Sirena berjalan menuju dapur, malam ini terasa begitu melelahkan baginya, setelah kepergiannya dari Skyglass ia merasa baru kali ini ia berada di titik paling bawah dalam hidupnya. Perjodohan yang ditawarkan oleh ayah dan ibunya ia tolak mentah-mentah, ia sudah cukup dewasa untuk memilih siapa yang akan menjadi pendampingnya dan ia sudah sangat tahu bagaimana sifat pria yang akan dijodohkan dengannya nanti. Sirena menggelengkan kepalanya setelah menenggak air dingin hingga tandas, setelah satu bulan terombang-ambing mencari pekerjaan di Madrid akhirnya ia mendapat pekerjaan di sebuah kafe klasik dengan gaji di awal kontrak, ia sangat bersyukur karena pria paruh baya pengurus kafe itu mau berbaik hati untuk mempercayai dirinya tidak kabur setelah mendapatkan gaji terlebih dahulu.
Sebagian uang dari gaji tersebut ia gunakan untuk menyewa sebuah kontrakan kecil di pinggiran kota Madrid, hidup bahagia dan bergelimang harta yang sempat ia rasakan sebelumnya kini terasa menjadi kenangan yang buruk baginya. Bayangan ayahnya yang marah pada malam itu menghantui pikiran Sirena, ia sadar, cepat atau lambat semua anggota kerajaan akan mengetahui keberadaannya dan Sirena sebisa mungkin bersembunyi dengan pergi jauh dari Skyglass.
Ia menyenderkan bahunya di punggung sofa, ia merenungkan nasibnya sendiri, karna penolakannya dari perjodohan itu ia harus tuli, karna pergi meninggalkan Skyglass ia harus bisu, entah hal apa yang akan diperbuat oleh ayahnya jika anggota kerajaan menemukan tempat persembunyiannya saat ini. Sirena menghembuskan nafas panjang, ia menengadah langit-langit kamar kontrakannya, tiba-tiba kenangan di malam itu muncul dalam pikirannya.
Flashback On
"Sayang" panggil Aurora sang ibu saat Sirena tengah memandangi dirinya dalam cermin, Sirena yang merasa terpanggil lalu menoleh ke arah sang ibu, dilihatnya ibunya yang tersenyum kepadanya, menularkan sebuah senyuman juga untuk Sirena.
"Ya, Mam?" Aurora berjalan menghampiri putrinya lalu menyentuh kedua bahu putrinya, ia membalikkan tubuh Sirena untuk menghadap ke arah cermin lagi.
"Kau sudah besar ternyata, rasanya baru kemarin Mama menata rambut mu setiap pagi" ujar Aurora seraya mengepang rambut milik Sirena ke samping kanan, menata rambut adalah kegiatan Aurora saat Sirena masih kecil hingga saat ini. Mata Sirena berkaca-kaca mendengar penuturan sang ibu, tak terasa waktu begitu bergulir dengan cepat hingga ia sudah berumur dua puluh tiga tahun. Sirena membalikkan tubuhnya untuk memeluk sang ibu, tangisan Sirena pecah begitu saja dalam pelukan Aurora, Aurora mengusap rambut anaknya dengan sayang
"Aku menyanyangimu, Mam" Aurora tersenyum mendengar penuturan putrinya meskipun ia merasa gelisah saat memeluk tibuh Sirena.
"Mama juga menyayangimu, Rena. Ayo ke bawah, papa mu ingin berbicara" Sirena merenggangkan pelukannya lalu menatap wajah Aurora dari bawah.
"Bicara apa?"
"Untuk mengetahui nya sebaiknya kita ke bawah sekarang" ujar Aurora kembali. Sirena dan Aurora berjalan menahampiri Valken yang tengah duduk di singgasana nya, Valken tersenyum kepada Sirena.
"Ada apa papa memanggil ku?" tanya Sirena lalu duduk di hadapan sanga ayah.
Valken berdehem. "Kau masih ingat dengan Thomas, bukan?" Sirena tampak berpikir sejenak.
"Pewaris tahta dari kerajaan Nereus?" Valken tersenyum.
"Ya, ternyata kau masih mengingatnya"
"Sebenarnya ada apa Papa? Kenapa Papa memanggil ku dan menanyakan tentang pria itu?"
"Kau tahu? Kau adalah satu-satu nya penerus kerajaan Luther dan Papa tidak akan membiarkan kau menikah dengan orang yang salah, maka dari itu Papa menjodohkan mu dengan pewaris tahta kerajaan Nereus, Thomas Aricson"
Sirena tercekat mendengar perkataan Valken. "Papa.. menjodohkan ku?" tanya Sirena dengan terbata-bata namun langsung diangguki oleh Valken.
Valken tersenyum. "Ya"
Sirena menggelengkan kepalanya. "Aku tidak mau, Papa" senyum di wajah Valken memudar begitu saja setelah mendengar penolakan dari putrinya.
"Apa maksud mu?" tanya Valken dengan geraman menahan amarah yang sebentar lagi akan mencuat ke permukaan. Sedangkan Aurora merasa cemas melihat suami dan putrinya saat ini.
"Aku tidak suka dijodohkan seperti ini dan aku tidak mencintai pria itu, Papa"
Valken bangkit dari duduknya dan menatap tajam ke arah putrinya. "Persetan dengan cinta! Aku tidak menerima sebuah penolakan, Sirena"
Ada ketakutan tersendiri bagi Sirena melihat kemarahan sang ayah. "Maaf, Papa. Tapi aku tidak bisa" ujar Sirena lalu bergegas pergi meninggalkan aula kerajaan, saat ia hendak menyentuh pintu aula, ia merasakan sakit yang luar biasa di indera pendengarannya.
"Akkh!" Sirena memekik kesakitan seraya menyentuh kedua telinganya, Aurora yang melihat kejadian itu lalu menoleh ke arah sang suami.
"Valken, apa yang kau lakukan?!" tanya Aurora dengan nada marah kepada sang suami. Valken menoleh menatap sang istri, ia mendapati Aurora yang sedang menatapnya dengan tatapan yang menusuk namun Valken membalas tatapan itu dengan senyuman.
"Aku melakukan sebuah hal yang bisa merubah keputusan putri kita, Sayang" Aurora menggeram mendengar pernyataan Valken, selama ini suaminya tidak pernah bertindak kasar kepada Sirena, entah hasutan apa yang diberikan oleh Thomas hingga sang suami bertindak sangat jauh seperti ini.
"Jadi, apakah kau tetap akan menolak, Sirena?" tanya Valken seraya menyunggingkan senyumnya kepada sang putri yang tengah memunggungi nya. Sirena masih merasakan kesakitan di kedua telinganya namun ia kembali mendorong pintu itu dan keluar dari kerajaan tanpa mendengar teriakan dari sang ibu. Sirena tetap menjauh dari kerajaan sejauh radius seratus kilometer hingga ia bertemu dengan Marrie sahabatnya.
"Sirena, kau mau kemana?" tanya Marrie begitu melihat Sirena yang terlihat sedang tergesa-gesa dan juga menangis, ia tidak sengaja bertemu dengan Sirena setelah kepulangannya dari kerajaan Shoka.
Sirena menyentuh kedua lengan Marrie ia meminta Marrie untuk membantunya kabur dari kerajaan namun saat mengucapkan kalimat itu dari mulutnya ia tidak mendengar suaranya sendiri. Marrie terkejut melihat tingkah laku Sirena sedangkan Sirena syok saat ini.
"Sirena, apa yang kau bicarakan?" tanya Marrie, Sirena kembali mengutarakan maksudnya namun ia tidak bisa mendengar apa yang Marrie maksud. Berulang kali Sirena berusaha kembali mengeluarkan suaranya namun hanya keheningan yang ada hingga ia kembali menangis menyadari bahwa ia tidak bisa mendengar dan berbicara. Marrie mendekap erat sahabatnya itu saat ia menyadari masalah apa yang sedang menimpa Sirena.
"Siapa yang melakukan ini semua, Sirena?" tanya Marrie meskipun Sirena tidak bisa mendengarnya, namun ia tersadar akan suatu hal, ia melepaskan pelukan Sirena dari tubuhnya lalu menatap kedua mata Sirena.
‘Sirena’. ucap Marrie dalam hati, membuat mata Sirena terbelalak dengan sempurna, ia lupa bahwa mereka bisa mendengar kata hati satu sama lain. Sirena kembali menangis lalu memeluk Marrie dengan sangat kuat. 'Marrie bantu aku' ucap Sirena dalam hati, Marrie lalu menarik tubuh Sirena menjauhi tempat itu.
'Sekarang ceritakan padaku apa yang sudah terjadi, Sirena' pinta Marrie saat mereka sudah menjauh dari jalan tadi.
'Aku.. Aku.. Aku dijodohkan Marrie, Papa menjodohkan ku dengan seorang pria' Marrie tercekat mendengar penuturan sahabatnya.
'Bagaimana bisa?!' Sirena menggelengkan kepalanya seraya terus menangis.
'Aku tidak tahu, Marrie. Dia menjodohkan ku dengan pewaris tahta kerajaan Nereus' Marrie semakin terkejut, ia tahu betul siapa penerus kerajaan Nereus yang dimaksud oleh Sirena.
'Aku menolak keinginan Papa dan pergi meninggalkan kerjaan namun sebelum aku keluar dari kerajaan telingaku terasa begitu sakit' Marrie mengepalkan kedua tangannya saat mendengar perkataan Sirena, ia tidak habis pikir mengapa pria tua itu mengutuk Sirena seperti ini.
'Aku akan membantu mu pergi dari Skyglass' ucapa Marrie, Sirena mendongak menatap sahabtnya lau tersenyum, setelah itu mereka meninggalkan Skyglass dan menuju ke Madrid, tempat yang sangat jauh dari Skyglass.