BAB 4

1031 Kata
Hari ini adalah hari pertama untuk Azara, Bintang, dan Anggara menginjakkan kaki di bangku SMA. Mereka bertiga berhasil lolos ke salah satu SMA negeri di daerahnya. Sebelum tes, Azara-lah yang heboh meminta Bintang dan Anggara belajar bersamanya. Sejak kecil mereka bertiga sudah sama-sama, Azara akan merasa sangat kesepian tanpa mereka, karena itu ia mengusahakan mereka berdua juga ikut belajar bersamanya, hal itu ia lakukan semata-mata agar ia bisa tetap bersama kedua sahabat laki-lakinya—Anggara dan Bintang. Pagi-pagi Azara dikejutkan oleh Bintang dan Anggara yang tiba-tiba sudah ada di depan pintu rumahnya. Mereka berdua sama-sama membawa motor dengan dua helm. Supir pribadi Adara yang sudah masuk ke dalam mobil pun mengurungkan niat untuk menyalakan mesin mobilnya. Untuk Anggara sudah tidak aneh, laki-laki itu memang sering menjemput Azara untuk berangkat bersamanya, tapi Bintang? Biasanya laki-laki itu diantar oleh supir pribadi setiap kali berangkat ke sekolah. "Lho, ini hari pertama sekolah, kalian semangat banget sampai-sampai jemput aku kayak gini. Terus gimana? Aku jadinya sama siapa?" ucap Adara seraya melipatkan tangannya di d**a. Anggara dan Bintang saling bertatapan setelah Adara mengatakan itu. Awalnya sama-sama datar, tapi tak lama kemudian Bintang langsung mengulas senyum. Setelah tersenyum Bintang langsung mengalihkan pandangannya dari Anggara. "Berhubung kalian udah jadian, kamu sama Bintang aja. Aku pikir Bintang enggak jemput kamu. Biasanya juga, kan, Bintang emang lebih sering naik mobil ketimbang naik motor, apalagi bawa sendiri dan jemput kamu kayak gini; jarang banget, kan?" ucap Anggara. Azara mengangguk setuju dengan apa yang Anggara katakan. "Iya juga, enggak biasanya kamu bawa motor sendiri dan jemput aku kayak gini, kerasukan apa kamu, Bi?" tanya Azara seraya mengulas senyum meledek. Bintang tersenyum tipis. "Mulai sekarang, aku yang bakal antar dan jemput kamu." Azara langsung salah tingkah, ia tersenyum sambil menunduk. Bintang pun tersenyum saat melihat Adara salah tingkah. Tinggallah Anggara tak menampakkan ekspresi apa-apa. Saat tidak ada orang yang menatapnya, Anggara akan menampakkan sikap aslinya. Setiap hari, Anggara memang selalu membaduti orang lain dan dirinya sendiri. Ia akan terus melakukan itu sampai akhirnya ia lupa dengan kata luka, membiarkan sakit menjadi sebuah kebiasaan, jadi saat dirinya diterpa badai, ia akan tetap kokoh berdiri karena sudah terbiasa dengan berbagai macam duri. "Yaudah kalau begitu kita langsung berangkat aja, yuk," ucap Azara seraya merangkul kedua tangan sahabat laki-lakinya untuk melangkah maju. "Mama kamu?" tanya Bintang. "Mama lagi ke pasar, ayah udah berangkat kerja, kak Dio juga udah berangkat kerja," jawab Adara cepat. Bintang menganggukkan kepalanya seraya membulatkan bibir. "Pantas aja enggak ada suaranya." Tepat saat mereka sudah sama-sama di parkiran. Bintang langsung memakaikan Azara helm. Bintang terus saja tersenyum saat memakaikan Azara helm. Setelah ibu, Azara adalah perempuan yang ia cintai dengan cara yang lebih spesial. Dulu mungkin ia tak menyadari perasaan ini, tapi semakin ke sini, ia semakin sadar kalau perasaan ia kepada Azara di luar batas pertemanan. Karena itulah ia langsung menyatakannya. Ia tidak mau Azara telat mengetahuinya atau malah Azara yang justru lebih dulu ditikung orang lain. Bintang memang orang yang to the point, jika ia suka, ia akan langsung mengatakan suka, pun sebaliknya, jika ia tidak suka, ia akan langsung mengatakan tidak suka. Sikap Bintang dan Anggara itu bertolak belakang. Bintang mungkin dikenal sebagai laki-laki yang ramah dan tidak banyak bicara, tapi laki-laki itu tidak terlalu memikirkan perasaan orang lain. Dia bisa mengeluarkan kata-kata pedas—meski dengan nada lembut—jika dia memang tidak suka. Sangat berbeda dengan Anggara, walaupun laki-laki itu dikenal dengan sebutan si laki-laki nakal yang suka memukuli orang, nilai kurang bagus, langganan masuk BK, sering dikejar-kejar guru karena tidak memakai seragam dengan benar, dan lain sebagainya, dia itu sebenarnya laki-laki yang perasa, dia tidak suka menyakiti orang lain, apalagi perempuan. Sekalipun dia tidak suka, dia tidak akan langsung menyakiti orang yang tidak ia sukai itu, ia masih sering memikirkan perasaan orang lain. Melihat Bintang dan Azara, d**a Anggara terasa bergerumuh. Semenjak ibunya pergi, ia semakin jauh dari kata baik-baik saja. Sekarang ini ia tinggal bersama neneknya yang sudah lanjut usia, sudah dua minggu ia tidak bisa tidur, ia selalu kepikiran tentang kondisi ibunya. Rasa kesal kepada ayahnya pun kian membara, karena ayahnya lah keharmonisan di rumah jadi tidak pernah ia cecap. Andai saja ayahnya itu mau bekerja, tidak mabuk-mabukan, tidak main perempuan, dan mau diajak bekerjasama dengan ibu, mungkin rumah tangga mereka tidak akan seburuk ini. Jujur saja, sebenarnya Anggara jadi takut memulai sebuah hubungan dengan perempuan karena ini, ia takut kalau hubungannya juga ikut berantakan seperti ayah dan ibunya. "Ga, are you okay? Tadi pagi kamu udah sarapan? Tidur kamu nyenyak, kan?" tanya Azara. Dia sudah memakai helm, tinggal naik ke atas motor saja. Anggara langsung mengerjapkan matanya. Tak lama kemudian dia mengangguk, senyumannya pun langsung merekah. "I'm okay, and always okay. Aku juga udah sarapan, tidur pun aku nyenyak," jawab Anggara. Tentu saja hal itu sebuah kebohongan. Jelas-jelas sekarang laki-laki itu sedang tidak baik-baik saja, dia belum sarapan, dia juga tidak bisa tidur dengan nyenyak. Anggara hanya tidak ingin orang lain—siapa pun itu—terbebani dengan masalahnya. Azara mengerucutkan bibirnya. Ia tahu Anggara sedang tidak baik-baik saja. Namun seperti itulah Anggara, beribu-ribu kali pun ia bertanya, jawaban itulah yang akan terus ia dapatkan. "Ayo naik," ucap Bintang. Memotong pembicaraan antara Azara dan Anggara. Akhirnya Azara pun naik ke atas motor Bintang. Bintang melaju lebih dulu, baru Anggara. Dari belakang Anggara terus saja menatap Azara dan Bintang yang tampak asyik di tengah jalan. Ia jadi berpikir, andai saja ia yang mengatakannya lebih dulu, andai saja ia yang menjadi kekasih Azara, ah! Tapi atas dasar kata ‘andai’ memang sering kali tak menjadi kata ‘nyata’. "Aku yakin deh, nanti pas sampai sekolahan, kamu pasti langsung dideketin banyak perempuan. Waktu tes aja para cewek langsung bisik-bisik pas kamu lewat. Dari dulu sampai sekarang, kamu emang selalu jadi bintang, sesuai nama kamu," ucap Azara. Bintang terkekeh pelan, Azara bisa melihat senyuman Bintang di kaca spion. Ia semakin sadar, Bintang itu memang laki-laki yang tampan. Tidak heran kalau banyak perempuan yang menyukainya. Dia pun tidak hanya menang di wajah, dia laki-laki yang multitalenta. Benar-benar sempurna. "Sebanyak apa pun perempuan di dunia ini, di penglihatanku hanya kamu yang spesial. Yang lain itu aku anggap invisible," ucap Bintang. "Bisa aja kamu," sambar Azara. Mereka berdua tertawa sepanjang jalan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN