mengingat mereka sahabat kecil, kalau tidak dijamin akan ada percek-cokkan. Tidak hanya antara Azara dan Bintang, tapi juga dengan Anggara.
"Terima kasih, Za," ucap Anggara.