01: Mengejar Kembali Cintanya
Ini hanyalah kisah fiktif, semua nama, latar, tempat, organisasi, dll hanya imajinasi author semata.
Gadis dengan coat coklat, stoking hitam, dan sepatu boot itu melangkah menyusuri jalanan Amsterdam dengan langkah gontai. Salju mulai turun, disekelilingnya banyak pasangan malah mesra-mesraan gak lihat sikon.
Masa mereka kecup-kecup manja di pinggir jalan!
Bukanya Kiranti iri ya! Kiranti cuma GELI!
Kiranti menarik napas dalam-dalam, berusaha tersenyum anggun dan dengan percaya diri melangkah melewati pasangan-pasangan yang masih asik bermesraan itu. Cih! Kiranti pokoknya harus kelihatan keren pas lewat di depan mereka.
Gedubrak!
Atensi semua orang langsung terarah padanya.
Kiranti ... sedang nyungsruk kepleset licinnya salju.
Sialnya orang-orang yang melihatnya bukanya menolong malah ngakak berjamaah. Astagfirullah .... Kiranti sudah mengabsen semua nama hewan ragunan. Apalagi posisi nyungsruknya gak berkelas banget, bisa-bisanya bokongnya ngejentit dan wajahnya nyium aspal.
Dahlah ... mau mati aja dirinya.
"Tante-tante!(dalam bahasa Belanda)" seorang bocah berkulit putih dengan topi rajut dan syal berlari panik kearahnya.
Kiranti berusaha duduk, kali ini ia bisa sedikit tersenyum tulus karena setidaknya masih ada yang khawatir dengannya. Yah meskipun bocah.
Bocah itu berhenti di depan Kiranti, lalu bersedekap. "Tante kalo jomblo jangan nyium aspal, nanti bibir Tante dower loh." Omelnya.
Bibir Kiranti tidak dapat ditahan untuk tidak terjatuh.
"DASAR MANUSIA-MANUSIA SIALAN!" teriak Kiranti nyaring, sudah tidak peduli lagi banyak pasang mata melihatnya aneh.
***
"Dasar semuanya kurang ajar!" Kiranti masih misuh-misuh, "emang gak ada simpati-simpatinya gitu mereka sama gue? Ini gue nyungsruk malah diketawain. Dikira gue lagi stand up comedy apa!"
"Kenapa sih? Pulang-pulang ngamuk gak jelas?"
Kiranti melempar asal tas selempangnya, lalu ikut melempar tubuhnya ke atas sofa. "Itulooo masa aku kepleset nyungsruk tapi malah diketawain bukanya di tolongin, kurang ajar banget kan mereka!" cerocos Kiranti curhat.
"He'em kurang ajar."
Kiranti mengangguk tak berarti, lalu mulai memejamkan matanya untuk mengistirahatkan tubuhnya yang penat karena seharian shopping, shopping aja butuh tenaga ya. Bahkan apertemannya ini sudah berantakan tak karuan, inilah susahnya hidup sendirian.
Kiranti tiba-tiba berjengkit syok, jantungnya hampir copot dari tempatnya.
Wait! Dirinya kan hidup sendirian!
T-trus tadi suaranya siapa?
Kiranti meneguk ludahnya susah payah, dengan tangan mengepal kuat Kiranti perlahan membuka sedikit demi sedikit kelopak matanya. Dan terlihatlah penampakan wajah seorang lelaki tepat di depan wajahnya.
"UAAAARGGGH!"
BUGH!
Kiranti reflek membogem wajah orang di depannya itu sampai terpental.
"UHUK—OHOK ... A-adek uhuk-uhuk kurang ajar!" desis Farel dengan keadaan mengenaskan.
Kiranti membekap erat mulutnya, tercengang karena yang baru ia tinju adalah Kakak kandungnya sendiri.
"A-abang juga sih, kenapa ngagetin aku." Ujar Kiranti jadi merasa sedikit bersalah.
Farel memegang pipinya yang sudah pasti lebam, dengan tertatih-tatih lelaki itu berjalan ke arah cermin.
1
2
3
Kiranti menutup telinganya.
"WAJAH AKUUUUU!!!!" Farel menoleh sengit kearah Adiknya, menggeram sengak. "Aku jauh-jauh dari Indonesia ke Amsterdam tapi malah kamu tinju Dek? Kamu itu cewek kok gak ada anggun-anggunnya sih?!" amuknya mencak-mencak.
Kiranti menggaruk rambutnya dengan tampang watados. "Ya salah siapa ngagetin gitu, harusnya tuh kalo bertamu ya salam kek atau gimana kek."
Pletak!
"Kalo dikasih nasihat njawaaaab mulu, anak siapa sih kamu?!"
"Anaknya Papah Adimas dan Mamah Muliya."
Farel mendengus, sudah kehabisan kata-kata. Dengan perasaan yang masih gondok lelaki itu duduk di sebelah Adiknya, melepas dasi kantoran yang dikenakannya dengan asal.
"Abang ngapain ke Amsterdam?"
"Ada urusan bisnis."
Kiranti hanya membulatkan bibirnya, Abangnya ini sekarang berusia 28 tahun, tapi sudah menjabat sebagai CEO. Ya jelaslah! Lhawong perusahaannya milik Papahnya sendiri. Inilah enaknya jadi orang kaya.
"Gimana kuliah kamu?" tanya Farel menatap wajah Adiknya tiba-tiba.
Kiranti menggedik asal. "Ya gitu deh."
"Belajar yang bener Dek, kasian Papah nguliahin kamu jauh-jauh tapi kamu kayak gak niat begini."
"Abang tumben ngomongnya bener."
"Ck!" Farel mencubit pipi chubby Adiknya gemas. "Abang udah gede, kalau kelakuannya masih kayak bocah justru aneh."
Kiranti kembali membulatkan bibirnya, kali ini sambil meringsek mendekat, bersandar di d**a Abangnya.
Lalu tidur.
"Tsk, tidur di kamar sana!" Farel berusaha mendorong kepala Adiknya risih.
"Gendooong."
"Dek ya Allah kamu ini udah gede loh, gak malu sama umur?"
"Abang kan jarang-jarang jenguk aku." Kiranti tiba-tiba memasang wajah muram.
Farel jadi terkekeh kecil, mengacak rambut Adiknya asal. "Siapa suruh pindah ke luar negeri kayak gini? Enakan juga tinggal di Indonesia deket sama keluarga."
Kiranti tak membalas, agaknya ia sedang tidak ingin membahas masalah ini sekarang.
"Yaudah Abang gendong." Putus Farel sedikit terpaksa.
Kiranti bersorak, tanpa aba-aba langsung melompat ke punggung Abangnya membuat lelaki itu hampir terjengkang menabrak meja.
"Hamba memang insan paling sabar semuka bumi ya Allah." Ucapnya sangat lebay menurut Kiranti.
Farel sungguh menggendong Adiknya itu ke kamar, bahkan sampai menyelimutinya. Padahal Kiranti sudah berkepala 2 tapi kelakuannya gak kalah kayak balita baru bisa jalan.
"Abang ngapain masih disini? Hust-hust sana pergi!" usir Kiranti menendang Abangnya tak tau diri.
Farel hanya mendelik, tapi perubahan ekspresi Farel yang serius membuat Kiranti tersentak.
"Ada masalah Bang?"
"Dek."
"Hm, kenapa sih? Abang jangan sok pasang wajah serius gini dong, serem tau!"
Farel menatap wajah Kiranti tak terbaca, membuat Kiranti sudah dilanda kepanikan.
"Kenap—"
"Max mau dijodohin."
Dan selanjutnya, hanya keheningan yang melanda.
***
Tok tok tok!
Seorang pemuda berperawakan jangkung yang sedang push up itu tidak menoleh, tapi menyahut.
"Gak dikunci Mi!" teriaknya seolah tau kalau itu Maminya.
Laras, wanita paruh baya Ibu dari lelaki ini masuk dengan membawa nampan makanan di tangannya.
"Max kamu kalau di rumah jangan olahraga terus, tubuh kamu juga butuh istirahat."
Max menghentikan aktivitas push up nya, merapikan kaosnya yang basah keringat sesaat sebelum melangkah mendekati Maminya.
"Kalau aku gak olahraga, stamina tubuhku bisa menurun."
"Mami gak mau tau!"
Max menatap wanita yang telah melahirkan nya itu dengan kekehan pelan, kemudian mengambil nampan dari tangan Maminya.
"Makasih buat makanannya Mamiku cantik."
Laras mendengus, acara ngambeknya pasti bakal gagal kalau sang anak pintar gombal begini.
"Max."
"Hm." Gumam Max karena sedang mengunyah.
Laras mengambil posisi duduk di sebelah anaknya, terlihat ragu dan bimbang. "Soal ucapan kamu kemarin ... eum kamu serius?"
Max tetap tenang, tak kaget ataupun canggung. "Kenapa Mami tanya?"
"Ini pernikahan loh Max."
"Kan aku nggak bilang mau nikah." Balas Max santai.
"Tapi kan kamu juga nggak nolak waktu keluarga Pak Widyatama mau dateng Max. Itu tandanya kamu juga setuju dengan perjodohan ini." Laras terlihat sangat gemas.
Max menarik napas dalam, menatap Maminya serius mengabaikan begitu saja makanan di pangkuannya. "Pak Jenderal tanya ke aku apa dibolehin berkunjung secara informal sama keluarganya, ya aku bolehin, kan buat silaturahmi. Trus salahnya dimana?"
"Iiih Maaaaxxxx!!" Laras menggeram benar-benar jengkel. "Tapi kan kamu juga tau maksud mereka, Pak Widyatama itu pasti mau jodohin kamu sama Putrinya, kamu sendiri tau kan kalau Putrinya suka sama kamu sejak dulu?"
Max menggeleng tanpa dosa.
"Lama-lama kamu Mami masukin lagi ke perut loh Max!" gerutu Laras sudah kehabisan kesabaran. "Terserah lah kamu maunya kayak apa, tapi Mami gak mau tanggung jawab kalau nanti ada masalah!" tukas Laras dengan galak seperti biasa sebelum keluar dari kamar Putranya itu besar-besar.
Max justru terkekeh geli melihat tingkah Maminya yang seperti hiburan tersendiri untuknya. Namun beberapa saat setelahnya wajahnya mendadak berubah datar. Max berkedip dua kali, menipiskan bibir dengan raut tak terbaca.
"Aku harap tindakanku kali ini benar."
***
"WADUUUH ANAK MAMAH YANG KAYAK BANG TOYIB AKHIRNYA PULANG JUGA!!!" suaranya menggelegar cempreng khas Emak-emak menguar dahsyat kayak geledek di siang bolong.
Kiranti tersenyum kecil, melepas kepalannya di pegangan koper dan mengulurkan tangan. "Mamah." Ucapnya lirih yang langsung disambut pelukan hangat Mamahnya.
Muliya Agustina, wanita paruh baya itu terlihat tak kuasa menitikkan air mata. Nyatanya meskipun kesal rasa haru dan bahagianya jauh lebih besar atas kepulangan sang anak.
"Baru inget rumah sekarang?" sindir Muliya dengan air mata makin menetes.
Kiranti tidak bersuara, hanya bisa menyembunyikan wajahnya di pelukan sang Mamah.
"Dek."
Kiranti mengurai pelukannya, menatap lelaki paruh baya yang tetap terlihat berwibawa itu. Kiranti mengusap hidungnya yang memerah sesaat sebelum melesat ke pelukan Ayahnya, Adimas.
"Papah aku kangen."
"Papah juga." Adimas dengan lembut membelai belakang kepala anaknya. "Kayaknya kamu betah banget ya Dek tinggal di luar negeri sampai gak inget pulang." Sindir Adimas sarkas. Ternyata mulut Ayahnya ini sebelas dua belas seperti mulut Mamahnya.
"Papah sama Mamah juga jarang jengukin aku!" balas Kiranti tidak mau kalah.
"Hei enak banget ya ngomongnya tuh mulut!" Muliya menjewer telinga Putri bungsunya ini keras. "Papah sama Mamah jengukin kamu setiap 6 bulan sekali, kamu bilang jarang? Kamu gak tau ha kalau Papah kamu itu Direktur yang sibuk banget?!"
Kiranti mencebik.
"Harusnya kamu dong jadi anak yang sadar diri, inget rumah, pulang kek setiap liburan. Ini apa? Kamu baru pulang setelah 8 tahun!"
Kiranti makin mengerucutkan bibirnya 5 Cm ke depan.
"Udah." Adimas menenangkan istrinya yang sudah hampir jadi singa betina. "Dek kamu taruh barang-barang ke kamar sana, habis itu turun kita makan." Titah Adimas yang diangguki Kiranti. Gadis cantik itu mengambil kopernya dan hampir menaiki tangga rumahnya sesaat sebelum merasa ada yang aneh. Kiranti menoleh kembali ke arah orang tuanya.
"Loh Kak Gea mana?"
Papah dan Mamahnya saling lirik, sampai beberapa saat setelahnya Mamahnya tersenyum mencurigakan ke arah Kiranti.
"Mbakmu udah diboyong ke rumah mertuanya, kan dia udah nikah."
Brak!
Koper Kiranti terjatuh naas ke lantai.
"NIKAAAAH???!"
***
"Dek, Mamah boleh masuk?"
Suara ketukan pintu dari luar membuyarkan lamunan Kiranti, gadis berambut lurus itu berteriak keras dari posisinya.
"Buka aja Mah, gak dikunci!"
Tak lama Mamahnya terlihat memasuki kamarnya, duduk menyamping bersebelahan dengan sang Putri.
"Ini Mamah bawain buah."
"Taruh di atas nakas aja Mah." Balas Kiranti dengan pandangan masih tak lepas dari layar HPnya.
Muliya jadi memanjangkan lehernya, mengintip apa yang sedang dilihat Kiranti sampai sebegitu fokusnya.
"Namanya Ajeng Ayudewi Widyatama, Putri Jenderal. Cantik, pinter, attitude nya tidak usah diragukan lagi." Kiranti mau tidak mau jadi menatap Mamahnya yang tiba-tiba menjelaskan hal yang sama sekali tidak ia tanyakan. "Pokoknya jos banget lah, kamu kalah jauh."
"Ih Mamah kok gitu!" delik Kiranti merasa tak terima. Cih potonya aja yang sok lugu, sok polos, pasti aslinya juga gadis biasa yang suka shopping dan nongkrong kayak dirinya. Batin Kiranti yang tidak mau menerima kenyataan.
Muliya mendengus singkat. "Leh kok sewod? Lhawong yang Mamah omongin bener kok. Kamu kalau dibandingkan dengan Ajeng bagai batu kali VS batu akik."
"Batu akik itu juga dari kali Mah!" sebal Kiranti.
"Eh iya ya."
"Ck, udah ah Mamah keluar sana kalo disini cuma bikin mood aku jelek."
Muliya menggeleng menatap Putrinya ini, perlahan mengulurkan tangan mengelus rambut anaknya yang sedang tengkurap itu, Kiranti tersentak heran.
"Kamu jadi perempuan jangan plin-plan Dek, nanti nyesel loh."
"Maksud Mamah?"
"Kamu kira Mamah gak tau kalau kamu pulang ke Indonesia cuma buat Max? Kamu gak rela kan kalau Max mau nikah sama gadis lain?"
"K-kata siapa coba!" elaknya gagap-gagap.
Muliya jadi prihatin, apa sikap gengsi Putrinya ini turunan dari dirinya sendiri ya?
"Kamu itu aneh ya Dek, dulu pergi ke luar negeri karena malu sama Max, eh giliran Max udah mau dinikahin sama cewek lain kamu yang gak ridho. Jangan setengah-setengah Dek, kalau mau move on ya lupain, tapi kalau gak sanggup ya kejar!"
Kiranti seketika duduk bersila menghadap Mamahnya.
"A-apa kelihatan banget ya Mah?" tanya Kiranti jadi agak malu.
Muliya mengangguk, menepuk bahu Putrinya tegas. "Kamu mau Mamah carikan calon suami?"
"Kok jadi gini sih bahasannya!" nada suara Kiranti sampai melengking, yakali abis bahas mellow-mellow mendadak ia mau dijodohkan.
"Ya bukan begitu, Mamah cuma gak tega aja kalau lihat kamu galau dan patah hati."
"Ya kan harusnya Mamah tuh dukung aku biar kejar Max, bukannya malah mau jodohin aku!" koar Kiranti membara.
Muliya mengangkat sebelah ujung alisnya. "Emangnya kamu mau kejar Max kalau Mamah dukung?"
"YA MAU LAH!" lalu Kiranti beranjak dari tempat tidurnya, mengambil jaket dan menguncir asal rambutnya.
"Loh kamu mau kemana?" Bingung Muliya jadi melongo heran.
Kiranti yang sudah selesai dengan ritual singkatnya itu menoleh, menatap lurus manik mata Mamahnya.
"Mau ke rumah Max, aku harus minta pertanggungjawaban karena aku udah dibikin bucin sama Max!" kemudian Kiranti berlari keluar kamar.
Menyisakan Muliya yang sedang mencoba mencerna keadaan.
"Astagfirullah..." Muliya mengelus dadanya. "Itu anak siapa?"
***
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam, mari silakan masuk." Laras langsung mempersilakan masuk begitu melihat kedatangan keluarga Widyatama.
Widyatama dan istrinya tersenyum ramah memasuki kediaman Max, di belakangnya seorang gadis cantik berbalut dress putih gading selutut terlihat malu-malu menyapa Laras.
"Tante."
"Eh ya ampun sayang kamu cantik banget hari ini." Puji Laras jujur, gadis di depannya ini memiliki paras seperti orang Timur Tengah dengan kulit seputih s**u khas orang Chinese meskipun asli keturunan Indonesia.
Ajeng Ayudewi Widyatama memang bukanlah gadis biasa, memiliki paras memesona, keluarga berpengaruh, dan otak di atas rata-rata membuat gadis ini sudah berkali-kali dipinang banyak lelaki, mulai dari pengusaha sampai seorang Politisi tapi tidak pernah ia terima.
Ajeng terlanjur menaruh hati pada salah satu bawahan Ayahnya. Max, yang merupakan Kapten TNI AD.
Mereka semua duduk di ruang tamu, terlihat sesekali berbincang saat Ayah Max datang menyapa mereka. Ayah Max bernama Gio, merupakan seorang Dosen.
Suara langkah kaki menuruni tangga terdengar. Membuat semua orang menoleh, terlihat lelaki muda berwajah datar, bibir tajam, alis tebal, menuruni tangga dengan wajah tetap tanpa ekspresi.
"Siap—"
"Tidak perlu, kan sudah saya bilang kalau ini merupakan acara informal." Potong Widyatama melihat Max yang seperti akan memberi penghormatan resmi kepadanya.
Max mengangguk patuh, duduk di sebelah Ibunya berhadapan langsung dengan Ajeng. Gadis itu terlihat langsung menunduk menyembunyikan wajahnya yang bersemu merah. Widyatama tersenyum geli melihat tingkah Putri semata wayangnya itu.
"Ehem! Max." Panggil Widyatama tiba-tiba.
Max menoleh. "Iya?"
"Mungkin ini terkesan mendadak dan mengejutkan buat kamu, tapi ada yang ingin Om katakan pada kamu."
Max mengangguk tenang tanpa perubahan ekspresi berarti. "Baik, silakan."
Widyatama menarik napas panjang, diliriknya sang Putri yang sedang menunduk memilin ujung dress dengan gugup. Widyatama tersenyum samar, mengulurkan tangan memeluk bahu Putrinya lembut.
"Om berencana buat jodohkan kamu dengan Putri Om, kamu bersedia menikah dengan Ajeng?"
Max merapatkan bibirnya. "Saya—"
GEDUBRAK!
Semua orang di ruangan itu menoleh kaget, dan seketika tercengang cengo.
Saat melihat Kiranti yang nyungsruk dengan posisi tidak elitnya.