“Akiib!”
Akib memutar bola matanya dengan malas. Perlahan ia berbalik dan nampak gadis berkulit putih dengan potongan rambut bob menghampirinya. Tak lupa senyum lebar yang membuat gadis itu menjadi semakin cantik.
“Pulang bareng ya?”
Akib hanya berdeham. Kalau saja tak ingat mereka pacaran, mungkin sudah ditinggalkannya sejak tadi. Rasanya ia salah mengambil keputusan. Mengira akan bahagia saat bisa kembali pada gadis ini. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Hanya gengsi dan ego saja yang membuatnya bertahan disamping gadis ini. Ia tak ambil pusing saat Cinthya menggamit lengannya sambil berjalan menuju parkiran sekolah. Bayangan Airin malah meng-hantuinya. Mengingat mereka tak sekalipun semesra ini. Sikapnya yang dingin namun perlahan menghangat saat sadar bila ia benar-benar mencintai gadis itu. Tapi sayangnya, ego dan gengsi yang tinggi telah menutup mata hatinya. Dan logika lah yang kini kuat mengendalikannya. “Nanti malem jalan yuk. Aku bosen di rumah,” celoteh Cinthya tanpa melihat wajah Akib yang kini sudah mengeras dengan tangan terkepal. Ia mendengus saat melihat sosok Airin sedang tertawa bersama Gara. Rasanya ia ingin menghajar lelaki itu dengan kemampuan silat sabuk hitamnya. Lalu membawa Airin bersamanya.
Hei...apa yang salah dengannya?
Ah, sejak awal memang semuanya terasa salah jika menyangkut gadis itu.
“Kib...”panggil gadis itu namun Akib hanya diam saja dan sedikit kaget saat Akib melepas tangannya dengan kasar. Detik berikutnya Akib sudah berjalan pergi menuju mobilnya. Gadis itu terdiam. Tak mengerti dengan kekasihnya. Semenjak mereka kembali bersama, rasanya Akib terlalu berbeda. Ia sangat dingin dan tak peduli padanya. Hatinya mencelos saat menyadari Akib meninggalkannya. Benaknya penuh dengan tanya. Ada apa dengan Akib? Kenapa sikapnya begitu berubah?
♥♥♥
“Gini kek dari pagi. Gue kan jadi gak khawatir lagi,” ucap Gara yang dihadiahi tatapan galak Airin karena telah mengacak rambutnya. Laki-laki itu tertawa kecil. Ia membuka pintu mobil dan menyuruh Airin masuk. Setelahnya, Gara bernafas lega karena nampaknya Airin tak tahu akan kehadiran Akib yang berada tak jauh dari mereka. Ternyata instuisi kelakiannya benar, lelaki itu tak benar-benar melepas Airin. Dan kali ini tentu saja ia takkan menyianyiakan kesempatan untuk membuat Akib menyesal seumur hidup karena meninggalkan gadis di sampingnya ini.
“Emang gue tadi pagi kenapa?” tanya Airin—pura-pura amnesia. Sementara Gara memutar bola matanya sambil mendengus kesal. Kalau saja Gara tak bertemu Akib tadi, mungkin ia takkan pernah tahu jika Akib telah melepaskan Airin. Bahkan menyuruhnya untuk memperjuangkan gadis itu, meski tak dikatakan secara terang-terangan. Namun Gara mengerti dan tentu saja kesempatan yang ada ini takkan ia sia-siakan. Baru saja Gara akan menginjak pedal gas, terdengar suara ketukan dibalik kaca mobilnya yang membuat ia menoleh.
“Gar, gue nebeng dong!”
Gara mendengus. Lalu bersikap seolah tak terjadi apa-apa. Ia hendak menginjak pedal gasnya lagi namun tangan lembut yang menyentuh pundak-nya membuat ia menoleh. Gadis itu menatapnya dengan lembut dengan anggukan kecil. Salah satu tanda untuk menuruti keinginannya. Namun tak seperti biasanya, Gara malah menggeleng dan langsung menginjak pedal gasnya dengan kencang. “Gara!”
Gadis itu berteriak kaget dan marah disaat yang sama. “Sorry,” ucapnya.
“Balik gak?” ancam Airin. Namun Gara tak perduli. “Gar....”
Gara mendengus. Mendengar rengekan Airin membuat kakinya menginjak pedal rem. Ia menoleh dengan tatapan tajam. Airin jadi ciut sendiri saat melihatnya. “Kalau lo nyuruh gue buat balik dan berbaik hati sama tuh orang, sorry gue gak bisa.”
“Dia sepupu lo, Gar!” teriaknya.
“Dulu. Sebelum dia khianati gue,” balas Gara dengan dingin. Airin melihatnya dengan bingung dan tak mengerti. Apa maksudnya?
♥♥♥
Hah. Manusia. Hampir seratus persen manusia di bumi ini mungkin pernah menjadi munafik. Contohnya saja laki-laki yang sedang duduk menegang di belakang setir mobil sport merah ini. Matanya menyalang. Tak sedikit pun mengalihkan pandangan dari rumah besar di depan lapangan bola itu. Jantungnya berdetak cepat dan mencelos saat sebuah mobil keluar dari sana.
Dulu dan sekarang tak ada bedanya. Ia hanya mampu menatapnya dari jauh. Disaat ada di sekitarnya ia nampak acuh namun di saat menjauh, ia mencari. Tak ingin orang itu pergi namun juga tak ingin orang itu berada di sisinya. Lantas maunya apa?
♥♥♥
Suka liat bintang? Atau jika menatapnya membuatmu teringat seseorang?
Pernah merasakan hal itu?
Tapi baginya dengan menyebut bintang saja sudah cukup membuatnya mengingat. Karena bintang itu bagian darinya. Tangannya memegang smartphone. Matanya tanpa kedip menatap layar alat canggih itu. Satu kata yang ingin ia ucap tadi siang tapi tak bisa. Ia tak mungkin mengucapkannya. Toh lelaki itu telah melepasnya pergi bahkan disaat ia baru memulainya. Mungkin ini hukuman karena yang lalu ia mengacuhkannya.
Matanya menerawang ke atas. Menatap langit hitam pekat. Anehnya bintang tak muncul di malam ini namun dimatanya bintang itu ada.
Ia menarik nafas dalam lalu menghembuskannya. Setelah ini ia harus bagaimana? Maju dan pergi. Atau mundur dan kembali? Hatinya masih ragu. Entah kenapa ia merasa ucapan Akib pada Gara siang tadi hanya kebohongan semata. Entah mengapa masih ada keyakinan di hatinya. Kalau cinta itu ada meski tak pernah terucap.
Untukmu Bintang Akib Fahlevi.
♥♥♥