“Ayolah ... baru tiga sendok, Ibu sudah menyerah saja. Ingat, kata perawat Ibu harus menghabiskannya.”
Catherine mengernyit memandang semangkuk bubur gandum bersama beberapa tambahan pelengkap yang tentunya penuh gizi.
“Ah, sudahlah! Aku tidak biasa makan bubur,” keluh Catherine. Sontak membuat Rose tergalak.
“Astaga! Bukankah Ibu yang selalu mengancam kami dulu. Ibu memaksa kami menghabiskan bubur gandum di pagi hari. Sekarang baru aku tahu kalau ternyata Ibu Kepala tak menyukai bubur gandum.” Rose menutup ucapannya dengan nada tergelak.
Sementara Catherine mendengkus lalu memalingkan wajah. “Rose, kapan aku akan kembali ke asrama. Apa mereka benar-benar sudah mengusirku?”
Rose mendesah hingga kedua bahunya merosot. “Bukan begitu, Ibu, tetapi Ibu masih harus melakukan beberapa pemeriksaan.”
Catherine mendesah berat dari mulutnya. “Sungguh, Rose, aku sangat lelah. Aku tidak ingin menjalani kemoterapi, itu menyakitkan. Aku lebih memilih untuk mati.”
“Hush!” Rose pun melotot. “jangan bicara seperti itu.” Rose berdecak bibir.
“Aku lelah!” sangkal Catherine.
“Ja-“ Ucapan Rose terhenti sewaktu mendengar suara ketukan pintu. Secara alamiah, Rose dan Catherine pun memalingkan wajah mereka.
Tampak sepasang suami istri berdiri di ambang pintu. Untuk sekejap, Rose terdiam lalu otaknya berpikir cepat memberinya perintah dan membuat Rose bangkit dari tempat duduknya.
“Selamat pagi,” sapa si pria berparas Amerika dalam balutan jas kasual. Di samping lelaki itu, ada seorang wanita berpenampilan elegan nan anggun.
Melihat kedatangan pasangan suami istri itu lantas membuat Catherine hendak bangkit dari tidurnya.
“Astaga! Tuan dan Nyonya Harvy.”
Atensi Rose yang tadinya tertuju pada pasangan suami istri itu lalu berpindah dengan cepat. Gadis itu pun membulatkan matanya sewaktu melihat usaha Catherine yang tengah menggerakkan tubuhnya untuk bangkit dan mencoba duduk di atas bangsal.
“Ibu!” Gadis itu pun bertindak untuk membantu Catherine. Sementara wanita itu tersenyum, seakan semua ini tampak begitu mudah baginya.
Catherine pun mengangguk sambil mengayunkan tangannya di depan d**a. “Tak apa, Rose, aku masih punya tenaga. Tak perlu khawatir,” ujar Catherine. Rose pun mendengkus.
“Tindakan Rose benar,” ujar wanita berpakaian elegan tersebut. Sambil menahan tubuh Catherine, Rose pun memalingkan wajah menatap nyonya Harvy. “Ibu Kepala, Anda juga tak perlu repot-repot berdiri.” Lanjutnya.
Mendengar ucapan itu membuat Rose mengangguk secara alamiah. Dia pun kembali memutar pandangannya menata Catherine. Namun, ada sesuatu yang ditangkap oleh sudut mata Rose dan membuatnya terbelalak di tempat.
“Oh, Dany!”
Memanggil nama si lelaki yang baru saja masuk ke dalam ruangan itu membuat wajah Catherine berubah semringah.
Lelaki itu pun menarik sudut bibirnya ke atas, memberikan senyum kepada wanita yang baru saja menyapanya.
“Hai, Ibu Kepala,” sapanya.
Dirasa Rose, ada semilir angin yang berembus menerpa sebelah wajahnya. Tepat saat itu juga, lelaki yang baru saja masuk itu menghampiri Catherine lantas meraih tangan Catherine.
Sambil memalingkan wajahnya, Rose pun mengambil langkah ke belakang untuk memberikan ruang bagi lelaki di sampingnya.
“Bagaimana keadaan Anda, Ibu Kepala?” tanya Dany dengan suaranya yang lembut.
Sungguh, entah apa yang terjadi hingga Rose merasa kesal di dalam hatinya. Mengingat lelaki yang berdiri di depannya itu adalah mantan kekasihnya yang meninggalkan Rose demi wanita lain. Tanpa sadar, Rose pun dibuat mendengkus.
“Aku baik-baik saja, Dany, tetapi mereka mengurungku di tempat ini.”
Mendengar ucapan Catherine lantas membuat Dany dan kedua orang tuanya terkekeh rendah. Namun, masih saja mereka menatap Catherine dengan pandangan iba dan Catherine bisa merasakannya.
“Bukan mengurung, Ibu Kepala, para suster hanya ingin yang terbaik untuk Anda,” ucap wanita yang adalah ibu Dany.
Sekilas lelaki itu menoleh ke samping pada ibunya lalu ia kembali menatap Catherine dengan senyum yang menyungging di wajahnya.
“Ya, itu benar. Aku percaya, sebentar lagi Anda pasti akan kembali ke asrama. Semua orang sudah merindukan Anda,” tutur lelaki itu dengan ramah.
Dia sukses membuat Catherine tersenyum. “Oh, terima kasih, Dany,” ucap Catherine. Dany pun tersenyum lalu menganggukkan kepalanya.
Merasa situasi mulai canggung membuat otak Rose sibuk mencari alasan apa yang hendak dia gunakan untuk bisa keluar dari situasi ini. Maka gadis itu memberanikan diri untuk menatap Catherine. Bertepatan saat Catherine menoleh pada putri angkatnya itu.
“Oh ya, Dany, apa kamu tahu bahwa Rose bekerja di Bali sekarang?”
Pertanyaan Catherine sontak membuat Dany membulatkan matanya, tapi tak begitu terkejut dengan Rose yang kini terbelalak.
“Bukan begitu, Rose?” Catherine dengan polos menoleh pada Rose.
Dengan wajah terkejut itu, Rose terpaksa harus menyunggingkan senyum. Dia pun langsung menganggukkan kepala.
“Oh, itu kabar baik, Rose,” kata nyonya Harvy.
Rose pun memutar pandangan kepada wanita itu dan dia memberikan senyum kaku. “Oh ya, aku lupa. Tadi perawat menyuruhku menemuinya setelah menyuapi Ibu Cathy. Aku harus mengambil obat untuknya,” ujar Rose.
Gadis itu mendesah berat dan seketika wajahnya memerah. Ini benar-benar situasi yang canggung. Dorongan itu semakin kuat menyuruh Rose untuk bergegas keluar dari situasi ini dan semuanya benar-benar semakin terasa canggung.
Maka Rose bergegas memutar tubuh. “Permisi,” ucapnya. Sekilas menatap tuan dan nyonya Harvy sebelum benar-benar pergi dari ruangan itu.
Sementara Dany kembali menatap Catherine. “Aku akan kembali, Ibu Kepala,” ucapnya singkat.
Ada sesuatu yang ditangkap oleh Catherine dan membuat hatinya berkedut. Wanita itu lalu menganggukkan kepalanya.
“Hem,” gumam Catherine.
Maka Dany segera memutar tubuh. Dia pun mengangguk seakan memberi syarat kepada kedua orang tuanya. Sang ayah memberikan anggukkan kepala, menyetujui apa pun yang akan dilakukan oleh Dany.
“Rose!” seru Dany.
Lelaki itu berlari, berusaha menggapai Rose dengan tangannya yang telah terulur.
“Rose!”
Usahanya berhasil membuat tubuh Rose terhenti. Tampak gadis itu menutup kedua matanya lalu berdecak kesal sambil mendongakkan wajah.
“Rose,” panggil Dany. Pun napasnya berembus dengan berat. Menerpa wajah Rose saat dia memutar tubuh dan berhenti tepat di depan tubuh Rose.
“Rose, kita harus bicara,” kata Dany.
Seketika Rose membuka mata. Memberikan tatapan tidak senang kepada lelaki di depannya.
“Bicara?!” ulang Rose dengan nada menekan. Dany kembali mendesah berat sebelum ia menganggukkan kepala.
“Ya,” jawab lelaki itu.
Mendengar jawaban dari Dany membuat Rose memalingkan wajah sambil melepaskan decihan halus.
“Rose, aku tahu jika aku telah membuat kesalahan. Aku minta maaf. Aku-“ Ucapan Dany terhenti sewaktu Rose memutar wajah, sekaligus memberikan tatapan penuh teror padanya.
“Maaf, katamu?” tanya Rose dengan intonasi rendah, tetapi tidak dengan matanya yang mendadak berubah nyalang menatap Dany.
Terdengar desahan napas yang menggema keluar dari mulut Dany. Tatapannya pun berubah, menatap Rose dengan mata memelas.
“Ya, Rose, aku minta maaf soal kejadian waktu itu,” ujar Dany. Dia pun kembali mendesah.
Tampak mulut Rose megap-megap. Pun kelopak matanya bergerak-gerak gelisah, memandangi pria di depannya.
Jantung Rose berdetak cepat bersama emosi yang mulai tersulut kini bersarang dalam kepalanya, gadis itu pun memilih untuk memalingkan wajahnya.
“f**k!” maki Rose. Tangan kanannya bergerak cepat mengusap dahi hingga rambutnya dengan kasar.
Sementara lelaki di depan Rose itu ikut mendesah. “Rose, sungguh. Aku tidak bermaksud untuk melukaimu. Malam itu aku benar-benar-“ Ucapan Dany sontak terhenti ketika Rose memalingkan wajahnya menatap lelaki itu kini.
Untuk sekelebat, Rose terdiam memandangi wajah Dany lalu sejurus kemudian gadis itu terkekeh sinis.
“Tidak bermaksud katamu?!” Rose pun menaikkan nadanya. Lalu gadis itu tergelak ironi. “Dany, aku tidak tahu apa maksudmu berkata seperti itu. Sungguh, kamu terdengar seperti seseorang yang tak bisa bertutur kata dengan baik.” Rose pun menggelengkan kepala sambil terus tertawa sinis.
Sementara Dany menanggapinya dengan desahan berat. Sejenak lelaki itu menelengkan wajahnya ke samping, lalu kembali menatap Rose dengan pandangan semakin iba.
“Rose, sungguh. Aku minta maaf. Aku sudah menyakiti hatimu dan mungkin kamu masih memikirkan soal kita.”
Rose kembali tergelak, pun kedua matanya melebar, memandang Dany dengan wajah tercengang. “Apa katamu?!” sinis Rose. “Hey, kamu pikir dirimu itu sebagaimana bagus hingga aku masih memikirkanmu, hah?”
“Rose a-“
“Aku sudah melupakanmu, Dany, asal kau tahu itu!” tandas Rose. Wajahnya berubah menjadi merah padam dan satu keinginan Rose saat ini hanyalah meludahi wajah Dany.
“Rose, kita bisa bicarakan ini baik-baik. Aku juga tak begitu serius dengan Misela.”
Mendengar ucapan itu membuat Rose terkekeh sinis. Sejurus kemudian dia mendecih sinis. Mata Rose yang membulat itu tiada henti memberikan pandangan nyalang pada Dany.
“Demi Tuhan, ucapanmu benar-benar membuatku jijik, Dany. Cuh!” Rose tak ragu untuk memalingkan wajah dan meludah, tanda tak sudi.
“Rose, please.”
Tangan Dany terulur meraih lengan Rose dan tentu saja gadis itu dengan cepat bergerak menepis tangan Dany.
“Rose, kita masih bisa memperbaikinya,” ucap Dany.
Untuk ke sekian kalinya Rose tergelak. “Astaga ...,” gumamnya. Dia masih menggeleng, memandang Dany dengan pandangan tak sudi. “demi apa pun, kamu baru saja membuatku bersyukur telah mengakhiri hubungan denganmu, Dany!”
Saat Dany kembali menggerakkan tangannya hendak meraih lengan Rose, dengan cepat Rose menjauh dari lelaki itu.
Ditatapnya wajah Dany dengan pandangan dipenuhi amarah hingga tanpa sadar, kedua rahangnya telah mengencang.
“Hubungan kita sudah berakhir, Dany,” ucap Rose.
“Tidak, Rose, kamu masih mencintaiku. Aku juga sama. Kita masih bisa memperbaiki semua ini.”
Rose tergelak sinis. “Perbaiki katamu?” Sambil memandang Dany dengan tatapan keras, Rose pun memberanikan diri untuk mengambil langkah, menghampiri lelaki di depannya.
“Bagaikan benang yang telah putus, tak bisa disatukan kembali. Hubungan kita telah berakhir, Dany, dan sekarang kamu memperjelas semuanya. Mungkin memang ada baiknya aku memergoki kalian saat itu. Ucapanmu tadi membuatku tak sengaja berpikir sudah sejak kapan kamu melakukannya di belakangku.”
“Rose, aku mohon. Kita-“ Ucapan Dany kembali terhenti ketika Rose dengan berani mengancungkan telunjuk di depan wajahnya.
“We’re done!” desis Rose.
Tidak ada yang perlu ditunggu. Rose langsung memutar tubuh. Yang tertinggal hanyalah tatapan sinis pun napas Rose yang mengentak dengan kuat. Semilir angin pun membantu Rose memutar tubuhnya.
“Rose!” seru Dany. “we have a history.” Lanjutnya.
Sambil berjalan Rose tergelak. Ia pun mengacungkan jari tengahnya ke udara. “Screw you!” makinya dari jauh.
Dany tak ingin tinggal diam. Dia berniat mengejar Rose dan kembali menangkap tangan Rose. Dengan cepat lelaki itu memutar tubuh mungil Rose.
“What the hell!” Sekejap Rose memandang tangannya yang berada dalam cengkeraman Dany lalu dengan cepat gadis itu mendongak, pun melotot kepada Dany.
“Are you out of your mind?!” pekik gadis itu.
Dany menggelengkan kepalanya. “Rose, kamu tidak bisa begini padaku, Rose. Jangan lupa kalau kamu dan Catherine berhutang budi pada keluarga kami.”
Seketika mulut Rose menganga. Manik cokelatnya melebar, memandang Dany dengan pandangan terkejut.
“Really?!” Rose masih memerhatikan wajah Dany. Lelaki itu pun mendengkus lalu memalingkan wajahnya.
“Maaf, Rose, kamu membuatku mengungkitnya.”
Mendengar ucapan itu membuat Rose terkekeh sinis. “For the saken of God, Dany!” Dengan satu tangannya Rose menyibakkan helaian rambut yang jatuh ke wajahnya.
“Kamu benar-benar mengungkit semua itu?”
“Rose! Kamu harus kembali padaku!” tuntut Dany. “bukankah kamu sudah berjanji akan bersamaku?”
Rose semakin tergelak. “Demi apa, Dany, apakah kamu masih Daniel Harvy yang kukenal? Kamu benar-benar sangat menjijikkan dengan ucapanmu itu!” Rose mengakhirnya dengan gelak tawa yang sarat akan sindiran.
Tampak Dany menghela napas lalu mengembuskannya dengan cepat. “Kamu tidak membuatku mendapatkan pilihan lain, Rose. Aku menginginkanmu dan kita sudah bersama sejak dulu,” ujar Dany tanpa merasa berdosa sekalipun.
Sungguh, ucapan mantan kekasihnya itu semakin membuat Rose tergelak ironi. “Ya Tuhan, Dany, kuharap kamu sadar saat mengucapkan hal itu.”
“Aku sadar, Rose,” sangkal Dany dengan cepat.
Maka Rose pun mengubah ekspresi di wajahnya menjadi serius. “Kalau begitu kamu cukup sadar untuk mengingat penyebab aku tak mau lagi padamu!” Rose juga tak mau kalah.
Dany terdiam. Tampak lelaki itu menghela napas, lalu mengembuskannya dengan entakkan kuat. “Ya, aku sadar, tapi kumohon berikan aku satu kesempatan. Kamu juga membutuhkan aku, Rose. Kondisi Catherine sangat memprihatinkan dan aku yakin kamu tidak punya cukup uang untuk membiayai perawatannya.”
Rose semakin terkejut mendengar ucapan Dany. “Ya Tuhan ...,” gumam Rose. Dia pun melayangkan tangan kanannya ke arah wajah Dany sambil terus melotot pada lelaki itu.
“Jadi kamu mengancamku sekarang?!”
Sekali lagi Dany mendesah. “Aku tidak mengancammu, Rose. Aku hanya ingin membuatmu mengerti.”
Maka Rose mengerahkan kekuatannya untuk menepis tangan Dany. “Aku tidak butuh bantuanmu!” tandas Rose. Dia sedang malas berdebat dan memilih untuk melangkah.
“Jika kamu pergi, aku akan menyuruh ayahku mencabut donasi di yayasan.”
Mendengar ucapan itu membuat Rose tergelak sekali lagi. “Lalukan!” desisnya. Gadis itu menggerakkan kepala, menatap Dany dari sudut matanya. “lagi pula kami tak butuh donasi dari orang-orang toxic seperti kalian.”
Dany melotot. “Toxic katamu!” pekiknya tak terima.
Rose membalasnya dengan tawa sinis. “Well, Dany, aku selalu ingat kata Catherine bahwa yayasan hanya menerima donasi dari dermawan yang punya hati tulus. Kurasa keluargamu sudah keluar dari kriteria tersebut, maka jika kamu meminta ayahmu mencabut donasi, aku rasa Catherine tak akan keberatan dan aku pun akan berucap terima kasih padamu.”
Gadis itu pun tak tahu dari mana dia mendapatkan kekuatan untuk bisa berkata-kata seperti itu kepada Dany, tetapi demi apa pun, Rose benar-benar sedang berusaha menahan luapan amarah yang mulai mengacaukan akal sehatnya.
Kondisi Catherine memang memprihatinkan, tetapi di sisi lain Rose juga tak mau dirinya dimanfaatkan oleh Dany.
Dengan berani, Rose kembali melangkah, meninggalkan Dany dengan wajah yang perlahan berubah tegas.
Lelaki itu memandang punggung Rose dengan pandangan tajam. Napasnya berembus cepat dan kasar.
“Rose, kamu tidak bisa lari dariku,” desis Dany.