Axel melangkah dengan seringai yang bertahan di wajahnya. Jantung lelaki itu berdetak penuh tekanan, tetapi di sisi lain membawa kelegaan.
Sungguh, dia juga tak menyangka bahwa dirinya akan sebegitu berani seperti tadi. Namun, di saat yang sama Axel pun menyadari bahwa dia begitu menginginkan Rose.
Mendengar bagaimana Dany memperingatkan dirinya, membuat Axel mempunyai pemikiran bahwa lelaki itu bisa melakukan apa saja untuk mendapatkan Rose.
Maka Axel pun berjanji bahwa dirinya juga akan melakukan apa saja untuk mempertahankan Rose di sisinya.
“Hai ....”
Wanita muda yang sedang mengajar itu lalu menoleh. Sudut bibirnya terangkat ketika menatap si lelaki muda yang berdiri di ambang pintu dengan wajah semringah yang seperti memancarkan cahaya.
“Halo ....”
Rose tersentak sewaktu mendengar suara para muridnya. Membuat Rose kembali memutar pandangan. Wanita muda itu lalu tersenyum memandang para muridnya.
Untuk sekejap, Rose masih duduk di bangku kecil untuk dapat sejajar dengan para murid. Lalu tak berselang lama, dia pun bangkit. Bertepatan dengan bunyi bel yang baru saja menggema.
“Yeay ...!” Anak-anak itu pun berseru dan secara serentak bangkit dari tempat duduk mereka.
“Oke,” gumam Rose. “semuanya, jangan lupa mengerjakan PR, ya ....”
“Oke ....” Anak-anak pun menyahut dengan suara mereka yang menggemaskan. Membuat Rose tersenyum lebar.
Satu per satu dari mereka mulai beranjak. Menghampiri Rose untuk menjabat tangan dan mencium punggung tangannya.
Axel pun tersenyum menatap wajah semringah Rose. Caranya membalas sapaan para murid, tersenyum kepada mereka sambil memperingatkan supaya mereka berhati-hati. Sungguh, wanita muda itu benar-benar tak hanya sekadar hendak membagi ilmu, tetapi cerminan hatinya yang tulus, tergambar jelas dari caranya memberikan pandangan kepada para murid.
“Hati-hati, ya. Nanti jangan mampir-mampir ke tempat lain. Langsung pulang, ya ....”
“Baik, Ms.”
Setelah para murid itu sepenuhnya pergi, Rose pun akhirnya memutar tubuh menghadap Axel. Senyum itu masih terpatri di wajahnya ketika Rose mengambil langkah menghampiri Axel.
“Hai,” sapa Axel.
“Hai,” balas Rose.
Axel lalu menarik dirinya yang sedang bersandar di tembok, untuk kemudian mengambil langkah menghampiri Rose.
“Aku melihatmu di luar,” ucap Rose.
“Oh!” Axel mendelik lantas memutar tubuhnya. Tak ada siapa-siapa di belakang sana. Axel pun terkekeh.
“Kalian tampak tegang. Apa yang kalian obrolkan?” tanya Rose. Axel kembali terkekeh.
“Ah ... tak ada. Hanya kenalan,” ucap Axel.
Rose pun memicingkan matanya. “Sungguh?” tanya gadis itu.
Axel mengulum bibir sebelum menganggukkan kepalanya. “Ya,” gumam lelaki itu. “oh ya, aku kemari untuk menjemputmu.”
Untuk sejenak, Rose terdiam. Ia pun mengerutkan dahinya. “Menjemputku?” balas gadis itu bertanya.
“Ya.” Axel maju selangkah lalu meraih satu tangan Rose. “aku datang untuk menjemput ibu guru dan mengajaknya jalan-jalan,” ujar Axel.
Seketika membuat Rose terkekeh. Tampak sepasang alis yang sempurna itu melengkung ke tengah, bersama bibirnya yang terkulum. Rose pun menganggukkan kepala.
“Oke ...,” gumam gadis itu. “kalau begitu tunggu sebentar.”
Rose pun melangkah. Mencuci tangannya lalu bergerak cepat mengambil tasnya di atas meja.
“Ayo,” ucap Rose sambil mengedikkan kepalanya.
Axel tersenyum sebelum mengambil langkah menghampiri Rose. Dia pun mengulurkan tangan, untuk sejenak Rose menatap tangan yang terulur itu. Dia tertawa singkat lalu akhirnya meraih tangan Axel dan menggenggamnya erat.
Mereka pun berjalan keluar. Rose mengerutkan dahinya saat melihat sebuah motor terparkir tak jauh dari tempat mereka sedang berjalan. Tak berselang lama, langkah Axel pun terhenti. Ia mengambil salah satu helm yang ia gantungkan di depan jok motor, lalu memakaikan benda itu pada Rose.
Mulut Rose megap-megap, tetapi tak ada satu pun kalimat yang keluar dari bibirnya. Selain kedua mata yang sibuk memerhatikan wajah Axel.
“Kenapa?” tanya Axel. “kamu tidak percaya kalau aku bisa mengendarai motor?” Lanjutnya. Seketika membuat Rose tergelak. Napasnya pun berembus dengan kasar.
“Bu- bukan begitu,” jawab Rose terbata-bata. “sejak kapan kamu bisa mengendarai motor? Apa kamu punya SIM?” tanya gadis itu lalu memandang sepada motor di sampingnya.
“Sudah lama,” kata Axel. Ia pun memakai helm-nya. “aku punya SIM.” Lanjut Axel.
Rose masih tidak percaya. Dia menatap Axel dan motornya secara bergantian lalu gadis itu kembali terkekeh.
Axel yang telah lebih dulu menaiki motor lalu menoleh ke samping. Ia pun mendesah berat sewaktu melihat wajah Rose.
Dia menangkap keragu-raguan dari pandangan Rose, membuatnya bergerak merogoh dompet dari dalam saku mantelnya. Axel pun langsung menunjukkan SIM yang dia miliki kepada Rose.
“Owh!” Rose mendelik, membaca nama lengkap Axel.
“Bagaimana? Apa ibu guru sudah percaya?”
Untuk sekejap, Rose masih terdiam sampai akhirnya ia tertawa rikuh lalu menganggukkan kepalanya.
“Oke,” gumam Rose. Dia langsung mengayunkan kaki, mengambil tempat di belakang Axel.
Tampak sudut bibir lelaki muda itu terangkat membentuk senyuman. Sekilas ia menoleh ke belakang.
“Pegangan,” kata Axel. Rose mengerutkan dahi. Sudut bibirnya tampak berkedut, lalu memberikan senyum geli. “hanya untuk safety,” kata Axel.
Rose mengedikkan kedua alis, tetapi akhirnya ia pun mengalah. Kedua tangan Rose mulai melingkari pinggang Axel. Lelaki itu tergelitik hingga tergelak rendah.
“Oh, ayolah ... jangan menggelitik aku,” ucap Axel.
Rose pun terkekeh sebelum akhirnya kedua tangannya benar-benar melingkari pinggang Axel. “Oke,” ucap Rose.
“Siap?” tanya Axel.
Rose mengangguk lantas bergumam, “Hem.”
Maka Axel langsung menyalakan mesin motor dan membawa kendaraan roda dua itu meninggalkan sekolah tempat Rose mengajar.
Sepanjang perjalanan, Rose selalu diam. Namun, pikirannya terpusat kepada Axel. Bagaimana dalam waktu singkat lelaki itu bisa memiliki SIM. Padahal, rasanya baru kemarin Rose melihatnya berjalan, tetapi sekarang dia muncul dengan membawa banyak kejutan.
Tak berselang lama, mereka pun tiba di sebuah taman. Lelaki itu memarkirkan motornya. Rose turun lebih dulu dan disusul oleh Axel. Mereka meletakan helm sebelum memasuki taman tersebut.
Ini masih siang, suasana di sana tampak begitu sepi. Ada sebuah restoran terbuat dari kayu. Axel mengajak Rose ke sana.
Di sini juga tak begitu ramai. Hanya ada beberapa pengunjung yang duduk berjauhan. Axel mengambil salah satu tempat yang berada di sudut.
Tak berselang lama, seorang pelayan menghampiri mereka. Axel dan Rose segera memberitahu pesanan mereka. Setelah pelayan itu pergi, Rose pun memfokuskan atensinya kepada Axel.
“Eum ... Rose,” panggil Axel.
“Ya,” jawab Rose.
“Kapan kita kembali ke Bali,” tanya lelaki itu.
Untuk sekelebat, Rose terdiam. Tampak bibirnya terkulum. Rose pun mengedikkan kedua alis.
“Lusa,” jawab Rose.
Axel mengangguk singkat. Melihat ekspresi Axel membuat Rose tergelak.
“Kenapa? Kamu sudah sangat merindukan Bali, ya?” tanya Rose.
“Hem,” gumam Axel. “dan, sebentar lagi aku akan masuk kuliah. Oh ya, aku juga sudah mendapatkan pekerjaan.”
Mendengar ucapan itu membuat Rose lantas mendelik. “Oh ya?”
Axel mengangguk. “Ya, pekerjaan paruh waktu. Aku akan bekerja di bar milik Jared. Oh ya, aku lupa bilang bahwa pacarnya dokter Karina beberapa kali mengunjungi aku di vila. Dia mengajakku jalan-jalan lalu akhirnya aku iseng saja bertanya. Dia bilang jika aku mau, aku bisa mengambil shift di malam hari. Kebetulan dia juga sedang butuh orang,” ujar Axel.
Napas Rose berembus kasar dari mulut. “Kamu yakin ingin bekerja?” tanya gadis itu. “Ah, maaf,” koreksinya sambil menggelengkan kepala. “maksudku, apa kondisimu sudah sehat?”
“Apa aku punya sakit?”
Rose mendelik. Ia pun menarik wajahnya sedikit ke belakang. “Oh,” gumam Rose. Dia terkekeh. “bukan begitu,” kilahnya.
Sekejap gadis itu menoleh ke bawah. ‘Dia ingin kamu memandangnya sebagai seorang lelaki.’ Perkataan Karina tiba-tiba terngiang di dalam kepala Rose dan membuatnya terkekeh.
“Eum ... ya, maaf, aku hanya-“
“Aku mengerti,” sergah Axel. “terima kasih.” Lanjutnya.
Rose mengerutkan dahinya sebelum kembali mengangkat wajahnya. Axel pun tersenyum lalu melanjutkan, “Terima kasih sudah perhatian padaku. Sekarang kamu tak perlu menghawatirkan kondisiku, Rose. Aku sudah baik-baik saja. Aku sudah bisa mandiri, hanya saja aku ingin kamu tetap di Bali. Bukankah kita keluarga?”
Rose terdiam selama beberapa saat sampai akhirnya ia menganggukkan kepala. “Hem,” gumam Rose.
“Maka untuk itu, kita tak boleh tinggal berjauhan,” lanjut Axel.
Perkataannya membuat Rose tersenyum. Di sisi lain, hatinya melega melihat Axel akhirnya telah berhasil mengalahkan keterpurukan. Jika ada yang harus dilakukan Rose saat ini adalah memberikan dukungan penuh kepada Axelnya.
“Ya, tentu,” jawab Rose dengan senyum semringah.