Episode 5 : Awal Mula Kisah Mereka

1150 Kata
“Masuk toilet umum saja harus mengantre, berproses! Masa iya, kamu tiba-tiba mau menikah?” Episode 5 : Awal Mula Kisah Mereka *** Oktober 2017 “Kenapa harus pulang?” “Karena aku memang harus pulang.” “Biasanya kamu pulang, hanya kalau mau lebaran, kan?” Lily menghela napas pelan. Ia berusaha untuk tetap fokus, kendati Des terus mengekor dan tak henti menginterogasinya. “Enggak usah pulang bisa, kan?” “Jawab, dong, Ly. Ly ...?” Des merajuk bak bocah. Pun dengan ekspresi wajahnya yang memelas tak berdosa. Benar-benar bayi. Setelah sampai menghela napas pelan, Lily menggeleng pasrah. “Enggak, Des. Aku harus pulang.” “Memangnya ada urusan yang sangat penting? Maksudnya, orang tuamu sakit, apa bagaimana, sampai-sampai, kamu benar-benar harus pulang?” Nada suara Des berubah drastis dipenuhi kecemasan sekaligus kepedulian. Dan ketika Lily menggeleng, memberikan itu sebagai balasan, Des menjadi semakin cemas. “Terus? Ly, jawabnya yang jelas, dong. Kamu ini kenapa, sih? Kok jadi aneh gini?” keluh Des lagi. “Aku akan menikah, Des.” Jantung Des seolah melesak hanya karena mendengar balasan itu terlontar dari mulut Lily. “Hah ...?” Des benar-benar terkejut tanpa bisa menyembunyikannya. Dan saking terkejutnya, ia sampai lupa bernapas untuk beberapa saat. Sakit juga pria itu rasa menggerogoti hatinya. Entah apa yang sebenarnya terjadi kepada pria itu, karena, Des yang merasakannya saja, juga tidak mengerti. Terlepas dari itu, Lily juga merasa heran dengan tanggapan Des yang hingga detik ini masih terlihat sangat terkejut. Pria itu seolah-olah baru saja mendengar kabar buruk. Setelah terdiam cukup lama, Des yang masih tidak percaya pun berkata, “kok nikah?” Dahinya kian berkerut di tengah dadanya yang menjadi berdebar-debar. Di dalam sana, tak hanya hatinya, sebab jantung dan semua pemacu kehidupannya juga mengalami hal serupa. Semua orang pasti akan menikah termasuk mereka yang sudah menikah. Namun, mendengar jika menikah akan dijalani Lily, membayangkannya saja Des langsung tidak sanggup. Des tidak rela ditinggal menikah oleh Lily, karena kalau wanita itu menikah, dengan kata lain, Des akan kehilangan Lily. Des butuh, dan memang sangat butuh Lily yang teramat mengerti semua tentang Des! Lily memasukkan empek-empek mentah ke dalam wajan berisi minyak panas yang sudah mengepulkan asap, sedangkan di atasnya, mesin penyerap asap sudah berdengung. “Jangan dekat-dekat, nanti kalau kulitmu melepuh lagi, aku enggak mau nanggung risikonya, ya!” ucap Lily cepat. Lantaran tidak mendapat respons, sementara Lily mendapati kaki Des yang mengenakan sandal jepit warna putih s**u, masih berdiri di belakangnya, Lily pun balik badan sambil menengadah, menatap Des yang kiranya dua puluh senti lebih tinggi darinya. Tatapan Des menegaskan keberatan. Selain itu, Des juga terlihat resah. Dengan tatapan bergetar, pria di hadapannya menggeleng, seolah sedang menepis hal yang tidak diinginkan. Des sungguh sedang memohon dan Lily paham itu. “Memangnya pernikahan sangat penting, ya?” tanya Des. Meski nada bicara Des terdengar jengkel, tapi Lily mendengar banyak kesedihan di dalamnya. Lily menghela napas pelan dan mencoba sebijak mungkin dalam menghadapi keadaan. “Terus, aku harus jawab apa, Des? Dan kalau aku yang tanya kayak gitu ke kamu, kamu jawab apa?” Suara lembutnya masih terdengar menyimpan banyak kesabaran. Des mengernyit bingung. “Loh, kok malah balik tanya?” Des sadar jika ucapannya kali ini sampai terdengar sewot. Lily langsung membalas, “pertanyaanmu nyeleneh, Des. Sudahlah, kalau memang kamu enggak memang masih bingung juga, lebih baik enggai usah dibahas.” “Aku hanya tanya, kenapa kamu tiba-tiba mau pulang, dan malah untuk menikah?” Des merajuk dan terlihat tidak habis pikir. Ada kemarahan yang kali ini terdengar dari balasan Des. Lily paham itu. Lantaran tak kunjung mendapat balasan, Des pun menenggak minumannya dengan penuh rasa kesal. “Masuk toilet umum saja harus mengantre--berproses! Masa iya, kamu tiba-tiba mau menikah?” ucapnya. Des kerap melirik sinis ke arah Lily. Beberapa kali, ia juga menggerakkan rahangnya ke kanan dan ke kiri, kemudian menghela napas, dan terus berlanjut begitu sambil menanti balasan Lily. Lily mengatur napas pelan. Fokusnya kembali pada empek-empek yang masih digoreng. Terdengar suara menyerupai gelas yang baru saja diletakkan, dari meja yang ada di belakangnya. Des mengelap asal sekitar bibirnya menggunakan punggung tangan kanan. “Enggak usah pulang apalagi nikah, ya, nanti gajimu aku naikin?” Ia menatap Lily penuh harap. Meski sudah berlalu lebih dari tiga menit, sesuai waktu yang Des pastikan di monitor CCTV sampingnya, Lily masih fokus ke penggorengan. Benar-benar hanya punggung Lily yang Des dapatkan, lantaran Lily justru terkesan sengaja mengabaikannya. Des tidak mengerti apakah Lily keberatan atau justru marah? Karena baginya, menghadapi Lily jauh lebih rumit dari ketika ia diharuskan menjawab soal-soal super sulit, ketika ia masih sekolah. Sebab, bukannya menjawab setiap pertanyaan yang Des lontarkan, Lily justru selalu memilih diam dalam setiap halnya. Terkadang, Des benci ketika Lily sudah begitu. Lily yang seperti benda mati dan selalu menyimpan lukanya sendiri. Des ingin Lily menjawab setiap pertanyaannya, bahkan kalau bisa, Lily mengeluh dan bergantung padanya, seperti apa yang selama ini Des lakukan kepada Lily. “Oke, pikirkan baik-baik. Aku tunggu jawabanmu, secepatnya.” Des berlalu meninggalkan Lily dengan harapan, wanita itu mau menerima tawarannya, bahkan kalau bisa secepatnya. Terdengar langkah menjauh setelah kaki jenjang putih berbulu, milik Des meninggalkannya. Lily menggeleng tak habis pikir sambil meniriskan empek-empeknya. Ini mengenai Des yang memang selalu begitu. *** Tak lama kemudian, menggunakan nampan, Lily mengantarkan empek-empeknya ke beranda di sebelah kolam ikan. Di sana, Des duduk sambil membaca koran yang sampai dibentangkan. “Bagaimana?” todong Des, padahal Lily baru akan memasuki area beranda. Des menatap dan menunggu balasan Lily yang sempat memelankan langkah, tak lama setelah pertanyaan yang ia layangkan. “Oke, ya? Enggak usah pulang? Enggak usah nikah?” lanjutnya. Mendengar itu, dahi Lily menjadi berkerut samar. “Aku yang mau nikah, kok malah kamu yang ribut?” Lily menaruh isi nampannya di atas meja yang ada di hadapan Des. Empek-empek yang sudah dipotong, potongan mentimun, juga bumbu kuah kehitaman yang tercium sangat segar, dengan aroma jeruk nipis dan bawang putih yang khas, bercampur dengan rebon bubuk. Des mendesah kemudian melipat koran yang masih ia kendalikan menggunakan kedua tangan, kemudian meletakkannya. Pria itu lalu menegakkan punggungnya. Masih belum bisa tenang, sementara fokusnya telah seutuhnya kepada Lily. “Sebenarnya, apa yang kamu pikirkan tentang pernikahan, Ly?” Tatapan Des terlampau serius. Selama sepuluh tahun mengenal pria tersebut, Lily belum pernah melihat Des seserius sekarang. Lily bahkan jadi tidak berani menatap Des. Namun, manik mata hitam Des tetap menatapnya meski sudah hampir lima menit berlalu. Bagi Lily, apa yang Des lakukan terbilang mengintimidasi. Padahal Lily merasa jika keputusannya berhenti bekerja lumrah. Umur Lily sudah dua puluh lima tahun, dan sebagai wanita, Lily merasa sudah pantas menikah. Bahkan di kampung halamannya, Lily sudah sampai dicap sebagai perawan tua, hanya karena di usianya itu, Lily belum menikah. Des memang atasan Lily. Keduanya terbilang dekat. Akan tetapi, Lily merasa jika segala sesuatunya selalu memiliki batasan, termasuk hubungan mereka. Ia merasa sangat tidak nyaman jika Des mengusik masalah pribadinya, apalagi mengenai pernikahan. Bersambung ....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN