1. PROLOG
Kehidupan sesungguhnya adalah sebuah proses. Takdir bekerja sesuai dengan porsinya. Memberikan apa yang pantas didapatkan manusia.
Dunia hanyalah sebuah tempat yang sederhana dan tak ada yang pasti dari perjalanan hidup.
Detik tak pernah berhenti berganti. Waktu terus berjalan. Seiring dengan bergantinya sinar mentari setiap pagi, menandakan jika kita masih memiliki satu hari lagi untuk dijalani.
Namun, bagaimana jika di setiap hari yang berganti, kau tidak bisa mengenal siapa dirimu.
Apa artinya mentari itu dan bagaimana kau bisa berada di bawah sinarnya.
Dirimu hanya seseorang yang mengenal mentari, tanpa bisa mengenali siapa kamu sesungguhnya.
Yang kau tahu, udara dan angin berguna untuk mengirimkan napas bagimu, tapi kau pun tidak tahu untuk apa kau bernapas.
Jadi, untuk semua ketidakjelasan ini, bisakah seseorang datang dan menggenggam tangan dia?
***
“Axel!” seru seorang gadis sembari mengayunkan tangannya ke udara.
Gadis itu memangil seorang pria bermata hazel dengan rambut blonde agak kriting. Pria yang sedari tadi hanya memandang laut di depannya. Sepertinya ia sudah seperti itu sejak dua jam yang lalu.
Ah, bukan.
Setiap hari dia memang seperti itu. Seolah-olah ingin mengadu dan bertanya pada lautan biru di depannya, siapa dirinya?
Axel?
Pria itu mengerutkan kening. Setiap kali mendengar nama itu, entah mengapa pikirannya seperti terisi penuh. Namun, bukan pada kenangannya di masa lalu. Ia masih tak mengingat apa pun selain terbangun di atas bangsal rumah sakit dengan kondisi memperihatinkan.
Sejauh ini, ia hanya bisa mengingat sepasang lesung pipi yang menjadi pemandangan pertamanya saat siuman di rumah sakit. Juga sepasang manik cokelat yang menyapanya dengan begitu ramah.
Tangan hangatnya yang selalu memegang tangan si pria bermata hazel. Mengeluarkannya dan menuntunnya dari ketidakberdayaan.
Sekarang, dengan kedua kakinya ia bisa berdiri. Sudut bibir pria bermata hazel itu mulai terangkat membentuk senyum. Tangan pria itu juga bergerak naik. Ia pun melambaikan tangannya.
“Rose!” seru lelaki itu. Kedua kakinya mulai bergerak. Berlari menghampiri si gadis yang telah selama tiga tahun lebih ini menjadi temannya berbagi.
Rose mengedikkan kepalanya. “Ayo!” serunya sambil menggil Axel dengan tangannya.
Senyum semakin lebar di wajah pria bermata hazel itu ketika jaraknya dengan sang wanita tinggal beberapa inci. Ia pun tak sabar meraih tangan Rose yang sejak tadi terjulur menantikannya.
“Kita mau ke mana?” tanya pria itu.
“Tempat biasa.”
Senyum di wajah pria bermata hazel makin melebar. Mendadak dadanya berdebar-debar. Tempat biasa. Ia tentu tahu di mana tempat itu berada. Sebuah lokasi untuk memadu kasih.
“Kau siap?” tanya Rose.
Sambil mengulum senyum Axel pun bergumam, “Hem.” Dia menganggukkan kepala.
Rose juga tak mau memudarkan senyumnya. Gadis itu menarik tangan Axel. Membawa pergi diri pria itu dari pesisir pantai Nyang Nyang ini.
Hamparan ombak yang menabrak hingga ke daratan memberikan efek samping sendiri bagi dua orang pasangan muda itu. Angin yang bertiup seolah mengirim adrenalin.
Ya. Sudah waktunya. Waktu untuk memadu kasih.
Di sebuah desa kecil bernama Pecatu. Terletak di Kabupaten Badung, Kuta – Bali. Seorang lelaki bernama Axel akan mencoba mengingat siapa dirinya sebenarnya.
Apa yang telah terjadi hingga ia tak bisa mengingat apa pun.
Axel hanya tidak tahu jika sebenarnya dia anak dari seorang miliarder kaya raya yang kini masih mendekap di penjara.
Axel tidak tahu kalau sebenarnya di dalam darahnya mengalir deras nama Van Der Lyn.
Namun, semua itu seolah terlupakan oleh karena pesona pantai beserta kisah cintanya dengan seorang gadis bernama Rose Natelie.
Mampukah cintanya memberikan ingatan bagi dirinya untuk bisa kembali?
_________________________________
KISAH DIMULAI DARI SEBUAH TRAGEDI.