40. Anonymous

1266 Kata
Sebulan Kemudian Bali, Indonesia 08.22 pm ________ “Kamu yakin?” Tampak seorang lelaki muda menghela napas, kemudian mengentaknya dengan kuat. Ia pun tertawa rikuh lalu menundukkan kepalanya. “Ya, aku sudah bekerja selama dua minggu dan apa salahnya? Lagi pula Anda sudah terlalu banyak membantu, dokter Karina.” Terdengar desahan panjang dari seberang sambungan telepon. “Bukan masalah besar, Axel, aku bahkan memberikan nama keluargaku padamu. Sudah kubilang, aku sudah menganggapmu sebagai adikku sendiri.” Sekali lagi Axel tergelak. “Terima kasih, dokter Ka-“ “Karina!” sergah Karina dengan nada menyentak. “just Karina, okay?” Axel mengulum bibir lalu menganggukkan kepalanya. “Hem,” gumam Axel. “Oke, kalau begitu berikan ponselnya pada Jared,” perintah Karina. Axel pun memutar tubuh ke arah Jared yang sedang berada di belakang meja bar dan tampak sibuk melayani tamu. “Eh ... Karin, aku tidak yakin kalau ini waktu yang tepat,” kata Axel. Karina mendengkus dan mendesah panjang. Gadis itu lanjut menggeram. “Oh, dasar sok sibuk!” gerutu Karina. Axel pun tergelak. “Hey ... bukannya aku ingin memihaknya, tapi Jared sungguh terlihat sangat sibuk. Larry sakit, sementara aku belum terlalu mahir meracik minuman. Oh sungguh, Karina, tanpa mengurangi rasa hormatku padamu, aku harus segera membantu kekasihmu, jadi ....” Sekali lagi Karina mendesah. “Hah ... ya, ya, baiklah. Well, sejujurnya aku kurang setuju kamu bekerja di situ. Bukan apa-apa, ada banyak wanita genit di sana. Belum lagi bau alkohol, nikotin. Astaga! Aku lebih memilih kamu jadi kasir supermarket daripada menjadi bartender di bar itu.” Untuk ke sekian kalinya Axel dibuat tergelak oleh ucapan Karina. “Hey ... tak ada supermarket yang memperbolehkan pegawainya hanya bekerja di malam hari. Lagi pula jika hanya soal wanita genit, kamu tidak usah khawatir,” ujar Axel ia pun memutar wajah, menatap seseorang yang sedang duduk di salah satu meja. Ia pun menyeringai nakal sebelum melanjutkan, “ada bodyguardku ada di sini.” Terdengar suara gelak tawa dari Karina. “Oh ya, aku lupa dengan dia. So, jadi sudah sampai di mana hubungan kalian?” Axel mendesah. “Well, aku sedang melakukan yang terbaik, aku menunggu waktu yang tepat untuk menembaknya,” ujar Axel dengan polos. Karina tergelak untuk ke sekian kalinya. “Well, well, well ... my Axel growing up so fast, hah?” Axel tergelak kembali. “Ya, kurasa begitu. But anyway, tolonglah ... izinkan aku membantu kekasihmu. Andai kamu bisa melihat situasinya, oh dia sedang mengangkat bendera putih,” ujar Axel. Karina tertawa kembali. “Oke, oke ... tetap jaga dirimu. Jangan terlalu capek dan cepat berikan aku kabar baik soal hubunganmu dengan Rose, oke?” “Hem,” gumam Axel. “akan kuhubungi nanti. Kamu juga jaga dirimu di sana, Karin.” “Oke!” seru Karina. “daah ....” Dengan begitu, Karina pun memutuskan sambungan telepon. Axel tersenyum, menatap layar ponselnya. Sedetik kemudian, ponsel lelaki itu kembali bergetar. Ia mengerutkan dahi saat melihat nomor tak dikenal mengirimnya sebuah pesan. Sejurus kemudian Axel mendengkus sesaat dia merasa rugi telah membuka pesan tersebut. ‘Sampai kapan orang itu akan terus begini,’ gumam Axel di dalam hatinya. Ya, sudah sebulan belakangan ini, dia terus menerima sebuah pesan yang dikirimkan lewat pesan obrolan oleh nomor tak dikenal, tetapi Axel cukup tahu siapa yang mengirimkannya. Terkadang pesan itu berisi foto-foto mesra dari Rose dan mantan kekasihnya, dan terkadang juga sebuah pesan singkat dengan kalimat ancaman. “Hah ... dasar tidak waras!” gumam Axel. Ia segera menghapus pesan tersebut lalu melanjutkan langkah menghampiri Jared. “Hey, Dude!” Jared menyapa dengan suaranya yang terdengar berat. “Maafkan aku, Jared, tapi sepertinya aku tidak perlu menjelaskan bagaimana Karina padamu.” Mendengar ucapan Axel membuat Jared tergelak. “Of course she did,” ucapnya. “dia memang terlalu cerewet untuk ditenangkan.” Tampak Axel mengulum bibirnya lalu mengedikkan bahu. Ia tak mau berkomentar apa-apa soal kakak angkatnya itu. “Oh ya, Brah, I need some help.” Axel pun kembali mendongak menatap Jared. “Ya, tentu. Katakan saja,” ucapnya. “Aku kehabisan Red Jhony Walker di sini. Aku tidak bisa mengambilnya di gudang. Kau tahu-“ Jared mengedikkan kepala menunjuk orang-orang yang sedang mengantre di depan meja bar.” Axel yang melihatnya lalu mengedikkan alis. “Oh, sure,” ucapnya. “di mana kuncinya.” “Di kantong belakang,” ucap Jared sambil menunjuk saku belakang celananya. Axel pun melesat dan segera mengambil benda itu dari kantong belakang celana Jared. “Oke, I got it,” ucap Axel sambil menunjukkan kuncinya pada Jared. “Oke, aku mengandalkanmu,” kata Jared. Axel pun mengangguk. “Baiklah, aku akan kembali secepat mungkin,” ucapnya. Sekilas Axel menoleh pada gadis yang sedari tadi duduk menyendiri di sudut bar. Tampak gadis itu tengah disibukkan dengan laptopnya. Namun, semilir angin berembus dan berbisik pada Rose sehingga ia pun menggerakkan matanya. Rose tersenyum memandang Axel dan lelaki itu memberikan senyum yang sama, namun entah mengapa jantung Axel berkedut aneh dan membuatnya merasakan debar-debar di jantung. “Axe?” Panggilan itu membuat Axel menoleh. “Yes?” gumam lelaki itu. Sama sekali tak merasakan apa pun. Seketika Axel melupakan dunia. Jared yang melihatnya lalu mendesah. Ketika Axel memutar pandangannya, Jared pun mengedikkan kedua bahu, seketika membuat Axel membelalakkan matanya. “Astaga!” Lelaki itu langsung memutar tubuh dan berlari meninggalkan tempat itu. Rose yang melihatnya dari kejauhan lalu terkikik. Begitu Jared menatapnya dan mengedikkan sebelah mata, Rose pun semakin tergelak. Gadis itu menggelengkan kepala, menangkap sesuatu dari senyum jahil Jared. Rose kembali menundukkan kepala dan berfokus mengerjakan sinopsisnya. Sementara Axel berlari kencang menuju bagian belakang bar itu. Ada sebuah lorong yang panjang dan di ujung sana, terdapat sebuah pintu dan anak tangga yang akan membawa Axel ke gudang penyimpanan minuman. Namun, di tengah perjalanannya menuju ke sana, tiba-tiba saja seseorang muncul dan menghadang jalan Axel. Seketika langkah lelaki itu terhenti. Lelaki itu mengerutkan dahi sebelum mendongak. Mendapati wajah sangar seorang lelaki berparas Amerika. Axel refleks menarik wajahnya ke belakang. “Sorry, Sir, I think you entered the wrong room,” ucap Axel. “the bar is just up ahead.” Lanjut lelaki itu sambil menunjuk ke arah bar. Namun, lelaki itu tak menggubris. Dia malah tergelak di tempatnya. Seketika membuat Axel bingung. “I’m not comin’ to drink some s**t!” desisnya. Dengan polos Axel bertanya, “Lalu, apa yang Anda lakukan di sini?” Tak ada kata yang keluar dari mulut lelaki itu. Ekspresinya pun berubah. Wajah itu tampak mengencang dan menakutkan. Sesuatu terbesit dalam otak Axel dan menyuruhnya untuk cepat melangkah meninggalkan tempat itu. Maka Axel dengan cepat memutar tubuhnya. Namun, baru selangkah Axel menggoyangkan kakinya, tiba-tiba saja langkahnya sudah terhenti. Axel menelan saliva. Dirasakan lelaki itu ada gumpalan keras di tenggorokannya. “Oh s**t!” desis Axel. Berharap ia bisa melangkah dan berlari dari sana, akan tetapi lelaki yang berdiri di belakangnya itu langsung menarik kerah pakaian Axel dan membuat tubuhnya berputar. Tak menunggu lama bagi lelaki itu untuk mengayunkan tangan dan mendaratkan pukulan di wajah Axel. BUK Seketika tubuh lelaki itu terlempar lalu mendarat di lantai. Axel menutup kedua mata, merasakan nyeri yang dahsyat menjalar cepat di kepalanya. “s**t!” desis lelaki itu. Matanya tertutup dan berharap ia bisa sadar. Namun, rungunya kini dipenuhi bunyi berdengung. Axel merasa tubuhnya tak bisa digerakkan. Satu-satunya yang dilihat oleh Axel adalah wajah lelaki yang tadi memukulnya dengan telak. Juga suara basnya yang tertawa kuat. “Makanya, kalau masih anak-anak jangan coba-coba memikirkan urusan dewasa!” Itulah kalimat terakhir yang didengar oleh Axel sebelum kedua matanya tertutup dan ia kehilangan kesadaran.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN