38. Mutiara Yang Dibuang Kepada Pengemis

2051 Kata
Seperti hari-hari sebelumnya. Axel selalu datang di sebuah tempat di mana Rose tinggal. Sebuah panti sosial yang dikelola oleh gereja setempat juga sebuah yayasan peduli kasih. Di sanalah Rose dibesarkan, bersama beberapa anak yang mengalami nasib yang sama dengan dirinya. Setiap jam sepuluh pagi, Axel selalu berdiri di sudut depan sebuah kelas. Sudut bibirnya terangkat memerhatikan seorang gadis muda yang sedang berdiri di depan anak-anak kecil dan mengajar di sana. Oh, sungguh Rose tampak begitu anggun dan sabar memberikan ilmu kepada anak-anak kecil itu. “And E for Elephant. Say what?” “Elephant!” Axel tergelak mendengar teriakan anak-anak itu. Wajah Rose tampak berseri-seri. Setidaknya tak seperti beberapa hari yang lalu di mana Axel mendapati gadis itu terus melamun dengan wajah murung. Keceriaan Rose telah kembali dan semua itu membuat Axel bergembira di dalam hatinya. “Hey!” Axel menoleh saat seorang bocah lelaki memanggilnya dengan nada menyentak. Sedikit membuat Axel terkejut. “Om punya permen, gak?” Sungguh, Axel memang sudah lama berada di Indonesia. Sudah banyak bahasa yang dia kuasai, tetapi yang satu ini dia tidak mengerti. “Ap- apa?” tanya Axel terbata-bata. “Permen,” ucap bocah lelaki itu sambil mendorong kepalan tangannya ke mulut. “Oh ...,” gumam Axel. “are you want a candy?” tanya Axel. Bocah lelaki itu mengangguk. “tapi, aku tidak punya Candy.” Lanjut Axel. “Yah ....” Bocah lelaki itu mendesah kecewa. “ya udah, bagi duit aja, sini.” Axel kembali mengerutkan dahinya saat bocah lelaki itu memetik jari di depan wajahnya. “What?” tanya Axel. “Fulus, fulus,” ucap bocah lelaki itu, kini sambil mengedikkan kedua alisnya. Axel yang polos itu hanya menggelengkan kepala sambil mengedikkan bahunya. “Aku tidak mengerti,” ucap Axel. “Halah!” Bocah lelaki itu berdecak bibir. “payah!” gerutunya. Sementara Axel hanya bisa mengerutkan dahi, menatap lelaki muda di depannya. “Barly!” Suara bariton berat seorang pria dewasa lantas membuat Axel refleks menoleh. Seorang lelaki dalam balutan jas kasual tampak berjalan pelang menuju ke arahnya. “Om Dany!” Axel kembali memutar pandangan. Mengerutkan kening memandang si lelaki yang namanya baru saja dipanggil. Lelaki itu tersenyum sebelum merendahkan tubuh untuk bisa sejajar dengan bocah muda yang berseru dengan suara nyaring tadi. “Ini buat kamu,” kata Dany sambil menyerahkan selembar uang kepada bocah di depannya. Seketika bocah itu membulatkan mata. Maniknya pun berbinar, menatap selembar pecahan lima puluh ribu di depannya. “Wah ... ini mah kebanyakan buat beli permen, om!” Dany terkekeh lantas mengusa puncak kepala bocah itu. “Gak apa-apa, sisanya bisa kamu tabung, atau kamu beliin juga buat teman-teman kamu,” ujar Dany. Dengan wajah berseri-seri, bocah lelaki itu pun berucap dengan lantang, “Makasih banyak, om!” Dany masih tersenyum saat ia menganggukkan kepala. Bocah lelaki bernama Barly itu kemudian memutar tubuh dan melesat meninggalkan tempat itu. “Hah ....” Embusan napas panjang itu menggema ketika Dany menarik tubuhnya dan kembali berdiri. Lelaki itu pun menoleh ke samping. Senyumnya masih sama menatap Axel. “That’s how you persuade children,” kata Dany. Axel memerengut bibir, tampak tak mau menanggapi. Dia pun memutar wajah dan kembali menatap Rose yang masih asyik dengan anak-anak. “She’s cute, hah?” Pertanyaan itu lantas membuat Axel mengerutkan dahi. Pemuda tampan itu kembali memutar pandangannya. Dany mengedikkan alis menunjuk ke dalam kelas. “Rose lulusan terbaik di kampusnya. Dia mahir berbahasa asing bahkan ketika dia tidak mengambil jurusan tersebut. Rose belajar bahasa asing secara otodidak. Dia sangat pintar sejak dulu,” ujar Dany. Axel kembali memerengut bibir dan tak ingin menanggapi. Sekali lagi dia menatap Rose. Kali ini gadis itu mengajak anak-anak bernyanyi dan dia sungguh menggemaskan. Axel tak bisa menahan senyum di wajahnya. “Well, mungkin kamu ingin bertanya dari mana aku mengetahui semua itu.” “Aku tidak ingin mengetahuinya,” ucap Axel. Dia menoleh ke samping, menatap Dany lewat sudut matanya. “aku tak perlu mengetahuinya.” Lanjut Axel dengan nada menekan. Dany tertawa sinis lantas memutar bola mata. Axel terlalu tidak ingin menanggapi lelaki itu. Insting telah berbisik bahwa lelaki ini mungkin punya hubungan dengan Rose. Axel pernah sekali melihat lelaki ini bersama Rose. Malam setelah pemakaman Catherine. Dia datang, tetapi Rose tak ingin menggubrisnya. Axel juga tak perlu bertanya pada Rose, karena firasatnya sudah berkata bahwa lelaki ini pernah punya hubungan khusus dengan Rose. “Well, kurasa itu terlalu sarkastik,” ucap Dany. Ia pun melangkah lalu berdiri tepat di depan Axel. Pemuda berambut ikal cokelat itu terkekeh. “Man ... do you have a problem?” tanya Axel. Dia juga tak tahu dari mana keberanian itu. Entah apa yang terjadi hingga jantungnya berdetak meningkat. Tampak sudut bibir Dany terangkat membentuk seringai. “Obviously,” gumam Dany. Lelaki itu mengambil langkah dan dengan sengaja mengentak kakinya saat tiba di depan tubuh Axel. “My problem is you!” tunjuk Dany tepat di depan d**a Axel. Pemuda bermata hazel itu menanggapinya dengan santai. Sesantai ia menolehkan pandangannya ke bawah. Axel pun memberengut bibirnya. “Me?” tanya Axel dengan singkat. Dany pun mengedikkan kepala dan bahunya bersamaan. “Yes, you!” tandasnya.                                                                                                                                     Mendengar jawaban itu membuat Axel tergelak hingga ia pun mendongakkan wajah. “Astaga ...,” gumam lelaki muda itu. “aku bahkan tak mengenalmu, Bung!” Dany kembali mendecih. “Aku tak ingin basa-basi denganmu, bocah.” Axel tergelak, lantas mencondongkan wajahnya. “Bocah?” ulang lelaki itu. “Ya, bocah.” Dany maju selangkah. Mengeksekusi jarak sambil menatap Axel dengan tatapan tajam. “stay away from Rose.” Axel kembali dibuat tergelak hingga ia memutar wajah. “Menjauh, katamu?” Axel menggeleng. Dirasakan lelaki itu, jantungnya berdetak meningkat seiring sesuatu dalam diri yang memicu emosinya. Lelaki muda itu tak kalah memberikan tatapan menantang. Axel menaruh kedua tangannya di dalam saku jaket base ball berlogo Amerika tersebut, kemudian mengentak napasnya sebelum mengambil langkah. Axel mengeliminasi semua jarak yang tersisa. Sesuatu berbisik jelas di tubuhnya hingga membuat lelaki itu mengencangkan rahangnya. Pun tatapan sepasang manik hazel itu berubah tajam, sinis dan penuh peringatan. “Bagaimana jika aku tidak mau?” Sungguh, suara lelaki muda itu terdengar begitu jantan. Ada sebuah perasaan aneh yang kemudian menggelenyar di sekujur tubuhnya. Memacu adrenalin hingga membuat jantungnya bertalu dengan kencang. Entah Axel sadar atau tidak, sekarang napasnya berembus dua kali lebih cepat dari biasanya. Mengentak, memburu. Timbul pemikiran aneh yang menyuruh Axel untuk melawan. Seakan-akan berdiam seekor singa di dalam dirinya, yang meraung dengan penuh peringatan. “Bagaimana jika aku tidak mau menjauh dari, Rose, hah? Apa yang akan terjadi.” Untuk sekejap, Dany merasakan bulu kuduknya bangkit. Membuatnya merinding, tetapi lelaki itu bersikeras untuk menguatkan dirinya. Ada sesuatu yang mengerikan sekilas dilihat Dany dari cara Axel menatapnya. Dan entah mengapa, hal itu membuat nyalinya sempat menciut. Namun, Dany tak ingin terlihat lemah, sehingga ia pun memilih untuk terkekeh. Tak berselang lama, Dany mulai mengangkat dagunya. “Hah!” Sekali lagi pria itu terkekeh. “kau pikir kau pantas untuk Rose, hah?” Axel mengedikkan bahu lalu menyeringai. Sekarang jelaslah apa yang diinginkan oleh lelaki di depannya. “Dan kamu pikir kamu pantas?” balas Axel bertanya. Sungguh, semakin lama menatap sepasang manik hazel itu, malah semakin membuat Dany merinding. Namun, sekali lagi pria itu tak mau kelihatan lemah sehingga ia kembali terkekeh. “Tentu saja,” ucap Dany dengan begitu percaya diri, sontak membuat Axel mendecih sinis. “Oh ya?” tantang lelaki itu. “Ya!” tandas Dany. “aku seorang pria mapan. Punya pekerjaan, punya masa depan. Aku sudah memiliki penghasilan lima ribu dolar per bulan. Aku bisa memenuhi seluruh kebutuhan, Rose. Oh ya, salah. Aku sudah memenuhi seluruh kebutuhan kehidupan Rose,” ujar Dany. Axel mengerutkan dahi. Begitu bingung dengan ucapan lelaki di depannya. Ekspresi Axel tentu membuat Dany tergelak. “Oh, jadi kamu belum tahu, ya?” Dany semakin mendekat. Ia pun mengentak kedua sisi jasnya lalu menatap Axel dengan pandangan menantang. “keluargaku yang membiayai kehidupan Rose. Kami sudah jadi sejoli sejak kecil dan sampai detik ini dia masih menyimpan namaku di hatinya.” “Pffft!” ucapan itu sontak membuat Axel terkekeh. Ia pun menutup mulut dan memalingkan wajahnya. “Oh, man ... I’m sorry,” kata Axel sambil mengayunkan tangannya di depan d**a, menunjuk ke arah Dany. “ucapanmu benar-benar menggelitik telingaku.” “Begitukah?” sinis Dany. Sambil menahan gelak tawa, Axel pun menganggukkan kepalanya. “Ya, tentu,” ucap lelaki muda itu. “kamu seolah-olah ingin bilang bahwa Rose adalah milikmu karena sejak dulu keluargamu telah membantunya itulah sebabnya satu-satunya orang yang pantas untuk Rose hanyalah dirimu. Tapi apakah kamu tahu?” Axel memicingkan mata lalu sedikit mencondongkan wajahnya ke depan. “Rose bukan sesuatu yang pantas dimiliki oleh orang-orang. Tidak termasuk kamu,” tunjuk Axel ke d**a Dany. “maupun aku!” Lanjutnya. “Because you know what?” tanya Axel. Entah mengapa Dany membisu tak dapat membantah. Sungguh, pandangan itu seperti memusnahkan seluruh keberaniannya dan memaksa mulut Dany untuk tetap bungkam. “Karena wanita itu bisa berpijak pada kedua kakinya sendiri. Sekalipun keluargamu berjasa atas kehidupan Rose, itu bukan berarti kalian berhak membeli kebebasannya. Rose adalah Rose dan dirinya adalah miliknya. Kamu tak berhak mengatur siapa yang pantas mendekati Rose. Oh ya, satu lagi,” Axel semakin berani. Kali ini ia mendorong dagunya ke atas. Postur tubuhnya yang tinggi itu membuat dia tampak gagah dan berani. “Aku tidak tahu sebagaimana dekat kamu dengan Rose sebelum ini. Aku juga tak peduli dengan hubungan kalian. Aku juga tak peduli dengan seberapa banyak harta kekayaanmu, karena nyatanya, kamu sudah melukai hati Rose,” ujar Axel. Tampak kedua sisi kening Dany berkedut kemudian melengkung ke tengah. Axel tergelak. Sekilas memalingkan wajah, lalu datang dengan tatapan penuh teror. “Hey, Bung, seberapa mapan dirimu, tetapi jika kamu tak bisa menjaga wanitamu dengan baik, maka dia akan memilih seseorang yang tak punya apa-apa, tetapi bisa memenuhi semua keinginannya.” Axel menyeringai. Ada satu dorongan dalam dirinya yang semakin membuat lelaki itu berani hingga ia mendorong wajahnya lalu berhenti di sisi wajah Dany. “Aku tidak ingin mengatakan ini, tapi, kau tahu ... kami tinggal serumah di Bali.” DEG Seketika jantung Dany berhenti berdetak selama beberapa detik. Pun sesuatu seperti mencelos perih dari dalam hatinya. Lewat sudut matanya, Dany melihat cara Axel tersenyum miring sambil menarik wajahnya dan berdiri tegap. “Well, I don’t have to tell you, what my relationship with your ex-“ Axel kembali menunda ucapannya dengan memasang seringai. “karena bagiku semua itu tidak penting. Masa lalu hanyalah masa lalu. Dan ... sepertinya aku harus berterima kasih padamu,” kata Axel. Dia kembali menelengkan wajahnya ke kanan dan semakin menarik sudut bibirnya ke atas sebelum kembali berucap, “Terima kasih sudah melukai Rose. Jika tidak begitu, dia mungkin tak akan ke Bali. Eum ... takdir benar-benar indah,” kata Axel. Dia mendesah dan membawa pandangannya ke atas. “Hem ... tak ada yang bisa menebak bahwa seseorang yang membuang mutiara demi krikil di jalanan bisa menjadi hadiah terindah untuk seorang pengemis,” ujar Axel. Dia tak berhenti menyeringai. Sementara Dany terdiam di tempatnya. Membisu dan terdiam kaku. Axel pun melangkah. Tiba di samping tubuh Dany, dia pun menepuk pundak lelaki itu hingga membuat Dany tersentak. Segera Dany membawa tatapannya ke samping. Menatap Axel dengan pandangan sinis. “Uangmu tak bisa membeli, Rose,” ucap Axel sekali lagi. “tapi terima kasih sudah menyakitinya. Secara tidak langsung, kamu sudah membantuku menemukan tujuan hidupku dan perlu kau tahu,” Axel kembali mendekat untuk berbisik di depan telinga Dany, “ancamanmu tak akan berlalu untukku. Aku tak bisa menjauh dari Rose, karena ... kami ditakdirkan untuk bersama.” Didengar Dany, seringai licik di wajah bocah lelaki di sampingnya. Namun, entah apa yang terjadi pada Dany hingga ia tak bisa menyangkal secuil perkataan dari lelaki berparas Amerika tersebut. Semilir angin berembus ke sisi wajah Dany saat Axel mengayunkan kaki dan melangkah dari tempat itu. Senyum menghiasi wajah Axel. Sungguh, menonton serial TV Amerika benar-benar sangat membantu. Jantung Axel masih bertalu dengan kencang. Dia sungguh tak menyangka jika dia bisa seberani itu. Kata-kata yang dia ucapkan tadi seperti datang dari hati. Bersyukur karena ia banyak belajar cara berekspresi dari serial TV. Semua itu digunakannya dan sukses mengintimidasi Dany. Axel pun tersenyum penuh kemenangan. ‘Oh God, terima kasih sudah menolongku,’ batin Axel.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN