Putus

1024 Kata
Tadinya berniat melangkah ke perpustakaan, namun saat mengingat pengumuman bahwa rapat OSIS diadakan di perpustakaan karena ruang OSIS sedang dirombak untuk perbaikan, menyurutkan langkah Airin. Gadis itu baru saja akan berbalik namun tatapannya terkunci pada sosok yang baru saja keluar dari perpustakaan. Entah kenapa, setiap melihat sosok itu, sel-sel tubuhnya kompak mogok kerja. “Rin..” bahkan panggilan Cristine pun tak mampu menyadarkannya. Sementara yang ditatap hanya melengos dengan kebencian yang menggelegak, merasa dipermainkan seorang gadis yang ia anggap lugu. Sadar bahwa tatapan ketidaksukaan itu berarah padanya, dalam sedetik saja gadis itu melangkah lagi tanpa memerdulikan tatapan Cristine yang aneh. “Lo berantem sama Kak Akib?” Pertanyaan itu membuat langkahnya kembali terhenti. Cristine adalah orang pertama yang menyadari kerenggangan hubungannya dengan Akib. Ah...tidak. Bukan kerenggangan melainkan keterputusan. “Gue udah putus sama dia,” jawabnya ogah-ogahan. Padahal hatinya berdenyut-denyut nyeri saat mengucapkan kalimat itu. Kalimat yang sudah berulang kali ia teriakkan di dalam pelukan kakaknya semalaman. Buktinya, matanya kini agak meng-hitam. Namun tak terlihat jelas karena ia tutupi dengan bedak. Belum lagi kepura-puraannya yang menunjukkan bahwa ia baik-baik saja padahal sebaliknya. Cristine sempat melongo dan diam beberapa detik sampai ke-sadarannya pulih hingga ia menyusul langkah Airin yang sudah memasuki perpustakaan. Padahal baru kemarin Airin mengatakan padanya bahwa ia mencintai Akib. Kemudian berniat membatalkan taruhan itu. Namun hari ini semuanya berubah tiga ratus enam puluh derajat. Berbeda dengan kenyataan yang ia terima kemarin. Sorot kebahagiaan dimata Airin kini berubah menjadi keperihan. “Lo serius?” tanya Cristine saat duduk di samping Airin. Airin hanya berdeham, enggan membahas lebih lanjut mengenai hal itu. Takut sakit lagi atau... takut menangis lagi seperti semalam? “Kok bisa?” tanya Cristine. Gadis itu masih belum percaya apabila meng-ingat cemerlangnya wajah Airin kemarin pagi. Bukan seperti pagi ini hingga sekarang yang nampak kusut. Belum lagi ia yang biasanya nampak cerewet malah nampak lebih pendiam semenjak pagi. Cristine masih menatapnya dengan penasaran. Yang ditatap semakin lama semakin jengah juga. Ingin mengalihkan pembicaraan namun bingung harus membicarakan apa. Akhirnya satu kalimat meluncur dari mulutnya dengan tangan yang sibuk membolak-balik kertas. “Bisalah. Orang hidup aja bisa mati.” Cristine mendengus. Kalau itu semua orang juga tahu. Jawaban yang ia inginkan itu bukan seperti itu. Sebaliknya, Airin hanya nampak diam padahal dalam hati ia sangat paham dengan apa yang dimaksud sahabatnya. Namun sekali lagi, ia enggan membahas. Cukuplah kisahnya dan Akib tutup buku sampai subuh tadi. “Kalo itu sih udah takdir!” gerutu Cristine. Gadis itu menarik kursi dengan kasar lalu mendudukinya. Airin masih nampak cuek dan tak peduli akan wajah kesal milik sahabatnya. “Nah sama. Yang tadi juga udah takdirnya,” jawabnya polos.Cristine hanya bisa memaki Airin dalam hati. Kalau tidak ingat dimana ia berada sekarang, mungkin ia sudah berteriak pada gadis di sebelahnya ini. ♥♥♥ Sementara itu Akib menyandarkan tubuhnya tepat disamping toilet laki-laki. Berulang kali ia memperingati dirinya untuk tak memerdulikan gadis itu namun nyatanya malah kebalikannya. Saat melihat tatapan itu, ia tahu jika gadis itu sedang bersedih. Namun yang tak ia mengerti adalah penyebab kesedihan itu. Apa karena-nya? Ia menggelengkan kepala. Tak mungkin. Ia tahu benar jika gadis itu hanya menjadikannya taruhan dan sasaran balas dendam sepupunya. Betapa amoralnya dan ia menyadari bahwa ia juga di posisi yang sama. Sama-sama amoral karena nyatanya, ia juga memanfaatkan gadis itu dengan menjadi-kannya pelarian. Satu tangan terulur di depan wajahnya yang mau tak mau membuatnya mendongak. Matanya menatap tajam saat melihat sosok tegap di depannya sedang tersenyum miring. “Gue kasih selamat buat lo,” ucap orang itu. Akib membuang wajahnya dengan tangan bersidekap, tak mengerti akan tujuan kedatangan laki-laki ini. “Gue udah berbaik hati ya, mau ngucapin selamat buat lo,” kecam laki-laki itu dengan sinis. Akib menoleh dengan sebelah alis terangkat. Terlihat jelas jika lelaki itu bingung akan sikap mantan rivalnya. “Selamat karena ternyata Airin lebih milih lo dari pada gue.” Akib terkekeh pelan setelah menyadari maksud dari laki-laki di depannya. Bagi Akib, laki-laki ini sama busuknya dengan gadis yang ia benci saat ini. Ah... salah. Yang lebih benar adalah ia sedang belajar membenci gadis itu. “Gue peringatin lo buat gak muncul di depan gue lagi,” ucapnya dengan dingin. Ia melangkah pergi meninggalkan sosok laki-laki itu dengan kening berkerut. “Oh ya, satu lagi,” ucapnya diiringi langkahnya yang terhenti dengan pandangan lurus ke depan. Kedua telapak tangannya ia masukkan ke dalam saku celananya di kanan dan di kiri. “Ambil aja tuh cewek buat lo!” Alis Gara terangkat sebelah. Ia melangkah pelan sementara Akib sudah melangkah lagi—menjauhinya. “Lo yakin?!” tanya Gara—setengah berteriak. Sudutnya menangkap sosok Airin yang mematung di dekat mereka. Namun Akib tampak tak menyadari kehadir-an gadis itu. Akib berhenti lagi. “Gue gak bakal narik ucapan gue tadi. Gue rasa lo lebih pantes buat dia.” Selanjutnya hanya kekehan Gara yang terdengar. Akib sudah tak menampakan batang hidungnya. Ia menoleh ke kanan untuk mencari sosok gadis tadi namun tak ada sama sekali. Matanya menyalang ke sekitarn-ya namun tak ada siapa pun. Keningnya mengerut, ia tak salah lihat bukan? Yang tadi itu benar Airin? ♥♥♥ Niat hati ingin merendah dan melakukan apa pun demi orang yang dicintai namun sepertinya keputusan tanpa pemikiran itu hanya menambah sakit hati-nya saja. Nyatanya, laki-laki itu telah mencampakkannya. Atau ia yang men-campakannya? Ia menekan kasar dadanya sendiri. Karena nyatanya rasa sakit itu teramat dalam menyiksanya. Tubuhnya yang bersandar pada tembok dibalik kehadiran Gara dan kepergian Akib, meluruh seketika. Kakinya tak lagi kuat untuk menopang atau sekedar mempertahankan tubuhnya. Mata itu basah lagi seiring suara isakan yang mengalun bagai sebuah serenade. Tak lupa lagu penyesalan yang terus mengiringinya. Kenangan indah bersama laki-laki itu berputar bagai kaset rusak. Berwarna hitam putih. Karena memang kenangan itu telah menjadi masa lalu. Masa lalu yang membuatnya tersenyum senang dan pedih ketika sadar semuanya telah berlalu. Ya, semuanya telah berlalu. Apa lagi yang ingin ia lakukan? Memutarnya kembali? Mengulang kembali semuanya? Tak bisa. Tangisnya semakin deras. Ia benar-benar terpukul saat ini. Keputusan asal karena gengsi, kebahagian sesaat dan penyesalan diakhir. Apa gue terlalu jahat? Ia menggeleng. Merasa jika bukan hanya dia yang menjadi pemeran antagonis disini. Tetapi dia juga. Namun tetap saja ia pemeran utamanya bukan? Dia juga. Dia jadiin gue pelarian kan? Tapi kenapa seolah semuanya gue yang salah? Tangannya bergerak menghapus air matanya. Otaknya memutar kejadian tadi. Ia tertawa kecil. “b**o banget gue. Mau-mau aja nangisin dia. Dia aja gak peduli!” ucapnya pada diri sendiri. Namun detik berikutnya tangisnya kembali pecah. ♥♥♥
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN