Setelah selesai mengobati, Thea pun membantu Dirga untuk mengenakan kemejanya, lalu duduk di samping pria itu untuk melepas lelah setelah kegiatan yang menguras emosi hari ini. Apalagi, karena bayangan masa lalu yang begitu pahit sempat kembali menyayat hatinya.
“Mas, boleh aku bersandar di bahu Mas? Aku lelah,” tanya Thea, persis seperti yang biasa dia lakukan setiap kali ingatan menyakitkan itu kembali ketika di kehidupan sebelumnya.
Walau Dirga merasa aneh dengan kelakuan Thea yang tidak seperti biasanya, dia tetap menganggukkan kepala. “Seluruh bagian tubuhku bahkan sudah milikmu sepenuhnya, Thea. Kamu bisa memanfaatkannya sesuka hati.”
Thea tersenyum. Ia merasa begitu senang karena bisa kembali merasakan kasih sayang suaminya itu. “Terima kasih, Mas,” ucapnya.
“Apa yang sudah kamu lakukan hari ini sampai-sampai terlihat sangat lelah?” tanya Dirga sembari mencium puncak kepala wanita yang kini tengah bersandar pada bahunya.
“Aku pergi ke kampus Permata Biru, Mas,” jawab Thea dengan jujur.
Raut wajah Dirga seketika berubah kesal, namun ia tidak memperlihatkan langsung pada Thea. “Kamu pergi menemui Andri?”
Entah kenapa, Thea merasa merinding mendengar pertanyaan Dirga, terutama nada bicaranya yang begitu datar dan tegas. “Ternyata, Andri dan Bunga benar-benar hanya memanfaatkanku selama ini. Termasuk ayah dan ibu angkatku.” Thea memejamkan mata sejenak, hingga air matanya berjatuhan tanpa bisa ia tahan. “Mereka mengincar sumsum tulangku, Mas, demi Bunga bisa berumur panjang.”
“Thea ....”
Wanita itu semakin menunduk. “Mereka menginginkan sesuatu yang bukan milik mereka. Mereka bahkan tega membuat aku hampir mati di dalam kobaran api.” Thea mengangkat kepalanya, menatap Dirga dengan sisa-sisa air mata masih berjatuhan di wajah. “Aku ingin mereka membayar atas tindakan mereka, Mas. Aku ingin mereka merasakan penderitaanku selama ini,” tambahnya.
Dirga memperhatikan manik mata wanita itu yang terlihay begitu menyiratkan kekecewaan. “Thea, jika kamu ingin aku memberi mereka pelajaran, aku akan membuat hidup mereka menderita seperti di neraka. Jika kamu ingin aku memberi mereka pelajaran, aku akan membuat setiap langkah yang mereka lalui menemui jalan buntu. Kamu hanya perlu mengatakan keinginanmu, dan aku akan mengabulkan segalanya.”
Dirga membelai pipi wanita itu dengan jari-jarinya sembari mengusap sisa air mata di wajah. “Tapi, aku mohon, jangan berbohong lagi padaku. Katakan segalanya dengan jujur, dan aku akan mempercayaimu.”
Thea mengangguk. “Mulai sekarang, aku akan menjadi diriku sendiri, Mas. Aku tidak akan berpura-pura lagi jadi orang bodoh. Aku akan mencari kebahagiaanku sendiri, dan tidak membiarkan orang lain menginjak-injak harga diriku. Dan ... Aku juga berjanji, Mas, tidak akan pernah meninggalkanmu lagi.”
Mendengar itu, seulas senyum hangat begitu saja terulas dari kedua sudut bibir Dirga, dia mulai memandangi gadis itu dengan tatapan berbeda, sambil menariknya ke dalam pelukan. Mengecup puncak kepala wanita itu dengan hangat, lalu membelai lembut punggungnya. “Aku akan selalu mempercayaimu.”
“Kalau begitu, bolehkah aku kembali ke universitas?” Wanita itu mengedipkan matanya yang besar.
Dirga yang sudah terpesona olehnya seketika senyuman lembut. “Itu keputusanmu.”
***
Rupanya, berita penangkapan Bunga pada hari kemarin, sudah menyebar ke setiap penjuru kampus. Bahkan, sejak pagi buta, para mahasiswa sudah saling bertukar informasi hingga berita yang semula sempat redup, kini kembali mencuat ke permukaan. Termasuk berita tentang Thea yang sempat dikabarkan menjadi korban kebakaran saat itu.
“Aku dengar kemarin Thea datang. Ternyata dia tidak meninggal.”
“Ya, benar. Dia datang untuk meminta pertanggung jawaban pada Bunga.”
“Aku pikir juga begitu. Apalagi, Bunga sampai dibawa pergi oleh polisi. Sudah pasti dia ada hubungannya dengan kebakaran itu.”
“Eh tapi, aku cukup terkejut melihat penampilan Thea kemarin. Dia tidak seperti Thea yang kita kenal sebelumnya. Dia sangat cantik.”
“Pfft–” Seorang wanita cantik berkaos putih, yang tengah duduk di dekat jendela ruang kelas, tiba-tiba memuntahkan minuman bersoda yang sedang dinikmatinya, hingga semua mahasiswa di sana mengalihkan pandangan mereka padanya. “Jela, apa perkataan kami ada yang salah sampai-sampai kamu bereaksi berlebihan seperti ini?”
Wanita bernama Jela itu melambaikan tangannya dan menggunakan lengan baju kanannya untuk menyeka mulut. “Aku hanya terkejut mendengar pernyataan kalian tentang Thea.”
Namun, belum sempat salah satu dari mereka menjawab perkataan Jela, seorang wanita cantik mengenakan celana jeans skinny berwarna biru muda, berpadu blus putih dengan lengan dilipat sampai sikut, nampak berjalan masuk ke dalam ruangan, berdiri di depan Jela dengan senyuman lebar tertampil di kedua sudut bibir.
“Kamu–“ Jela seketika membeku. “S-Sial, bagaimana bisa seekor itik buruk rupa berubah menjadi angsa putih hanya karena menjadi korban kebakaran?” lanjutnya menggerutu.
Thea melipat kedua tangan di atas d**a. “Jahat kamu, ya, Je. Bisa-bisanya lupa sama sahabat sendiri!”
“The, kok bisa, sih, kamu berubah sedrastis ini?” tanyanya.
“Sebenarnya, aku tuh, ya, begini. Aslinya begini,” jawab Thea sembari memijat-mijat kedua sisi pipinya. Dan kali ini, Thea benar-benar datang ke kampus bahkan tanpa menggunakam riasan apapun di wajah.
Sebenarnya, Thea melakukan tindakan itu sejak di panti asuhan, saat ia berusia tiga tahun. Dan setelah ia dewasa, hal itu malah menjadi kebiasaan sebagai bentuk pelindung diri, juga menjadi salah satu cara untuk menjauhkan Dirga dari dirinya.
Tetapi, semua itu malah gagal dilakukan pada Dirga, karena ternyata pria itulah yang menjadi penyelamatnya.
“Kalau begitu, sebelum ini, kamu–“ Jela menoleh ke samping, memperhatikan wanita yang sedang membongkar bukunya itu. Bulu mata yang panjang dan rambut lurus berwarna hitam legam. Tahi lalat kecil di pipinya pun tetap ada. Secara keseluruhan, dia memang benar-benar sahabatnya–Galathea.
Jela dengan cepat mengalihkan pandangannya, saat rona di wajah mulai tak terkendali. “Jadi, kamu sengaja melakukan itu di masa lalu?”
“Bisa dibilang begitu,” jawab Thea.
“Astaga ... Aku benar-benar tak habis pikir,” gumam Jela sangat pelan.
Sembari menaruh buku-buku di atas meja, Thea tersenyum penuh arti. “Je, aku janji ... Aku akan melindungimu di masa depan.”
Di masa yang sedang Thea jalani saat ini, hanya Jela satu-satunya yang melindungi dia. Apalagi, Jela termasuk orang yang bahkan selalu mempunyai pendirian sendiri. Dia tidak pernah meremehkan orang lain, atau bahkan menjauhi orang lain hanya karena penampilan dan omongan buruk dari orang lain. Selama menurut dia baik, dia pasti akan bersikap baik pula.
Je, jangan pernah berubah, ya. Tetap menjadi Jela yang seperti ini sampai nanti.
***
Setelah mata kuliah selesai, Thea segera membereskan seluruh barang bawaannya, menyampirkan tas ke bahu dan berjalan keluar dari ruangan kelas sembari mengatupkan bibir. Ia benar-benar merasa risi, apalagi saat orang-orang di sekitar tanpa jeda memperhatikan penampilannya.
“Thea, tunggu!” teriak Jela.
Mengobrol dengan asyik, dan bercanda gurau bersama Jela seperti sekarang, adalah hal yang begitu Thea rindukan di kehidupan sebelumnya. Dia bahkan sempat merasa kesal terhadap dirinya sendiri, karena terlalu mudah terpengaruh oleh cerita bodoh yang belum diketahui kebenarannya. Sampai-sampai, semua orang di sekitarnya menjauh, termasuk Dirga–suaminya di kehidupan sebelumnya.
“Bagaimana kabarmu setelah kejadian mengerikan itu?” tanya Jela sambil menikmati sekaleng minuman soda di tangannya.
Thea tersenyum, dan pandangannya mengedar ke sekeliling untuk menikmati keindahan pepohonan di halaman utama universitas tersebut. “Aku baik-baik saja. Bahkan, aku seperti seseorang yang terlahir kembali agar bisa menjadi versi terbaik dari diriku,” jawabnya dengan jujur, namun Jela tidak menyadari hal itu. Yang ia tahu bahwa temannya sedang meracau tidak jelas.
Jela mendengkus pelan. “Jika sudah melihat langsung seperti ini, ya ... Aku akan percaya.”
Thea tertawa kecil. “Kamu harus percaya! Tidak peduli apa yang kukatakan, kamu harus terus mempercayaiku, Jela! Harus!”
“Ya, ya, ya, terserah kamu saja. Yang terpenting, kamu benar-benar dalam kondisi baik, dan tidak meninggal seperti yang digosipkan oleh orang-orang.”
“Aku sudah pernah meninggal, Je. Tapi, itu terjadi di lima tahun yang akan datang.” Lagi-lagi, Thea menceritakan kejadian yang sudah menimpanya, namun sang sahabat yang tidak tahu menahu hanya menanggapinya dengan candaan.
“Jadi, yang bicara denganku saat ini adalah hantu gentayangan Thea? Yang benar saja!”
Namun, belum sempat Thea membalas celotehan sahabatnya itu, seorang wanita paruh baya berpakaian sangat rapi tiba-tiba datang menghampiri, dan melayangkan satu tamparan keras, tepat pada pipi kiri Thea. Membuat wanita itu menghentikan langkah kakinya, dan mematung karena saking terkejutnya.
“Dasar anak haram tidak tahu diuntung! Kami yang mengambilmu di panti asuhan. Kami bahkan benar-benar berhemat demi membesarkanmu selama sepuluh tahun terakhir. Bagaimana kamu bisa begitu tidak berterima kasih dan memfitnah kakakmu?” Wanita paruh baya itu berjalan mendekat, lalu menatap tajam pada Thea yang kini juga sedang menatap ke arahnya dengan kedua tangan terkepal kuat. “Bahkan, jika kamu tidak mau menyumbangkan sumsum tulangmu demi menyelamatkan putri kesayangan kami, kamu tidak dapat memanggil polisi dan menuduhnya sebagai pelaku pembakaran gedung belakang kampus!”
***