Suara sebuah pulpen mendarat di kepala terdengar nyaring di tengah-tengah lapangan sekolah. Airin berkacak pinggang sambil memandang bengis laki-laki yang sedang berdiri dengan sebelah kaki terangkat dan kedua tangan menjewer kuping. Siapa lagi kalau bukan Gara?
“Lo tuh gak malu apa?!” omelan Airin dimulai saat bel istirahat berdering dan tentu saja akan berakhir saat bel istirahat selesai berdenting. Hal itu seolah telah menjadi kegiatan rutinnya saat menyadari Gara terlambat atau membolos pelajaran. Sejak sebulan terakhir mereka semakin dekat meski dulu sempat terpisah jarak.
“Aiish” desis Gara—tak senang. Padahal dalam hati ia tersenyum. Akhirnya gadis ini kembali perduli padanya.
"Lo pasti begadang lagi kan?" bibirnya tak henti bicara tapi gerakan tangannya tetap fokus membuka tutup botol minuman untuk Gara. “Sekali lagi lo lakuin ini, gue gak bakal peduli lagi.” Itu ancaman. Namun sayangnya Gara malah terkekeh. Bukannya kemarin juga begitu? Airin bilang tak kan memerdulikamnya namun hari ini ia tetap disini. Di sisi Gara. “Aiish! Gue serius tahu!” ucapnya sambil memukul kepala Gara agar lelaki itu menganggap remeh ucapannya.
“Kak Airin!” seseorang dari jauh memanggilnya. Airin menoleh dan men-dapati adik kelasnya mendekat.
“Kenapa?”
“Kak Bayu manggil Kakak. Disuruh ke perpustakaan.”
Gadis itu mengangguk patuh. Ia menoleh pada Gara. Laki-laki itu mencibir pelan. “Ngomong apa lo?” sergahnya. Telinganya menangkap kata-kata ejekan terhadap Bayu.
“Gak ada. Udah sana pergi,” usir Gara. Airin mencibir. Laki-laki ini selalu seperti ini setiap ada lelaki lain di dekatnya, menghampirinya atau hanya sekadar menyapanya. Entah kenapa ia tak tahu alasanya dan tak ingin tahu alasannya. Gadis itu melangkah menuju perpustakaan sekolah. Langkahnya semakin pelan saat melihat deretan kelas di hadapannya. Dulu ia akan senang hati melewatinya. Dulu tanpa disuruh pun ia akan langsung pergi melewati deretan kelas di depannya. Tapi itu dulu. Sekarang rasanya ia ingin memutar jalan tetapi tak mungkin karena terlalu jauh. Atau hanya alibinya saja agar bisa melewati jalan ini lagi?
Hembusan nafas pelan keluar dari mulutnya. Kepalanya tegak lurus ke depan. Matanya fokus ke depan. Tak ingin melirik ke sebelah kanannya. Tak ingin berharap lagi. “Airin!”
Baru melewati satu kelas, langkahnya terpaku. “Hei, Bay!”
Sang ketua OSIS yang memanggilnya menghampirinya. Susah payah Airin mengatur otot kakinya namun tetap beku. Tengkuknya merinding tanpa sebab. Tanda ada yang memerhatikan mereka. “Tadi gue nyariin lo ke kelas. Terus liat lo lagi sama Gara. Jadi gue nyuruh Shinta buat manggil lo.”
Dan entah untuk alasan apa laki-laki ini begitu enggan berada di dekat Gara. “Ada apa?”
“Gue mau minta tolong sama lo. Tapi gak disini. Kita ke perpus aja oke?”
♥♥♥
“Kusut amat!” celetuk seseorang. Akib menghentikan langkahnya tepat di tengah pintu rumah. Laki-laki itu memundurkan langkahnya dan tertegun saat melihat sosok laki-laki dewasa duduk santai sambil membaca koran di sebelahnya.
“Astaga ABANG!” serunya kemudian. Laki-laki itu terkekeh. Ia berdiri lalu memeluk adiknya. “Kok dateng gak bilang-bilang sih?!”
Laki-laki itu terkekeh. Laki-laki itu balas memeluk Akib sambil menepuk bahu adik kecilnya. Lalu melepasnya dan beralih menatap adiknya dari bawah sampai atas. “Sama Mbak Sara?”
“Iyalah. Sama siapa lagi emangnya? Istri abang kan cuma dia.”
Akib terkekeh lalu mengikuti langkah abangnya masuk ke dalam rumah mereka. “Tumben ke sini,” cibirnya kemudian. Setahunya, abangnya ini sangat sibuk mengurusi perusahaan.
“Sahabat abang kan mau nikah.”
Akib mengangguk lalu ikut duduk di ruang keluarga. Suasana sore di rumahnya begitu sepi. Yah maklum lah, Ayahnya pasti masih di kantor sekarang. Lalu Mamanya entah kemana. “Bang Fadlan atau Bang Fadli?”
“Bukanlah. Tapi Wira. Kamu inget kan yang suka nge-dugem dulu?”
Akib menganggukkan kepalanya. Pikirannya menerawang kejadian ber-tahun-tahun lalu. Dulu saat abangnya belum menikah, ia sering melihat abangnya membawa sahabatnya itu yang pulang dalam keadaan mabuk-mabukkan ke rumah mereka. “Sekarang masih suka gitu juga Bang?”
Abangnya—Faiz—terkekeh lalu menjawab pertanyaan Akib. “Udah tobat dia.”
Akib menghela nafas lega. Entah kenapa ia ikut senang mendengar kabar itu.
“Nanti kamu ikut abang ke sana ya?”
“Hah? Ngapain? Kan ada Mbak sara!” ucapnya sambil beranjak dari sofa menuju kamarnya.
“Sara gak bisa. Dia harus ke Jerman hari itu.”
“Oh,” tukasnya lalu mengangguk—mengiyakan permintaan abangnya. Kemudian ia menghilang di balik pintu kamarnya.
“Oh ya, Kib!” teriak Abangnya dari luar. Akib yang sedang membuka kancing kemejanya segera berteriak menjawab panggilannya. Tak lama kemudian ia keluar dengan kaos putih yang ia kenakan dibalik kemejanya sejak pagi. “Abang dengar kamu sama Acin lagi?”
Akib tertegun sebentar lalu mengambil duduk di sebelah Abangnya. Ia menghela nafas sambil menatap ke langit-langut rumah. Saat tak mendapat jawaban apapun, Faiz menoleh pada Akib yang kini nampak dilema. “Kenapa?” tanyanya saat menyadari adiknya tak seperti biasanya.
“Akib gak tahu, Bang. Rasanya Akib salah mengambil keputusan,” ungkapnya. Sejak kecil kakak beradik ini memang sangat dekat. Apapun yang mereka alami pasti akan saling bercerita satu sama lain. Tak ada sedikit pun rahasia di antara mereka.
“Soal?”
“Acin.”
Faiz menghela nafas. Ia tak tahu apa yang dirasakan adiknya atau apa yang terjadi setelah ia menikah dan bertinggal jauh dari adiknya. Namun memang terlihat aneh saat ia menjumpai wajah murung Akib. Saat lelaki itu sampai di rumahnya. Itu seperti bukan Akib. “Kenapa dengannya?”
Bukannya menjawab, ia malah menghela nafasnya. Tak tahu harus mulai bercerita dari mana. Hingga hanya satu kalimatlah yang keluar dari mulutnya.
“Akib gak bahagia lagi saat bersamanya.”
♥♥♥
“Harus gue ya, Bay?” tanyanya sekali lagi. Entah kenapa ia malas sekali menjalankan tugas ini.
“Iya lah. Gue kan udah jadi ketua pelepasan kelas XII nih, masa lo tega sih nyuruh gue ngerangkap jadi sekretaris juga?”
Wajah Airin nampak pias. Ia juga kasihan pada Bayu. Tugasnya sebagai ketua OSIS saja sudah banyak menyita waktunya apalagi ditambah ketua pelepasan yang acaranya tinggal empat bulan lagi. “Tapi....Bay, proposalnya emangnya harus sama banget kayak yang tahun kemaren?”
Bayu nampak berpikir sebentar. “Kita kan mau nyari sponsor nih, Rin. Maksud gue bukannya mau sama persis dengan proposal tahun kemarin sih, tapi lo nanti belajar gimana bikinnya supaya nanti proposal kita diterima sponsor.”
“Kenapa gak lo aja yang belajar sama dia terus lo ajarin gue?”
Bayu menghela nafas. Airin tampak terus mengelak dari tugas yang akan diserahkan padanya. “Gue temenin deh Rin kalo lo gak mau sendiri. Gimana?”
Aiish! cibirnya dalam hati. Gadis itu menatap Bayu penuh kemelasan namun Bayu tak tergoyahkan hingga akhirnya ialah yang mengalah. “Oke deh,” ucapnya dengan lemas. “Kalau gitu, gue balik yah?” pamitnya. Bayu mengangguk pelan.
“Gue heran deh sama lo, Rin. Kalo cewek yang lain pasti udah rela-rela aja ngejalanin tugas ini,” tukas Bayu amat pelan namun masih tertangkap oleh Airin.
“Aiish!” gadis itu mendesis lalu mengetuk kepala Bayu dengan kuat. Lelaki yang ia kenal sejak masuk SMA itu sama sekali tak berubah. Tetap narsis dan terlalu percaya diri. “Kayak lo cakep aja!” gerutu gadis itu lalu melangkah pergi. Bayu tertawa terpingkal-pingkal dibuatnya. Ini yang ia suka dengan gadis ini. Airin adalah satu-satunya gadis yang tak termakan oleh pesonanya.
♥♥♥