07: Nikah

2048 Kata
Tok tok tok! "Kamu gak papa Max?!" Entah ini yang keberapa kalinya Kiranti mengetuk pintu kamar mandi, tapi lelaki itu tidak kunjung memberi respon. "Max--" Ceklek. Kiranti berkedip cengo, Max keluar kamar mandi dengan rambut masih basah dan handuk yang menyampir di bahu, Max memakai piyama mandi dengan wajah luar biasa tertekuk. "Kamu habis mandi? Kenapa gak jawab dari tadi sih! Aku khawatir!" Jengkel Kiranti, bisa-bisanya Max mandi tanpa suara sama sekali. Max mengalihkan pandangan, melangkah pergi sambil mengeringkan rambutnya. Kiranti dibuat merengut karena di kacangin. "Kenapa tiba-tiba mandi?" Tanya Kiranti sambil merebut handuk di tangan Max dan membantunya mengeringkan rambut. "Gerah." Kiranti mencebik sambil berjinjit karena tinggi Max yang udah mirip jerapah. "Lain kali jangan langsung pergi, aku kan jadi khawatir sama kamu. Apalagi tadi kita—" "Jangan diungkit dulu." Tanpa diduga Max melingkarkan lengannya ke leher Kiranti dan menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Kiranti. "Bahas yang lain aja." Sungguh harga dirinya dipertaruhkan jika Kiranti tau alasannya pergi tadi. Kiranti yang dasarnya gak peka malah menepuk-nepuk pipi Max gemas. "Rambut kamu yang basah kena baju aku loh Max." "Gak papa." "Yang kenapa-kenapa aku bukan kamu!" Gerutu Kiranti meskipun sebenarnya sedang menutupi debaran di dadanya. "Aku keluar dulu ya." Pamit Kiranti ingin beranjak tapi sudah keburu dicekal Max. "Mau kemana?" "Minta pelayan hotel buat siapin kamu baju, masa kamu mau pake gituan." Max mengangguk, baru ingat kalau cuma mengenakan piyama mandi. Padahal sebenarnya Max tidak mempermasalahkan nya, yang jadi masalah justru Kiranti yang gak kuat lihat tubuh Max yang tercetak jelas, apalagi rambutnya masih agak basah. Byeuh ... Kiranti takut khilaf. "Kamu masih belum fit sepenuhnya, kamu istirahat dulu aja Ran." Titah Max begitu Kiranti kembali. "Trus kamu tidur dimana?" Lagian kenapa Max gak pesan dua kamar aja deh. Max menunjuk sofa. "Aku tidur disitu." "Gak papa?" "Tidur di sofa termasuk mewah untuk aku yang biasanya cuma tidur di tenda darurat." Ah iya, bagaimana ia bisa melupakan kalau lelaki ini seorang abdi negara. Kiranti merebahkan tubuhnya, mulai memejamkan matanya, karena jujur tubuhnya memang tergolong masih lelah. "Max ... "Gumam Kiranti begitu kesadarannya sayup-sayup mulai menghilang. Max menoleh dengan kernyitan samar. "Jangan pernah tinggalin aku." Lalu gadis itu sudah masuk ke alam mimpinya. Max tanpa sadar tersenyum manis, beranjak mendekati ranjang dan mengecup dahi Kiranti sambil membenarkan selimutnya. "Gak akan pernah." Bisiknya tulus. *** "Dek kamu akhirnya pulang!" Mamahnya langsung memeluk Kiranti dengan erat. Kiranti jadi menyendu, merasa sangat berdosa kepada kedua orang tuanya. "Maafin aku Mah." "Udah Mamah maafin, tapi lain kali jangan diulang!" Kiranti hanya mengangguk di pelukan Mamahnya, dibelakangnya Papah dan Abangnya hanya diam kayak patung. Kiranti meneguk ludah, pelan-pelan melangkah kearah Papah nya. "Pah ... " Adimas tak bereaksi, Kiranti membasahi bibirnya, dengan hati-hati menggapai tangan Papah nya. "Maafin aku." Cicit gadis itu sedikit takut. Adimas menghela napas panjang, tanpa diduga justru merangkul tubuh Kiranti. "Papah gak pernah ngajarin kamu jadi anak kurang ajar kayak kemarin." Ucapnya membuat Kiranti kian merasa bersalah. "Maaf." "Jangan diulangi." "Iya Pah, maafin hiks ... aku." "Kok nangis? Papah bukan niat marahin kamu." "Gak kok, aku cuma ngerasa bersalah aja. Harusnya aku dengerin apa kata Papah." "Bagus kalau kamu sudah bisa berpikir jernih." Adimas mengusap wajah Putrinya dan menepuk pelan ujung kepalanya. "Kita duduk dulu, ada yang mau Papah bahas." Kiranti yang mendengar nada serius Papah nya jadi meneguk ludah, merasa kalau Papah nya akan membahas hal yang penting. "Kenapa Pah?" "Max." Kiranti merengut, yang tanya dirinya kenapa Papah nya justru noleh kearah Max. Kacang-kacang. "Iya Om?" "Kamu serius kan dengan Kiranti?" "Saya serius." "Kalau begitu secepatnya Om akan urus pernikahan kalian." "APA?!" Kiranti tentu saja menjerit kaget, meskipun ia juga menyukai Max tapi bisa-bisanya pernikahannya diadakan tanpa sepengetahuan nya. "Saya setuju dengan keputusan Om." Ujar Max dengan tenangnya. Kiranti terlihat yang paling bodoh disana. "Pah ini maksudnya apa? Kenapa dadakan banget?" "Bukan dadakan sayang, ini juga atas pertimbangan yang matang." Jelas Mamah nya perlahan, karena ia sendiri dulu juga pernah berada diposisi yang sama, bahkan dijodohkan dengan mantan Kakak iparnya. Kiranti terlihat menunduk, memilin ujung kaosnya gelisah. Max yang melihat keraguan Kiranti jadi tertegun. "Kamu gak mau nikah sama aku, Ran?" Tanyanya membuat semua orang ikut menoleh kearah Kiranti. Kiranti mengerjap, menatap skeptis tak tentu arah. "B-bukan begitu Max, aku cuma takut kalau belum bisa jadi istri yang baik buat kamu." Max menggenggam telapak tangannya pelan. "Gak papa, kita bisa belajar bareng-bareng." Kiranti terlihat masih sedikit tertekan. "Papah melakukan ini karena beberapa pertimbangan Ran, selain karena mencegah 'kecelakaan' yang tak diinginkan, ini juga karena karena Max yang sebentar lagi akan mulai kembali bekerja, kamu tau kan pekerjaan Max terkadang mengharuskan dia pergi berbulan-berbulan. Kalau kalian belum memiliki ikatan yang sah, Papah yakin hubungan kalian akan putus di tengah jalan." Adimas menatap Putrinya memberi pengertian. Kiranti terhenyak, ternyata karena itu. Kenapa dirinya tidak berpikir sampai sejauh itu? "Tapi semua keputusan ada di tangan kamu, Papah sama Mamah gak akan maksa. Kalau kamu belum siap kamu boleh tolak pernikahan ini." Bukannya tambah tenang Kiranti justru makin galau. "Aku mau ngobrol berdua sama Max dulu ya Pah." Adimas mengangguk menyetujui, tanpa kata ia, istrinya, dan Farel melangkah pergi dari sana. Kiranti menoleh kearah Max yang terlihat diam, Kiranti mendesah pelan. "Max kamu serius mau nikahin aku?" "Apa masih perlu dipertanyakan lagi Ran?" Kiranti menipiskan bibir. "Itu tapi aku masih ... takut." Max terlihat mengernyit dengan tanda tanya besar, Kiranti langsung menunduk tak berani menatap wajah Max. "Aku takut kalau pernikahan kita tidak semulus bayangan, kamu kan tau kalau pernikahan itu sekali seumur hidup, aku takut Max." "Trus kamu mau hubungan kita gantung terus Ran?" Max menatap Kiranti tanpa ekspresi. Kiranti makin dibuat kelabakan. "Kamu itu terlalu mengkhawatirkan sesuatu yang belum tentu terjadi Ran, tapi aku juga gak bisa maksa kamu buat terima pernikahan ini." Max berdiri dari sofa. "Aku pamit dulu." Kiranti tertegun menatap Max yang sudah berjalan pergi. "Oh ya." Kiranti mendongak begitu mendengar interupsi Max dari arah pintu, Max memiringkan wajahnya dengan posisi memunggungi Kiranti. "Aku minggu depan sudah mulai bekerja lagi, dan mungkin sudah gak punya banyak waktu buat kamu." Dan Max akhirnya benar-benar pergi, meninggalkan Kiranti yang mematung di tempatnya. *** "Bang." Farel yang sedang rebahan bermain game online tidak peduli sama sekali. "Baaaang." Rengek Kiranti sudah menggoyang lengan Farel. "Ck jangan ganggu!" Farel menepis lengan Kiranti dan masih bermain game tanpa melirik Adik bungsunya itu sama sekali. Kiranti mencebik, tau kalau Abangnya ini sedang marah kepadanya. "Bang maafin aku." " ... " "Bang jangan cuek gini dong, ini tuh bukan gaya Abang banget." Cerocos Kiranti masih tak mau diam. "Kamu kalau cuma mau gangguin aku mending kamu keluar sana, Abang lagi gak mood." "Abang semarah itu ya sama aku?" Kiranti menatap wajah Kakak lelakinya itu. Tak! Farel membanting HP nya ke atas nakas, terlihat menatap Kiranti dengan rahang mengeras. "Kamu masih bisa tanya begituan Dek sama Abang? Kamu sebenernya anggep Abang ini Kakak kamu bukan sih?" "Bang ... " "Kamu pergi dari rumah malem-malem, gak ada kabar sama sekali. Kalau bukan karena Max bisa ngelacak keberadaan HP kamu dan periksa riwayat Gojek kamu, kamu kira kita bisa temuin kamu? Apa kamu tau kalau Mamah nangis semaleman?!" Farel hampir membentak. Kiranti mundur saking takutnya melihat kemarahan sang Kakak, apalagi ini pertama kalinya ia melihat Kakaknya semurka ini. "M-maafin aku Bang, aku janji gak akan ulangin. Abang percaya sama aku ya?" Kiranti dengan hati-hati melingkarkan lengannya ke leher Kakaknya dan memeluknya lembut. "Abang maafin aku ya." Bujuk gadis itu sedikit merajuk. "Gak bisa, Abang masih marah sama kamu. Kamu ke kamar dulu sana!" Titah Farel mengusir terang-terangan sambil mendorong pelan tubuh Kiranti. Kiranti makin dibuat takut, karena baru pertama kali melihat Kakaknya sampai semarah ini. "Bang--" "Dek tolong, Abang beneran pengen sendiri dulu." Kiranti menurunkan bibir kecewa, dengan terpaksa turun dari atas ranjang Kakaknya itu. Namun saat hendak beranjak tanpa diduga Farel mencekal pergelangan tangannya. Kiranti menoleh dengan kerlipan binar, mengira kalau Kakaknya mulai luluh. "Ambil HP kamu!" Titah Farel menunjuk HP Kiranti di atas meja yang sempat dibuang kemarin. "Sekalian kalau keluar tutup pintunya." Lalu Farel sudah kembali sibuk bermain game di HP nya dengan cuek. Kiranti mencebik. Abang nya kalo marah serem banget! *** "Pagi." "Loh Dek mau kemana? Tumben pagi-pagi sudah rapi?" Kaget Mamah nya saat melihat Kiranti yang turun dengan setelan blouse dan rok span rapi. Kiranti tersenyum cerah, mencium pipi Mamah nya singkat. "Aku mau ikut Papah sama Abang kerja." Putusnya senang. "Byuur!!" "Uhuk-uhuk!!" Adimas dan Farel tersedak bersamaan, menatap aneh bercampur tak percaya kearah Kiranti. "Apa? Kamu mau kerja?!" Kiranti menoleh kearah Papah nya, mengangguk yakin. "Aku mau kerja mulai sekarang, lagian aku kan udah gak ngelanjutin studi S2 di Amsterdam, jadi masa mau nganggur doang disini." "Kamu serius? Kerja itu gak mudah loh." Ujar Adimas jadi ragu melihat tampilan anaknya sendiri. "Iih Papah mah gitu!" "Ngapain sih kerja segala, biar Abang aja. Kamu diem di rumah aja!" Ketus Farel terdengar jahat padahal aslinya tidak tega membiarkan Adik nya kelelahan kerja. "Perusahaan Papah tuh gede, kalau cuma Abang yang urus pasti capek. Gini-gini aku bisa kerja sekalian belajar buat bantu-bantu urus perusahaan nantinya." Jelas Kiranti terdengar meyakinkan. "Tapi Dek—" "Sudah-sudah, Rel biarin Adekmu mulai kerja. Nanti biar Papah suruh bawahan Papah buat awasin secara privat. Papah pastikan kalau Kiranti tidak akan kecapekan." "Gak mau Pah!" Bantah Kiranti tegas. "Aku mau kerja, tapi gak butuh backup. Aku mau kerja kayak pegawai biasa!" "Jangan Dek, Mamah pernah ngejalanin dan itu gak mudah." Sahut Mamahnya cepat. "Gak peduli, udah ah aku laper mau makan." Kiranti selanjutnya sudah mengoleskan selai ke roti tawar nya dan makan dengan khitmat. Terlihat tak ingin dibantah permintaannya. Farel menggeleng tak habis pikir. "Mamah sama Papah tenang aja, nanti biar Abang yang jagain. Lagian masih kecil juga sok-sokan mau dewasa." Ujar Farel diakhiri decakan remeh nya. Kiranti menoleh sengak. "Abang jangan remehin aku ya, gini-gini aku punya mental tahan banting!" Kiranti mulai berkoar. "Ya ya kita lihat aja nanti." "Oke siapa takut!" Tantang Kiranti berani. *** Kiranti turun dari mobil Kakaknya, Papah nya membawa mobil sendiri dan karena pasti akan mencolok banget kalau bareng Papah nya yang notebene nya adalah pemilik perusahaan jadi Kiranti memilih nebeng Abangnya saja. "Bang, masih marah sama aku?" "Nggak, udah jangan bahas itu lagi." "Serius Bang, kalau masih marah jangan bohong!" Farel menghela napas panjang, mematikan mesin mobilnya begitu sudah terparkir rapi. Farel menatap sepenuhnya kearah wajah Kiranti, tersenyum kecil. "Mana bisa sih Abang marah lama-lama sama Adik kesayangan Abang ini." Kiranti seketika merekah, mencubit pipi Abangnya dengan tak tau diri. "Abangku emang debeees banget!" "Aduh sakit Dek! Aw-aw!" "Udah ah aku mau masuk kantor dulu, gak sabar mau kerjaaa~" riang Kiranti lalu membuka pintu mobil dan pergi begitu saja. Farel sungguh tak habis pikir sama sekali, kenapa punya Adek gini banget modelannya. "Bang awas ya kalau nanti di kantor sok-sokan kenal. You is dead!" Dengan gaya garang Kiranti memperagakan pisau yang dipotong ke lehernya sebelum masuk ke dalam kantor. Farel mendengus, kita lihat saja nanti siapa yang bakal ngerengek-rengek masalah kerjaan yang susah. Adiknya itu sepertinya sekali-kali butuh diberi pelajaran. Kiranti mengedarkan pandangan sekeliling kantor, wah seingatnya terakhir kali ia kesini pas umur 10 tahun dan keadaan kantor ternyata sudah berubah drastis, renovasinya pun lebih mewah. Sekarang ia baru sadar kalau Papah nya memang sultan abis! "Mbak Kiranti?" Kiranti menoleh tersentak. "Iya saya." Perempuan petugas resepsionis itu tersenyum formal. "Mari saya antar ke ruangan Mbak." Kiranti tersenyum manis, ingin mengikuti resepsionis itu tepat sebelum mendengar bisikan-bisikan nyaring yang cukup heboh. Kiranti seketika melompong cengo saat melihat semua pegawai terkagum-kagum ketika melihat Abang, Papah nya dan jajaran orang-orang yang tidak dikenal Kiranti tengah berjalan memasuki kantor. "Itu Pak Direktur, dan Pak CEO. Kedepannya Mbak harus hormat sama mereka." Jelas resepsionis disebelah Kiranti menerangkan. Kiranti cuma bisa tersenyum kaku dengan paksa. "H-hehe, iya Mbak." "Yasudah mari saya antar." Kiranti mengangguk lagi, kali ini benar-benar beranjak pergi dari tempatnya berdiri tadi. Mereka berdua berjalan kearah lift pegawai yang sesak nya masyaallah berbanding terbalik dengan lift petinggi perusahaan yang mewahnya bukan main. Gak adil sekaliiii! Bertepatan sekali kedua lift itu saling berjajar, Kiranti rasanya ingin melempar sepatu tinggi hak 5 cm miliknya ke wajah songong Farel yang sedang menertawakan kesusahannya. Pasti Abangnya itu lagi cengengesan melihat dirinya yang harus antri dempet-dempetan dengan banyak orang. "Kiranti?" Bukan cuma Kiranti, tapi semua orang disana ikut menoleh. Kiranti menatap si pemanggil, dan seketika iris matanya membesar. "Ken?" *** TBC.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN