06: Penjelasan

2386 Kata
Beberapa jam sebelumnya. Ting Tong! Max yang sedang asik menonton film kartun Doraemon sambil makan es krim itu menoleh kearah pintu apartemen nya. Max mengernyit singkat. Mungkin barang Kiranti ada yang ketinggalan, pikirnya sambil berjalan kearah pintu dan membukanya. Ceklek. Max sedikit terkejut saat melihat tamu yang datang bukan seperti yang dibayangkannya. "Ajeng?" Gadis berdress polkadot itu tersenyum lembut kearah Max. "Kamu kok bisa tau aku ada disini?" Max merasa sedikit terusik dengan kehadiran dadakan Ajeng. Ajeng yang mendengar nada kurang suka Max cuma bisa menelan pil pahit, namun senyumnya tidak pernah luntur. "Tadi aku dateng ke rumah kamu, trus kata Om Gio kamu lagi di apartemen, yaudah aku minta alamatnya." Kenapa Ayahnya bermulut ember sekali sih! "Eung, aku ... boleh masuk?" Tanya Ajeng sambil menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinga. Max jadi mengangkat sebelah alisnya, menoleh ke dalam apartemen nya sejenak. "Maaf tapi sebaiknya kita ngobrol disini saja, tidak baik lelaki dan perempuan dalam satu ruangan sepi." Ujar Max jadi sok ceramah, padahal mah tadi dia udah bawa Kiranti masuk juga santai aja. Ajeng menipiskan bibir, mengangguk dengan senyuman paksa yang sangat ketara. "Ngomong-ngomong kamu ngapain kesini?" Max menatap Ajeng datar. "Ah~" lalu Ajeng menunduk mengambil sesuatu dan memberikannya pada Max. "Tadi aku dan Mamah buat kue bolu, trus aku kepikiran kamu, jadi aku pengen kasih kamu." Ajeng menyodorkan kotak bekal berwarna hijau itu dengan mata berbinar. Max jadi tidak tega menolaknya, "makasih." Balas Max sedikit menyunggingkan senyum samar, tapi sudah mampu membuat gadis di depannya ini berdebar hebat. "Kalo udah—" "Itu ada bulu mata di wajah kamu Max!" Sergah Ajeng cepat bahkan terkesan buru-buru. Max mengernyit kan dahi sesaat sebelum meraba wajahnya sendiri. "B-biar aku aja." Lalu gadis itu tanpa diduga sudah berjinjit menyerongkan wajahnya ke wajah Max. Max yang ingin mundur segera ditahan Ajeng dengan sebelah lengannya yang sengaja dilingkarkan ke leher Max. "Jeng." Desis Max. "S-sebentar, aku nggak bohong ini ada bulu mata. Nanti takutnya masuk ke mata kamu." Entah hanya perasaan Max saja atau gadis ini memang seperti sedang gugup. "Udah aku bisa bersihin sendiri." Max benar-benar tak nyaman dengan posisi sedekat ini. Ajeng malah makin memiringkan wajahnya mendekat kearah Max, melirik ke belakang punggung Max diam-diam, sedetik sebelum Max mendorongnya gadis itu tau-tau sudah mundur menjauh sambil menunjukkan bulu mata yang benar-benar ada di jarinya. Max yang ingin marah jadi terpaksa harus menahannya. "Maaf ya Max kalau aku tadi lancang, tapi aku nggak ada niat apa-apa kok ke kamu." Ajeng memasang wajah menyendu. Max mengehela napas berat. "Hm, gak papa. Yaudah aku mau masuk dulu, udah malem kamu juga cepet pulang." Ajeng cuma bisa tersenyum kecut. "Aku balik ya Max." Pamitnya, sepertinya meminta lelaki ini untuk mau mengantarkannya pulang adalah sesuatu yang sangat mustahil. Max hanya mengangguk, setelahnya Ajeng sudah melangkah menjauh dari Max. Gadis cantik itu menggigit bibirnya, terlihat sedikit gelisah. "S-semoga gadis tadi salah paham." Gumamnya sambil memilin ujung dress nya. *** Keesokan harinya Max sudah berada di kediaman Kiranti, rencananya ia akan menghabiskan banyak waktu dengan gadis itu karena masa cuti nya akan segera habis. "Ngapain lo kesini?" Tanya Farel dengan kantung mata menghitam. Max membasahi bibirnya. "Saya ingin ketemu Kiranti Kak." "Gak perlu, balik sono!" Max mendelik, langsung menghentikan pintu yang ingin ditutup paksa Farel. Kenapa Kakak lelaki Kiranti ini tiba-tiba bersikap sinis kepadanya?! "Saya ingin ketemu Kiranti!" Tegas Max. "Gak ada, udah pergi sana, sekalian gak usah temui Adek gue lagi!" Farel terlihat luar biasa malas meladeni Max. "Tapi kenapa?" "Kenapa kata lo?!" Farel tanpa diduga justru tertawa sumbang, mendorong d**a Max dengan tidak santai. "Lo apain Adek gue kemarin? Jawab jujur!" "Saya tidak apa-apakan Kiranti." "Kalau gitu kenapa Kiranti tiba-tiba pengen balik ke Amsterdam setelah pulang dari apartemen lo. Sekarang orang rumah pada bingung cari dia karena Kiranti gak ada kabar, dia juga ternyata gak jadi ke Amsterdam. Lo tau gak gimana bingung nya gue?!!" Bentak Farel sudah habis kesabaran. Pupil mata Max membesar, syok setengah mati. "Kenapa Kiranti ingin pergi?" Tanya Max balik. Farel mendecih, membuang muka. "Harusnya gue kan yang nanya hal itu ke lo. Lo apain Adek gue?" Ulang Farel sekali lagi. Max tersentak diam, mengingat-ingat. Tapi ... seberapa kali pun ia mengingat rasanya ia tidak pernah berbuat salah kepada Kiranti. Lalu kenapa gadis itu tiba-tiba ingin meninggalkan dirinya? "Max.." panggil Farel pelan, Max mendongak menemukan Farel yang sudah berada selangkah lebih dekat dengan ekspresi wajah berubah 180 derajat ketimbang tadi. "Tolong cari Adek gue ya, karena cuma lo yang dia harapkan." Bisiknya merendahkan ego nya. Max hanya bisa meneguk ludah, mengepalkan tangannya erat. "Baik, saya akan cari dan temukan Kiranti secepatnya!" Ujarnya mantap. Karena Max tidak ingin kehilangan untuk yang kedua kalinya. *** Kiranti terlihat bertopang dagu, menatap lalu lalang pejalan kaki di depannya. Sungguh ngenes, gak punya duit dan gak ada tujuan, Kiranti beneran mirip gembel. "Disaat begini gue jadi ngerti arti penting selembar uang 5000." Gumam Kiranti merasakan perutnya mulai keroncongan. Papah nya bukan omong kosong semata, semua akses kartu ATM nya di blokir, sialnya di dompetnya hanya ada uang 20.000 yang habis untuk membayar ongkos transportasi. Dan sekarang Kiranti seperti orang yang terlantar. "Hiks ... laperrr .." lirihnya mengusap perut. "S-semua gara-gara cewek sialan itu, hiks-hiks ... dan juga Max! Bisa-bisanya mereka langsung ci-pokan hiks ... setelah gue pergi, d-dosa apa gue bisa sengenes ini?" Kiranti mengusap ingus dan air matanya dengan lengan bajunya. "Hiks-hiks ... kalau cinta sesakit ini g-gue gak akan pernah mau kasih hati gue hiks ... ke orang lain." Kiranti kembali menangis tersedu-sedu, sambil sesekali mengusap badannya yang terasa menggigil. Ya jelas orang dirinya semaleman tidur di pinggir jalan, masih untung ia tidak di rampok. Lagian juga mau ngerampok apaan kalau Kiranti sendiri juga lagi bokek. Kiranti akhirnya berdiri, meskipun dengan sedikit sempoyongan gadis itu tetap berusaha menyeimbangkan tubuhnya sambil berjalan menarik kopernya. Bruk! Ah sial, kenapa tubuhnya tidak bisa diajak kompromi sih. Kiranti ... pingsan. *** "Engh ... " Kiranti mengerjapkan kelopak matanya, terasa berat dan silau. Begitu sadar sepenuhnya ia langsung tersentak, mengedarkan pandangan dengan panik, ini bukan rumah sakit tapi hotel? Sialan jangan sampe gue di unboxing sama orang gak dikenal! Batin Kiranti panik sambil melihat pakaiannya, seketika juga ia bisa bernapas lega karena pakaiannya sama, coba cek pakaian dalam dulu deh, oh sama. Kiranti mengangguk-angguk. "Astaga!" Teriak seseorang. Kiranti yang tadi menyibak bajunya untuk melihat kaos dalamannnya langsung menurunkan bajunya kaget, lebih kaget lagi saat ternyata yang memergokinya adalah Max. Bagaimana lelaki itu bisa ada disini? "Kamu ngapain buka baju? Gerah?" Tanya Max sambil menaruh baskom air ke atas nakas. Kiranti tak menggubris, memilih membuang muka keluar jendela. Max hanya bisa menghela napas pelan. "Kenapa—" Plak, Kiranti menepis tangan Max kasar. "Gak usah sok peduli." "Ran aku ada salah apa?" Max benar-benar sepertinya penjahat yang dipenjara tanpa tau kesalahannya. Melihat Kiranti yang tidak membalas lagi, Max dengan pelan mencoba membujuknya. "Aku kompres ya biar panas kamu turun." "Gak usah!" "Ran ..." "Udah aku bilangin kan Max, gak usah sok peduli sama aku!" Kiranti berteriak, lalu setelahnya terbatuk-batuk dengan wajah makin pucat. Max memejamkan matanya terlihat menyabarkan diri. "Ran tolong jangan seperti ini, aku bukan peramal yang tau hanya dengan baca pikiran, aku manusia biasa Ran, kamu tiba-tiba marah ke aku tanpa alasan seperti ini kamu kira aku gak bingung?!" Max sepertinya juga sama kesalnya karena harus menghadapi kemarahan Kiranti tanpa tau apapun. Kiranti yang mendengar nada tinggi Max jadi menggigit bibirnya gemetar, mungkin patah hati ditambah sedang sakit membuatnya benar-benar berada di mental terburuk. Kiranti tanpa sadar sudah menangis. Max terbelalak. "Ran, kamu gak papa?" Kiranti tidak menjawab, memilih menutup wajahnya dengan selimut. Max menatap Kiranti sendu. "Aku salah apa sih Ran? Aku salah apa sama kamu?" Max terlihat sangat frustasi, mengacak kasar rambutnya sendiri. Kiranti makin terisak-isak di dalam selimutnya, Max akhirnya memilih mengamati Kiranti dalam diam saja karena mau sebanyak apapun ia bertanya gadis ini juga tidak akan menjawab. Setengah jam setelahnya Kiranti terlihat membuka selimutnya, merasa pengap juga, namun saat melihat Max yang ternyata masih di posisi nya membuat gadis itu segera menyibak selimutnya dan ingin beranjak dari kasur. Grep. Max memeluk Kiranti dari arah belakang dengan erat, sangat erat. "Aku salah apa?" Tanya lelaki itu dengan suara serak. Kiranti menggigit bibir bawahnya menahan sesak. "Aku salah apa? Jawab aku Ran, aku salah apa?" Mau sebanyak apapun Max mengulanginya, Max sama sekali tidak keberatan. "Aku ngelihat kamu sedang berciuman dengan Ajeng kemarin." Seperti ada suara petir yang menambah kekagetan Max, saking tak menduga dengan jawaban Kiranti lelaki itu bahkan sampai memutar badan Kiranti menatapnya. "Apa kamu bilang?!" Tanya Max dengan sorot serius. Kiranti menunduk menahan nyeri di d**a. "Kemarin aku balik ke apartemen kamu karena ada barang aku yang ketinggalan, tapi aku malah lihat kalian sedang ... tch!" Kiranti jijik untuk melanjutkan. "Ran, kamu serius? Aku gak pernah ciuman dengan siapapun, apalagi Ajeng!" Tegas Max lantang. Kiranti spontan mendongak menatap lurus wajah Max. "Aku lihat dengan mata kepala aku sendiri, posisi kalian benar-benar intim. Bahkan kamu gak pernah seperti itu dengan aku Max, seharusnya kalau kamu beneran suka sama Ajeng kamu jujur, setidaknya rasa sakit yang aku tanggung tidak akan sebesar ini." Buliran-buliran bening lagi-lagi merembes di pipi Kiranti, seperti tak ada habisnya. "Karena aku sadar, waktu 8 tahun bisa merubah perasaan seseorang." Imbuh Kiranti memaksakan senyum getirnya. Max seperti tersengat, itulah gambaran yang bisa menjabarkan dirinya saat ini, ciuman dengan Ajeng? Kapan? Mana mungkin dirinya melakukan hal itu— Tunggu sebentar! Max mengerjapkan matanya kaget. "Itu bukan seperti bayangan kamu!" Max akhirnya mendapatkan jalan terang. "Aku dan Ajeng tidak berciuman, kamu melihat kita dalam posisi yang sepertinya menyebabkan kesalahpahaman tapi sebenarnya Ajeng sedang mengambilkan bulu mata aku." Terang Max sejelas-jelasnya tanpa menutupi apapun. Kiranti tercenung, menelaah setiap perkataan Max. "Ran aku jujur, aku gak mungkin berbuat sehina itu!" Max memegang kedua telapak tangan Kiranti meyakinkan. "Kalau kamu masih ragu kita bisa pergi ke apartemen ku, kita lihat CCTV disana." Ujar Max ingin membawa Kiranti pergi tapi gadis itu langsung menahannya. Max dan Kiranti jadi saling tatap. "Ran ... kamu gak percaya sama aku?" Tanya Max lirih. Kiranti menarik tangannya kembali. "Max kamu jujur?" "Jujur!" Jawab Max langsung tanpa berpikir. Kiranti setelahnya malah menunduk dengan wajah sedih. "Berarti cuma aku yang salah paham, aku sepertinya memang masih kekanak-kanakan, bahkan masalah seperti ini saja aku sudah cemburu buta." Ujar Kiranti dengan tatapan kosong. "Ran .. " "Semua orang bisa menyikapi masalah mereka dengan dewasa tapi aku masih kekanak-kanakan, aku yang begini ... apa pantes buat kamu Max?" Kiranti menatap iris mata Max sayu. Max memegang kedua pipi Kiranti lembut, tau kalau gadis ini jadi sensitif karena sedang sakit. "Kamu sangat pantas buat aku, dan daripada menggunakan kata kekanak-kanakan aku lebih suka menyebutnya kalau kamu terlalu cinta sama aku sehingga cemburu. Itu normal dalam suatu hubungan." Bibir Kiranti mulai bergetar kembali, Max tersenyum hangat, senyum yang jarang ditunjukkan pada siapapun. "Sekarang masalah kita sudah selesai, kan?" Kiranti mengangguk pelan, Max langsung meraih tubuh Kiranti dalam dekapannya. "Aku kompres ya, biar panas kamu sedikit turun, kata dokter tadi kamu kedinginan dan kelaparan." Jelas Max sambil merebahkan tubuh Kiranti keatas kasur. "Aku tidur dipinggir jalan, jelas dingin." "Memangnya kamu gak bisa sewa hotel Ran?" Tanya Max sedikit geli sambil mulai mengompres dahi Kiranti. "Gak ada duit." Max menggeleng makin geli. "Aku juga laper, semaleman belum makan." "Jangan bilang kamu juga gak punya duit buat beli makanan?" Kiranti merengut. "Papah blokir semua kartu ATM ku, jahat emang!" "Om Adimas melakukannya juga bukan tanpa sebab, itu karena kamu yang tiba-tiba ingin balik ke Amsterdam." Max meraih mangkuk bubur dan mulai menyuapi Kiranti. Gadis itu makan dengan sangat lahap padahal sedang sakit. "Ngomyongh—" "Makanannya di telen dulu Ran." Peringat Max. Kiranti langsung melakukannya dengan patuh. "Ngomong-ngomong kamu kok bisa tau aku ada disana Max?" "Aku minta tolong temenku buat ngelacak nomor telepon kamu." Emang ya yang seorang Tentara kenalannya bukan orang sembarangan. "Udah kenyang." Tolak Kiranti saat Max ingin kembali menyuapinya. Max dengan cepat mengambilkan air putih. "Minum dulu." Kiranti langsung minum air tersebut dengan hati makin berbunga-bunga. Kiranti tak menduga kalau Max ternyata bisa seperhatian ini. "Minum obat sekalian ya, biar cepat sembuh." "Pait gak?" "Kalau pengen manis sambil lihatin aku." Kiranti seketika mengernyih geli, benar-benar kaget Max punya sisi alay begini. Dengan cepat Kiranti langsung menelan pil pahit itu, Kiranti memang bukanlah tipikal gadis yang lebay cuma karena minum obat pahit atau disuntik. "Ini permen." Max menyodorkan permen kearah Kiranti yang langsung di emut gadis itu. "Manis." Gumam Kiranti sambil memejamkan mata ingin menidurkan diri. Max menatap wajah Kiranti, ujung ibu jarinya mengelus punggung telapak tangan Kiranti yang sedang digenggamnya. Keheningan melanda di antara keduanya untuk beberapa saat. Max meneguk ludahnya berat. "Ran tadi kamu bilang kalau kita bahkan tidak pernah seintim ketika aku dengan Ajeng." "Ha?" Kiranti langsung membelalakkan matanya. Berkedip-kedip kaget. "Apa Max?" Max menatap lurus manik coklat Kiranti, tidak mengulangi ucapannya namun wajahnya malah semakin mendekat kearah wajah Kiranti. Max membelai pipi Kiranti lembut sebelum dengan manis mengecap bibir Kiranti, terlihat kalau gadis itu tengah kaget setengah mati akibat tindakannya ini. "Eunghh .. " Sialan sekali, Kiranti bisa-bisanya melenguh seksi seperti itu. Mau gimana lagi, ciuman Max kali ini benar-benar membuatnya terbuai, bibir tipis yang jarang senyum itu ternyata memiliki rasa semanis ini saat dicecap. Bahkan sepertinya bibir Max lebih enak di emut daripada permen tadi. Max pun pertama kalinya bertindak seberani ini, entah sejak kapan posisinya bahkan sudah menindih gadis ini, Max tidak ingin berhenti dulu, bibir Kiranti terlalu sayang untuk dilewatkan. "Haahh ... M-mahhx .." Kiranti butuh oksigen. Max menjauhkan wajahnya, melihat wajah semerah tomat gadis itu yang sedang terengah-engah mengumpulkan oksigen. Max menatap Kiranti yang mulai rilex, perlahan ia menggerakkan telapak tangannya ke belakang tengkuk Kiranti dan kembali mencium bibir gadis itu, dengan tidak sabaran. "Maniss .. " bisik Max disela ciuman mereka. Kiranti sukses dibuat makin menggila, ciuman mereka yang pertama dulu hanya sebatas kecupan sehingga tak heran kalau rasanya sangat jauh ketimbang sekarang, bahkan saat ini rasanya Kiranti bisa merasakan kelembutan dan kekenyalan bibir lelaki ini ditambah rasa hangat yang menguar dari rongga mulutnya. Bukan hanya bersih, bibir Max terlampau fresh untuk ukuran lelaki, mungkin karena lelaki ini tidak pernah merokok juga. Max yang mulai terbuai dengan permainan mereka tiba-tiba membuka kelopak matanya kaget saat merasakan sesuatu yang 'bahaya', tanpa peringatan apapun lelaki itu langsung mengakhiri ciuman mereka dan berlari pergi ke kamar mandi secepat kilat. Meninggalkan Kiranti yang tercengang syok. "Max kenapa?" Gumamnya kebingungan. *** TBC.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN