Cahaya matahari menyilaukan matanya, perlahan Kiranti mengerjap mencoba mengambil kesadarannya kembali. Suara dengkuran pelan terdengar disebelahnya membuat Kiranti tersentak kaget, suara siapa itu?!
Begitu melihat Max perempuan itu reflek mengelus d**a. Astagfirullah dia lupa kalau sudah nikah.
Kiranti jadi terkekeh tanpa suara melihat lelaki itu yang tidur tengkurap dengan posisi di ujung kasur, sedikit sentilan pasti Max akan nggelinding di lantai. Tapi Kiranti mana tega ngerjain suami tercintanya ini.
Cup.
"Pagi suamiku~" Binar bahagia tercetak sangat jelas di wajah cantiknya, meskipun baru bangun tidur tapi wajah Kiranti tidak menampakkan muka bantal sedikitpun.
"Ehm." Max menenggelamkan wajahnya ke dalam bantal, terlihat masih ngantuk.
Kiranti jadi gemas sendiri, menoel-noel sebelah pipi Max yang terekspos, Max terlihat terganggu, dengan posisi masih menutup mata lelaki itu menarik tubuh istrinya kuat sampai terjatuh ke dekapannya.
"Masih terlalu pagi sayang." Bisik Max dengan suara serak basah khas bangun tidur.
"Udah hampir jam 7 loh Max, aku mau kerja."
Max dengan sangat-sangat berat membuka matanya, mengintip wajah cantik istrinya dari celah tipis matanya. "Kerja?" Ulangnya.
Kiranti mengangguk-angguk.
"Hari ini kamu udah aku booking, gak ada kata kerja." Titah Max mutlak. Kiranti mendelik tak terima. "Besok aku sudah mulai kerja, hari ini kita seharian gak boleh pisah." Imbuh Max cepat sebelum Kiranti sempat membantah.
Kiranti tertegun, raut wajahnya berubah mendung seketika, cobaan pengantin baru dan harus pisah itu berat sekali.
"Kenapa, hm?" Max bisa melihat dari celah tipis matanya kalau istrinya ini jadi sedikit murung. Tangannya terangkat, mencubit pelan pipi Kiranti. "Aku bakal pulang kok, gak usah sedih ya." Hiburnya.
Kiranti memasang senyuman manisnya, mencoba biasa saja. "Ish siapa yang sedih coba? Aku cuma sebel aja masa kita pengantin baru harus dipisahkan!" Gerutu perempuan itu dengan segala ketegarannya, sudah resiko ia ditinggal pergi, jadi ia pun tidak boleh egois.
Max pun hanya bisa menelan semua janji-janji manis yang ingin terlontar dari mulutnya, ia adalah pria yang realistis, tidak mungkin mengumbar janji manis kepada Kiranti kalau sudah tau akhirnya tidak akan berhasil.
"Hari ini biar aku yang masak!" Semangat Kiranti sambil beranjak turun kasur.
Max mengernyit tak yakin. "Emm, ok." Jawab Max ragu, sebenarnya penasaran juga gimana hasil masakan istrinya nanti.
Kiranti tersenyum senang, dengan sangat semangat ia mulai berlarian kesana-kemari sangat heboh di dapur, rasanya Kiranti bukan lagi kayak mau masak tapi lebih mirip perang di medan tempur.
Max cuma bisa mengusap d**a pasrah saat melihat bumbu dapur berserakan dan isi kulkas yang acak-acakan. Bahkan dirinya yang cowok saja tidak seheboh Kiranti ketika masak. Kiranti melompat, berjinjit, berputar, sampai gaya lempar-lempar masakan diatas wajan.
Ini sebenarnya Kiranti mau masak apa sih???
"Jadi!!"
Max langsung merekah saat melihat Kiranti sudah menyelesaikan masakannya, ternyata istrinya ini sungguh jago masak, ia jadi merasa bersalah karena sudah suudzon.
"Ini apa?" Tanya Max saat Kiranti menghidangkan masakan buatannya ke atas piring.
"Namanya adalah fried rice special!" Jelas Kiranti tersenyum lebar.
Alis Max seketika mengernyit tak enak, barusan Kiranti bilang nasi goreng kan? Tapi kok warnanya oren? Max mendongak bingung menatap istrinya.
"Oh ini warnanya oren soalnya aku pakein pewarna, tapi jangan salah Max aku pakenya dari sari pati wortel."
Ha?
Apa tadi katanya?
"Udah ayo dong cepet dimakan!" Seru Kiranti tak sabaran.
Max dengan sedikit ragu menyendokkan nasi goreng oren(?) itu ke mulutnya, dan seketika kedua bola matanya langsung ngejreng.
Rasa masakan Kiranti meledak di mulutnya. Defisini meledak yang sesungguhnya, bikin nyawa melayang.
Rasanya asin, manis, dan sedikit pahit dari perasan air wortel mentah membuat semuanya sungguh campur aduk di mulut Max. Melihat raut berbinar-binar di mata istrinya membuat Max tidak mungkin tega memuntahkan masakan yang rasanya gak karuan itu. Dengan mata sedikit bergetar Max memaksa masakan itu untuk masuk ke tenggorokannya.
"Enak, gak?!" Tanya Kiranti antusias.
Max menelan ludah susah payah, bahkan rasa masakan sewaktu dirinya bertugas di perbatasan dulu jauh lebih nikmat ketimbang nasi goreng ini.
"Sayang.."
Max pelan-pelan menarik lengan istrinya, membawanya duduk di pangkuannya. Dengan sedikit manja lelaki itu berusaha terlihat merajuk. "Gimana kalau kita jalan-jalan?"
"Oke, selagi aku siap-siap, kamu bisa habisin makanannya dulu."
"K-kita makan di luar aja yuk."
"Kenapa?" Wajah Kiranti berubah drastis.
Max mencoba terlihat biasa saja. "Aku cuma pengen kita sarapan romantis." Sungguh alasan yang sangat nyeleneh, dimana-mana makan romantis itu saat dinner bukan sarapan.
"Ya ampun aku gak tau kalau kamu seromantis ini Max." Kiranti tanpa diduga memeluk erat leher jenjang Max. "Makin sayang deh sama kamu."
Max seketika menghembuskan napas lega, ia kira Kiranti tadi akan menolaknya. Dengans senang hati Max membalas pelukan istrinya, mengusap punggung ramping Kiranti lembut.
Ia bersumpah, gak akan pernah membiarkan Kiranti masak lagi.
***
"Baik mohon tunggu sebentar ya."
Setelahnya waiters itu melenggang pergi sambil membawa catatan pesanan Kiranti dan Max, mereka berdua akhirnya memilih makan di restauran high class yang pastinya cuma berisi kalangan atas. Max yang melihat raut tak nyaman Kiranti akhirnya bersuara.
"Kenapa Ran? Kamu gak suka tempatnya?"
Kiranti menatap Max kaget. "Ah nggak sih, cuma ... apa nggak berlebihan kita sarapan disini?" Bukannya Kiranti kere atau gak punya duit, tapi entah kenapa semenjak menikah dengan Max ia jadi tidak nyaman menghambur-hamburkan uang, padahal dulu saat masih single ia fine-fine aja shopping dan foya-foya.
Max tersenyum samar, menangkup jemari lentik istrinya untuk dibawa ke genggamannya. "Aku gak akan bangkrut Ran kalau itu yang kamu pikirkan."
Kiranti spontan menggeleng panik. "B-bukannya begitu—"
Max malah tersenyum manis. "Iya aku paham kok Ran apa maksud kamu, cuma kamu juga gak perlu sampai mikirin hal sekecil ini. Aku sekarang adalah suami kamu, sudah kewajiban aku membahagiakan kamu bagaimanapun caranya." Kiranti terpaku, terpanah, merasa kalau sebentar lagi tubuhnya akan meleleh. Mata elang Max masih menatap setiap jengkal wajah cantik istrinya, entah kenapa setelah menikah rasanya aura kecantikan Kiranti terus bertambah di matanya.
"Silakan dinikmati."
Dua orang itu tersentak saat waiters tau-tau sudah datang dan membawakan pesanan mereka, keduanya cuma bisa tersenyum canggung saat waiters tadi tertawa kecil melihat adegan menye-menye keduanya.
"Kamu gak lama kan Max perginya?"
Max seketika mendongakkan wajah menghadap Kiranti. "Biasanya satu bulan--"
Kiranti langsung melotot tak santai.
"Tapi cuma satu minggu saja aku gak bisa pulang, setelahnya bisa." Lanjut Max buru-buru. Kalau tidak sedang ada tugas khusus atau dinas ia memang bisa pulang meskipun sangat menyita waktu, biasanya Max lebih memilih tidur di camp yang disediakan tapi sekarang beda, rasanya Max ingin cepat-cepat pulang menemui istrinya.
Kiranti cuma bisa tersenyum singkat seadanya, sebenarnya masih tak rela tapi mau bagimana lagi, dua orang itu akhirnya memilih khusyuk makan. Max mengiris steak nya menjadi kecil-kecil, lalu tanpa mengatakan apapun Max menukar piring nya dengan piring milik istrinya.
Tindakan kecil, tapi sudah membuat sesuatu di d**a Kiranti menggila.
"Makasih." Cicit Kiranti dengan pipi bersemu.
Max mengulum bibirnya gemas melihat wajah malu-malu Kiranti. "Ran aku boleh tanya sesuatu nggak ke kamu?"
Kiranti spontan mendongak, mengangguk cepat. Max menaruh garpu dan pisau di tangannya ke sisi piring, menumpukan siku nya ke atas meja dengan sorot mata tajamnya yang menatap lekat manik mata Kiranti.
Melihat tatapan serius yang Max lemparkan padanya membuat Kiranti tanpa sadar menahan napas, sepertinya Max akan membahas sesuatu yang sangat penting.
"Kamu mau kita punya anak berapa?"
"UHUK-UHUK!"
Hancur sudah ekspektasi Kiranti, dengan mulut terbatuk-batuk sengak ia mencoba meraih minuman dan menenggaknya rakus. Sumpah demi apapun pertanyaan Max tadi sangat di luar bayangannya.
"Kamu gak papa Ran?"
"Lain kali lihat-lihat sikon dong Max kalau mau nanya!" Omel Kiranti berusaha menutupi salah tingkahnya.
Max terkekeh pelan. "Loh kenapa? Apa pertanyaan ku salah?"
"Tapi kan bisa nanya nya di rumah, bukan di tempat ginian!" Kiranti rasanya sangat gemas ingin menabok wajah tengil suaminya ini. Kenapa setelah menikah Max jadi suka jahil sekali, kemana perginya Max yang mirip kulkas berjalan itu?
"Pertanyaan aku belum kamu jawab loh Ran." Max masih menunggu jawaban.
Kiranti memijit pelipisnya, menghela napas panjang. "Kamu tanya aku pengen punya anak berapa kan?" Max mengangguk. "aku pengen punya satu anak."
"Nanti kalau cuma satu dia kesepian." Balas Max.
"Yaudah 2 deh." Timpal Kiranti.
"Kalau cuma 2 kurang rame Ran." Sahut Max lagi.
"Y-yaudah 3 deh 3." Kiranti terlihat pasrah.
"Kalau 3 itu nanggung banget Ran."
"Trus mau kamu berapa sih Max?!" Kiranti sekarang beneran jengkel, kalau pendapatnya disanggah mulu trus apa gunanya ia ditanyai.
"Aku maunya kita punya 4 anak, jadi kalau jalan-jalan pas, kamu gandeng 2 aku gandeng 2." Max bercerita dengan mata berbinar-binar seolah itu adalah mimpinya.
Kiranti yang melihat antusiame Max jadi mengulum senyum geli, tak ia duga kalau lelaki ini punya mimpi sesederhana itu.
"Andai ada gen kembar dari keluarga kita, pasti kita juga berkemungkinan punya bayi kembar, lucu banget pasti Ran!" Imbuh Max makin menggebu.
Kiranti spontan tertawa renyah. "Yaudah deh nanti kita bikin 4 anak." Sambil mengacungkan 4 jari tangannya.
Max tersenyum lebar. "Aku gak sabar menunggu saat itu, dimana kita jadi keluarga paling bahagia."
Kiranti meraih jemari Max, mengelusnya dengan ibu jari. "Aku juga."
Mereka merasa kalau dunia sudah jadi milik berdua, sedang berbahagia menikmati suasana sampai tiba-tiba sebuah suara menyela keduanya.
"Kiranti?"
Max dan Kiranti menoleh, menemukan Ken yang sedang mendekat dengan senyum lebarnya.
***
TBC.