Setelah merasa cukup puas dengan semua yang terjadi hari ini, dengan langkah gembira, Thea meninggalkan Universitas Permata Biru, sembari menyenandungkan sebuah lagu dari kehidupan sebelumnya. Senyuman manis itu terus merekah dari kedua sudut bibirnya, sampai-sampai kedua matanya pun ikut menyipit.
Namun, di tengah perjalanannya menuju halte bis, sekelompok pria berpakaian hitam terlihat sudah berdiri menghalangi jalan, berada dalam posisi siap siaga, sembari mengawasi sekitaran Thea.
“Nona Thea!” Mereka membungkuk dengan sopan, dan salah satu di antara pria-pria itu menyapa Thea–Morgan.
Senyuman Thea seketika menghilang, dia perlahan mundur selangkah. Jelas sekali bahwa mereka adalah orang kiriman Dirga–lelaki yang kemarin mengajaknya menikah, juga suami di kehidupan sebelumnya.
“Nona Thea, Tuan Dirga sudah memerintahkan kami untuk menjemputmu pulang sekarang juga,” ujar Morgan.
“Apa kamu yang menghubungi polisi dan melaporkan Bunga atas kejadian lalu?” tanya Thea penasaran.
Sayangnya, Morgan tak menjawab dan malah memerintahkan dua orang anak buahnya untuk mendekati Thea, hendak mengaping wanita itu.
“Aku bisa berjalan sendiri!” tolak Thea dengan cepat.
Namun, Morga tidak begitu saja mempercayai kata-katanya. “Maaf, Nona, tetapi saya tidak mudah tertipu seperti Moses.”
Tanpa menunggu aba-aba apapun lagi, salah seorang anak buah Morgan tiba-tiba mengangkat tubuh Thea–yang sudah berancang-ancang akan berlari kabur dari mereka–ke atas bahunya, dan memasukkan wanita itu ke dalam mobil dengan hati-hati.
***
“Kamu benar-benar b******k!” Thea benar-benar tidak bisa menahan diri lagi untuk tidak mengutuk dan berbicara kasar. Namun, wanita itu tidak punya niat untuk melawan, apalagi saat melihat perawakan para penjaga yang dikirim Dirga untuknya.
“Kami hanya menjalankan perintah, Nona. Tuan Dirga mengirim kami untuk menjemput Anda setelah mendapat laporan bahwa Anda telah melarikan diri dari rumah utama. Saya mohon kerja samanya.”
“Bagaimana mungkin aku bisa bekerja sama, jika caramu membawaku saja seperti itu!” protes Thea.
Morga tak menjawab, dan hanya membungkukkan tubuh, sebelum akhirnya menutup pintu mobil.
Sial!
Thea paling benci diperlakukan kasar seperti itu. Dia benar-benar tidak suka jika cara yang Dirga pakai selalu seperti preman.
Apa mereka tidak ada yang bisa memercayaiku? Aku bahkan tidak punya niat untuk melarikan diri. Tidak perlu bersikap sekasar itu!
Setibanya di rumah mewah pribadi milik Dirga, Thea segera turun dari dalam mobil dan melangkah masuk melewati sebuah taman. Saat ia menoleh ke kiri dan ke kanan, dari sudut matanya, dia bisa melihat sekelompok orang mengikuti di belakang. Dan hal itu malah membuatnya semakin risi.
Aku hanya kembali ke kampus untuk memberi pelajaran pada para b******n itu. Kenapa Mas Dirga malah memerintahkan anak buahnya sebanyak ini? Bikin tidak nyaman saja!
Sementara itu, di sisi lain, Moses yang tadi sempat tidak diizinkan pergi oleh Dirga, nampaknya sedang sibuk dengan sebuah setrikaan bermerek. Tangannya gemetar hebat saat melihat bekas luka bakar di punggung Dirga, apalagi ketika permukaan kulit pimpinannya itu mulai mengerut dan menghitam. Ia benar-benar sudah tidak sanggup lagi melakukannya.
“Lanjutkan!” kata pria itu dengan nada bicara datar.
Moses bergerak dengan ragu-ragu, karena area yang terbakar sudah sangat luas. Itu bahkan sudah sangat cukup untuk membuat Thea merasa bersalah.
“Saya pikir sudah cukup. Anda tidak perlu–“
“Aku bilang, lanjutkan, ya lanjutkan! Aku tidak suka penolakan!” Dirga meliriknya dengan dingin.
Moses pun kembali bergerak ragu-ragu. Akan tetapi, saat dia hendak menempelkan kembali benda elektronik tersebut pada punggung Dirga, suara dari para anak buahnya pun terdengar.
“Mereka kembali,” gumamnya pelan.
Dirga menoleh dengan mata membelalak. “Sembunyikan semuanya, dan bawa kotak P3K ke mari!”
Dengan gerakan cepat, Moses melakukan sesuai perintah Dirga, menaruh setrikaan ke tempat asal–ruang pakaian–dan lalu mengambil sebuah kotak putih dalam lemari kamar mandi. Setelah selesai, Moses pun sempat menghela napas dalam, dan kembali duduk di belakang tuannya untuk mengobati luka bakar tersebut.
Namun nyatanya Dirga malah bangkit, dan berjalan keluar dari ruang pakaian hendak menuju ruang tengah. Mau tidak mau Moses pun segera berlari kecil untuk mengekor di belakang pria itu, dan berdiri tak jauh dari tempatnya.
“Astaga, ini benar-benar sakit,” gumam Dirga sangat pelan. Wajah pria itu bahkan terlihat pucat, dan dahinya pun dipenuhi keringat dingin.
Thea yang baru saja masuk ke dalam rumah seketika mengerutkan dahi, nampak khawatir saat melihat ringisan di wajah. “Kamu kenapa?” Belum sampai Thea duduk di samping Dirga, matanya sudah lebih dulu melihat bekas luka bakat parah di punggung pria itu, hingga Thea membelalakkan mata. “Astaga, apa yang terjadi?”
Dirga segera menarik kemeja hitamnya, berpura-pura hendak menggunakannya untuk menutupi luka tersebut. Namun, Thea lebih dulu merampasnya.
“Jangan ditutup dulu! Luka bakarmu sangat parah.” Nada bicara Thea terdengar sedikit meninggi.
“Aku baik-baik saja,” jawab pria itu dengan lembut.
“Kapan kamu mendapatkan luka bakar ini?” tanya Thea.
“Saat menyelamatkanmu dari kebakaran, Nona,” jawab Moses berinisiatif.
Dirga segera memberi tatapan tajam. “Diam! Atau aku penggal kepalamu!”
Seandainya saja Moses tidak tahu alur cerita yang sudah dibuat oleh Dirga, mungkin dia akan benar-benar tertipu oleh akting tuannya itu.
“Coba aku lihat lukanya!” ujar Thea.
Wanita itu segera berpindah untuk melihat punggung Dirga dan mengusapnya dengan lembut menggunakan jari. Hatinya mendadak sakit, apalagi saat tahu luka itu disebabkan karena Dirga menyelamatkannya. Namun, hanya dalam hitungan detik, setelah ia selesai memeriksa, Thea mulai menyadari ada sesuatu yang salah pada luka bakar tersebut.
Kamu mencoba menipuku, Mas.
Thea segera mengulurkan tangannya pada Moses, dan berkata sambil tersenyum penuh arti. “Berikan aku kotak P3K. Aku akan mengobati lukanya.”
“Saya takut merepotkan anda, Nona,” ujar Moses.
“Ayo, berikan padaku!”
Akhirnya, Moses pun memberikan kotak putih berisi obat-obatan tersebut pada Thea, dan mengajak Morgan juga anak buahnya untuk pergi dari tempat itu, meninggalkan Thea dan Dirga berdua.
Dengan telaten, wanita itu mulai membuka penutup kotak medis dan mengeluarkan obat-obatan, juga peralatan yang diperlukan untuk membersihkan luka tersebut. Dia juga mengenakan sarung tangan medis yang tersedia, mengingat luka bakar di punggung Dirga cukup luas.
“Mas, aku akan mulai membersihkan lukamu. Ini akan sakit, jadi tahan sebentar, ya,” ujar Thea sembari memegang botol cairan saline di tangan kiri, dan pinset untuk menjepit bola kapas di tangan kanan.
Dirga mengangguk. “Ya, aku akan menahannya.”
Setelah mendengar jawaban pria itu, Thea pun mulai membersihkan luka bakar tersebut menggunakan alat-alat yang sudah dia siapkan, membiarkan Dirga meringis kesakitan, dan bahkan dengan sengaja ia tekan bola kapas serapan air saline itu cukup kencang agar Dirga bisa merasakan nyeri yang lebih dahsyat dari sebelumnya.
Bukankah ini yang Dirga inginkan, sampai-sampai membohonginya perihal luka bakar yang dia miliki? Itu yang Thea pikirkan.
“Mas, kalau sakit bilang, ya?” kata Thea. Wanita itu ingin tahu, sejauh mana Dirga bisa menahan rasa sakit yang dia rasakan saat ini.
“Sejauh ini, masih tidak terlalu sakit. Aku bisa menahannya.” Alis Dirga yang sempat berkerut, perlahan mulai mengendur. Ia bergerak sedikit menggeser, sehingga matanya bisa menatap Thea yang juga sedang melihat ke arahnya.
“Apa ini benar-benar tidak terasa sakit?” tanya Thea sembari mengalihkan pandangannya ke sisi lain.
“Ya, aku bisa menahannya,” jawab Dirga.
“Baiklah ... Setelah ini, aku akan mengoleskan salep luka bakar, dan mungkin terasa sedikit perih, aku harap Mas bisa menahannya juga, seperti Mas menahan saat luka bakar ini dibuat,” ujar Thea dengan lembut.
Dirga seketika tertegun mendengar kalimat terakhir yang terlontar dari mulut Thea. “Jadi, kamu sudah mengetahuinya? Ah ... Sepertinya rencanaku gagal total.”
Sembari mengoleskan salep luka bakar dan menutupi lukanya dengan kain kasa, Thea menjawab, “aku benar-benar tidak mengerti jalan pikiranmu, Mas.”
Begitu Thea selesai, Dirga segera meraih pinggang wanita itu dan memangkunya. “Kamu yang memaksaku melakukan ini, Thea. Kalau saja kamu tidak pergi dari rumah, mungkin aku tidak akan pernah melakukannya.”
“Dasar bodoh!” umpat Thea sembari memberikan delikan tajam yang manja.
“Apakah aku harus melukai diriku sendiri untuk membuatmu tetap bersamaku dan bersikap baik padaku?” tanya Dirga lagi.
Thea segera menggelengkan kepala. “Tidak perlu, Mas. Aku bahkan sudah berjanji untuk bersikap baik padamu dan tinggal di sini selamanya.”
***