29. The Reason for Stronger

3203 Kata
“Menyebalkan!” desis Rose. Kedua tangannya meremas pinggiran wastafel, sementara wajahnya memandang penuh amarah pada bayangan di depannya. Dada Rose naik turun, pun hidungnya kembang kempis melepaskan napas yang bergemuruh. Sungguh, Dany benar-benar mengaduk-aduk akal sehatnya. Rose benar-benar tak menyangka jika selama ini dia menjalin hubungan dengan seseorang yang mengerikan. Bagaimana dalam sehari Dany menunjukkan sifat aslinya, padahal mereka sudah bersama selama bertahun-tahun. “Cih!” Rose tak berhenti merutuki dirinya sendiri. Sungguh, jika Rose pernah bersedih karena berpisah dengan lelaki itu, maka kali ini dia mengasihani dirinya sendiri sebab telah menjalin hubungan dengan seseorang yang licik seperti Dany. “Ya, aku sadar, tapi kumohon berikan aku satu kesempatan. Kamu juga membutuhkan aku, Rose. Kondisi Catherine sangat memprihatinkan dan aku yakin kamu tidak punya cukup uang untuk membiayai perawatannya.” “Sial!” Rose kembali mendesis. Kelebat percakapannya dengan Dany kembali membubuhi pikirannya. Demi apa pun, Rose benar-benar tak ingin percaya jika kalimat-kalimat itu keluar dari bibir Dany. Jika pun boleh memohon, Rose tak mau sebenci itu kepada mantan kekasihnya. Dany benar. Mereka memiliki sejarah. Hubungan antara Rose dan dirinya bukan lagi soal cinta. Mereka telah bersahabat sejak kecil dan cinta itu tumbuh begitu saja. Namun, seberapa kuat persahabatan itu jika telah dinodai pengkhianatan, maka semuanya menjadi tidak berarti. Rose terlalu jauh berpikir bahwa sewaktu-waktu dia bisa mengikhlaskan hubungannya dengan Dany, tetapi mengetahui pemikiran lelaki itu membuat Rose sungguh tak sudi bertemu dengannya lagi. “Jika kamu pergi, aku akan menyuruh ayahku mencabut donasi di yayasan.” Mata Rose terpejam sewaktu ia mendongakkan wajahnya ke atas. “Ck!” Decakan bibir itu mempertegas rasa kesal dalam hati Rose. Mengenal Dany cukup lama membuat Rose tahu bahwa apa yang diucapkan lelaki itu bukan hanya omong kosong belaka. “Bagaimana jika tuan Harvy benar-benar mencabut donasinya,” gumam Rose. Seketika ia dilanda perasaan dilema. Jika donasi dicabut, maka bukan hanya Catherine yang mendapatkan imbas, tetapi juga yayasan. Anak-anak yatim piatu, para suster, dan pastor juga semua orang yang berlindung di bawah yayasan Golden Children. Bagaimana nasib mereka jika salah satu penyumbang dana terbesar mencabut donasi mereka. Tidak mungkin juga Rose meminta bantuan Karina. Gadis itu sudah banyak membantu dirinya, termasuk kini Axel menjadi tanggung jawabnya. Lebih-lebih, Karina punya banyak urusan, maka Rose akan merasa tidak punya malu jika kembali meminta bantuan dari Karina. “Ya Tuhan, tolong bantu aku,” gumam Rose. Rose yang merasa tubuhnya letih lalu memilih untuk masuk ke dalam bilik. Mendudukkan tubuhnya di kloset sambil menaruh kedua siku tangannya di atas paha. “Hah ....” Embusan napas itu menggema. Sesaat kemudian, Rose pun mengubur wajahnya di dalam telapak tangan. Sungguh, baik hati, pikiran dan tubuhnya. Semuanya benar-benar dibuat capek. Cobaan datang bertubi-tubi dan Rose hanya seorang diri. Satu-satunya yang diharapkan Rose hanya kesembuhan Catherine. Sekalipun harapannya sembilan puluh sembilan berbanding satu persen. Namun, Rose tetap berharap belas kasihan dari Tuhan-nya. Entah mengapa, ada sesuatu yang menggetarkan hatinya. Sebuah perasaan aneh yang kemudian membuat bibir Rose bergetar. Pun, matanya mendadak terasa perih. Rose menggigit bibir bawahnya, memohon agar jangan sampai ia menangis. Tubuh Rose sudah sangat lelah. Namun, Rose tak bisa mengalahkan perasaan emosional di dalam dirinya. Gadis itu menangis, menumpahkan air mata dan membiarkan suaranya terdengar hingga ke bilik-bilik lain. ‘Mengapa harus Catherine, Tuhan? Mengapa tidak aku saja. Aku hanya seorang diri. Jika aku mati, tak akan ada yang bersedih. Namun, mengapa harus Catherine? Wanita itu telah mengabdikan hidupnya untuk menolong orang lain. Banyak orang yang membutuhkan Catherine, mengapa harus dia?!’ Tangisan Rose semakin menjadi-jadi saat kelebat bayangan seorang wanita terbujur kaku di atas bangsal rumah sakit tiba-tiba terlintas di dalam benaknya. Rose terisak sendirian di sana. Merasa bumi seolah menelannya hidup-hidup lalu menguburnya ke dalam liang gelap tak berpenghuni. Takut. Semua itu mengerikan. Sampai di titik terendah, Rose pun mulai menyangkal. ‘Ada banyak orang jahat di luar sana. Mereka yang menindas orang lain, mengapa mereka sehat-sehat saja. Mengapa orang-orang itu malah semakin berjaya, tetapi Kamu menghadirkan sakit parah kepada Catherine. Apa dosa yang telah dia lakukan?’ Sungguh, hati Rose bagai tersayat. Andai saja dia bisa memohon supaya Tuhan bisa memindahkan penyakit Catherine padanya. Maka Rose akan menerimanya dengan ikhlas. Lagi pula Rose juga sudah tidak memiliki tujuan hidup lagi. Semuanya terporak-poranda. Dalam semalam hidupnya terjungkir balik. Dan, jika kenyataan kemudian semakin memburuk, Rose bersumpah tak dapat bertahan lebih lama lagi. “Ini menyakitkan, Tuhan, sungguh.” Air mata terus berlinang bersama isak tangis yang tak dapat ditahan. Tidak ada yang mengerti bagaimana rasanya kehilangan orang yang kita sayangi. Rose sudah pernah merasakannya bahkan tiga kali. Tiga kali ia telah kehilangan orang yang begitu berharga dalam hidupnya. Jika sampai Tuhan mengambil Catherine, Rose tak tahu apa yang akan dia lakukan setelah ini. Di saat Rose semakin bersedih dan terjebak pada sebuah penyangkalan, tiba-tiba saja ponselnya berdering. Gadis itu sempat terperanjat, sebab suara itu cukup mengagetkannya. Dia pun tak langsung menerima telepon tersebut. Rose memilih untuk mengabaikannya. Namun, tak berselang lama, ponsel Rose kembali berdering. Gadis itu jadi tak punya pilihan selain menengok ponselnya. Diambilnya ponsel itu dari balik saku celana bagian belakang. Sementara Rose masih tersedu-sedu, menahan air matanya. Napas Rose ikut tersendat-sendat. Ketika melihat nama yang tertera di layar ponselnya, Rose pun mendesah dan kembali mengubur wajahnya di dalam telapak tangan yang terbuka. Sejujurnya, Rose juga ingin berbicara dengan dia. Sebagian dirinya menegur Rose bahwa dia sudah mengabaikan seseorang. Rose bahkan tidak memberi kabar saat tiba di Bandung. Namun, ini bukan saat yang tepat. Pasti dia akan langsung tahu bahwa Rose sedang bersedih. Rose juga tahu kalau dia akan khawatir dan Rose tidak mau kalau Axel begitu menghawatirkan dirinya. Gadis itu menahan semua air mata yang terus berderai keluar membasahi pipinya. Satu tarikan napas panjang membuat Rose mendapatkan sedikit kekuatan. Rose mengentak napasnya dengan kuat sembari menepuk kedua pahanya. “Fyuh ....” Pipinya mengembang sewaktu bibirnya melepaskan napas panjang. Dengan mengerahkan semua kekuatan yang ia miliki, Rose akhirnya berhasil bangkit dari sana. Berdiri dan melesat keluar lantas membasuh wajahnya. Rose berusaha mengatur napasnya. Walau hatinya masih berkedut nyeri, tetapi Rose berupaya keras untuk menyingkirkan segala permasalahan yang dia alami. Lagi pula, Rose tahu kalau Axel tak akan berhenti menghubunginya sampai Rose benar-benar menjawab teleponnya. Maka setelah menenangkan diri, Rose akhirnya memutuskan untuk menerima telepon dari Axel. Namun, sebelum menekan ikon tombol hijau, Rose lebih dulu berdehem untuk benar-benar mengembalikan suaranya. “Ha- hai,” sapa Rose. Memaksa senyum terbentuk di wajahnya dan berharap suaranya pun terdengar seperti biasa. “Thank God,” gumam Axel pun mendesahkan napas panjang. Rose bisa membayangkan bagaimana raut wajah lelaki itu saat ini. “akhirnya kamu mengangkat teleponku, Rose.” Lanjut Axel. Rose mendongak, menatap wajahnya dari cermin di depannya. “Maaf, aku sedang mengantre di apotek tadi,” dusta Rose. “ada apa?” Lanjut Rose bertanya. Sekali lagi, terdengar desahan napas berat dari seberang sambungan telepon. “Tidak, aku hanya ingin bicara denganmu. Aku menunggu kabar darimu, tetapi sepertinya kamu sedang repot. Apa semuanya baik-baik saja?” tanya Axel. Rose mendesah sambil menutup matanya. Ia pun membawa tangan kiri menutupi wajahnya. “Tidak ada yang baik-baik saja, Axe,” ucap Rose dengan jujur. Untuk ke sekian kalinya Rose mendengar suara desahan dari seberang sambungan telepon. “Ada apa, Rose?” tanya Axel. Rose mengentak napasnya dari mulut hingga kedua bahunya ikut merosot. “Seperti yang kamu tahu, kondisi Catherine sedang tidak baik-baik saja. Dia juga meminta untuk segera dipulangkan. Seumur hidupku, aku tak pernah melihat Catherine pergi ke dokter. Dia benci minum obat medis. Seperti sekarang, dia menuntut untuk segera dipulangkan. Katanya kemoterapi itu menyakitkan,” ujar Rose panjang lebar. Kembali, Axel mendesah mendengar keluh kesah dari Rose. “Catherine yang malang,” gumam Axel. “aku berharap dia bisa mendapatkan kesembuhan.” Lanjutnya. Ada senyum yang tanpa Rose sadari, terbingkai di wajahnya. Dia pun mengangguk, seakan-akan Axel berada di depannya. “Ya, aku juga berharap demikian. Oh ya, bagaimana keadaanmu. Semuanya baik-baik saja?” Giliran Rose yang bertanya. Itu juga dilakukan Rose untuk pengalihan pikiran. “Ya, semuanya baik-baik saja di sini. Hari ini aku bertemu dokter Marsel di sana juga ada dokter Smith. Seperti biasa, dia melakukan terapi dengan menyuruhku tidur. Kata dokter Marsel masih belum ada perkembangan, tetapi dia akan berusaha. Dokter Smith memperpanjang liburannya di Bali jadi mungkin aku bisa sering bertemu dengannya,” ujar Axel. Rose mendelik. “Wow, itu kabar baik,” ucapnya. “Hem,” gumam Axel. “oh ya, aku juga berkenalan dengan teman-temannya Marsel. Dia dipanggil Gus,” Axel terkikik. “Hey ... what is that mean!” Terdengar suara Maikel berteriak dan sepertinya dia sedang bersama Axel. Lelaki muda itu tergelak. Sementara Rose ikut dibuat tersenyum. “Wow ... sepertinya ada yang punya teman baru. Hem ... aku harus bersiap-siap ditinggalkan,” ucap Rose. “Hey, apa yang kamu katakan. Hahaha!” Axel kembali tergelak. “mana mungkin aku melupakanmu.” “Itu mustahil, Rose!” teriak Maikel. “dia bahkan terus mengigau memanggil namamu!” Lanjutnya. “Hey!” Giliran Axel yang memekik. Pasti dia sedang melayangkan pandangan tajam pada Maikel. “Kenapa?!” tantang Maikel. Rose bisa membayangkan bagaimana perselisihan di antara dua lelaki muda itu. “aku hanya bicara jujur!” Lanjutnya. “Astaga! Kenapa kamu tidak pergi saja, hah? Bukankah Mbok Agni menyuruhmu membeli gas?” Rose terkikik hingga ia harus menutup mulutnya dengan tangannya sendiri. Sekalipun masih ada rasa sedih yang kadang kala membuat hati Rose mencelos perih, tetapi mengetahui bahwa Axel mulai akrab dengan Maikel membawa kebahagiaan tersendiri untuk Rose. Semua itu secara tidak langsung membuat Rose mengingat bagaimana kondisi Axel sebulan yang lalu. Di mana lelaki itu tak ingin bicara bahkan untuk sepatah kata saja. Dia terus diam. Kadang kala mematri pandangan di kolam renang dan di malam hari dia sibuk memandang rembulan. Namun, sekarang, Rose mendengar gelak tawanya. Candaannya dan semua itu menggambarkan bagaimana suasana hati Axel mulai membaik. Rose berharap lelaki itu semakin mendapat pemulihan. “Pergilah ... astaga! Kamu benar-benar mengganggu waktuku dengan Rose!” “Okay!” Rose tersentak dengan mata yang mendelik saat mendengar teriakan Maikel. “Awas saja kalau nanti malam kamu merengek padaku, aku tak akan meladenimu.” “Cih!” Manik mata Rose semakin terbuka lebar. Axel tidak biasanya mendecih seperti tadi. Membuat Rose mengira-ngira seberapa dekat Axel dan Maikel kini. ‘Perasaan baru tiga hari, mereka kok akrab banget ya,’ batin Rose. “Argh!” Suara Axel yang menggeram membuat Rose bergeming. “pergi kau dasar bau!” “Hahaha ... bau, bau, begini karena aku habis work out. Oh ya Rose, kau tahu Ax-“ “Argh ....” Axel kembali menggeram. “pergi saja!” lanjutnya. Terdengar gelak tawa dari Maikel lalu suara tepukan yang membuat jantung Rose nyaris berjempalitan. “Axel, apa yang terjadi?” tanya Rose dengan sangat penasaran. Sejurus kemudian terdengar suara gelak tawa dari Axel. “Rasakan punch ku,” ucapnya. Rose mengernyit bingung. “Axe,” panggil Rose. “Ya, Rose,” jawab Axel. “Ada apa?” Rose semakin penasaran. “Ah, tidak. Aku hanya memberikan tinju pada Maikel. Dia mulai bertingkah aneh,” ujar Axel. Samar terdengar suara gelak tawa dari Maikel. “Rose, kamu harus cepat kembali, Rose!” seru lelaki itu dengan suara nyaring. “Apa sih!” Axel pun menggerutu. Sementara Rose hanya mendelik menantikan penjelasan dari Axel. Selanjutnya terdengar desahan napas panjang. “Maaf, Rose,” ucap Axel. “Oh!” Rose mendelik. “It’s okay,” katanya. Entah Rose menyadarinya atau tidak, tetapi Axel berhasil mengalihkan perhatian Rose dan menghapus kesedihan di wajahnya. “Oh ya, Rose ada kabar baik,” kata Axel. Sepasang alis sempurna milik Rose itu lalu melengkung ke atas. “Oh ya, katakan padaku,” ucapnya tak sabaran. “Dokter Karina meneleponku beberapa hari yang lalu,” kata Axel. “Lalu?” tanya Rose jadi tak penasaran. “Dia bilang bahwa aku akan segera mendapatkan kartu identitas.” Seketika mulut Rose terbuka. “Oh ya?” gumam Rose. Sungguh, dalam hati dia menjerit. “ho- how come?” tanya Rose. “Aku juga tidak tahu, Rose. Tiba-tiba saja dokter Karina meneleponku dan mengatakan bahwa besok bang Made akan mengantarku ke kantor pencatatan sipil untuk bertemu seseorang. Dia akan membuatkan identitas untukku.” Sekali lagi Rose mendelik dan kali ini dia benar-benar dibuat terkejut. “Wow, ini benar-benar sesuatu yang menggembirakan,” ucap Rose. Sekalipun timbul pernyataan dalam hati Rose bagaimana bisa Karina melakukan semua itu. Ya, tentu saja Rose bingung. Membuat Kartu Tanda Penduduk di duk Capil tentu harus membawa kartu keluarga. Mengingat hanya itulah syarat utama warga Indonesia untuk mendapatkan identitas pribadinya. Namun, entah bagaimana dan entah apa yang dipikirkan Karina sehingga dia berani mengatakan hal itu kepada Axel, akan tetapi Rose juga tahu persis bahwa Karina tidak sembarang bicara. Jika dia sudah bicara, itu artinya dia sudah punya bukti kuat dan dalam kasus ini, Rose pun berpikir bahwa Karina pasti sudah mengatur semuanya. Menurut perkataan Axel bahwa dia hanya perlu bertemu dengan seseorang. Itu tandanya Karina kembali menggunakan otoritasnya. Semua menjadi mungkin saat ditangani oleh Karina. “Wow, aku benar-benar senang mendengarnya, Axe,” ucap Rose. “Ya, aku juga,” balas Axel. “kata Maikel, jika aku sudah punya identitas itu berarti aku bisa bepergian. Semua itu membuatku berpikir bahwa aku mungkin saja bisa ke sana dan bertemu denganmu, Rose.” Ada sesuatu dalam ucapan Axel yang seketika membuat jantung Rose berkedut dengan tekanan kuat. Pun matanya ikut mendelik sementara mulutnya megap-megap. “Bagaimana menurutmu, Rose?” tanya Axel. Rose kembali bergeming. “Oh!” gumamnya. Sejurus kemudian gadis itu terkekeh. “sounds nice,” kata Rose. Perempuan muda itu bisa membayangkan betapa semringah wajah Axel saat ini. “Aku jadi tidak sabar menantikan pembuatan kartu identitasku,” ucap Axel. Untuk sekelebat, Rose masih terdiam sampai akhirnya bibirnya berkedut lalu membuatnya terkekeh singkat. “Kuharap semuanya berjalan lancar,” ucap Rose. “Ya, aku juga. Tak sabar untuk bertemu denganmu, Rose,” kata Axel. Sungguh, lelaki itu semakin membuat Rose mampu memperbaiki suasana hatinya. Mengobrol dengan Axel membuat Rose tak bisa berhenti menyunggingkan senyuman. Entah dia menyadarinya atau tidak, kini Rose sedang tersipu. Suatu reaksi alamiah yang dialami setiap manusia ketika jantung mereka berdetak meningkat sambil otak mereka membayangkan seseorang yang tampaknya sedang merindukannya. “Oh ya, bagaimana dengan kakimu?” tanya Rose. Dia pun berhasil mengembalikan fokusnya. “Semuanya baik-baik saja. Kadang masih ada sesuatu yang mengganggu. Jika aku terlalu lama berdiri, kakiku terasa pegal. Kadang juga lemas, tapi tenang saja, kata dokter aku tinggal menambah vitamin dan kalsium. Tak perlu khawatir, sebentar lagi aku sudah bisa berlari.” Sekali lagi ucapan Axel membuat Rose tertawa rikuh. Seakan-akan kesedihan yang mengungkung Rose sebelum ini meluruh begitu saja. Axel semakin pandai menghibur Rose hingga membuat gadis itu tak berhenti menyunggingkan senyum di wajahnya. “Senang mendengarmu semakin mengalami kemajuan, Axe,” ucap Rose. Axel terdiam sejenak. “Rose,” panggilnya dengan nada lembut. “Ya, Axe,” balas Rose. “Aku sudah sehat dan aku pun berjanji untuk tidak membiarkanmu sendirian. Jujur saja aku berpikir bahwa kamu mungkin sedang membutuhkan seseorang. Sungguh, selama beberapa hari ini aku tidak bisa berhenti memikirkanmu. Berpikir bahwa mungkin kamu sedang berada di situasi yang sulit dan kamu mungkin membutuhkan seseorang,” Axel tergelak rendah sebelum melanjutkan. “ah, mungkin aku berpikiran terlalu jauh. A-“ “Aku membutuhkanmu,” sergah Rose, membuat Axel terdiam. Senyum yang tadinya membingkai wajahnya berubah dalam sekejap. Wajah cantik itu kini terlihat sendu. “aku membutuhkanmu, Axe, sungguh.” Terdengar Axel terkekeh samar. “Tenanglah, Rose. Sebentar lagi. Aku tinggal menunggu kartu identitasku selesai dibuat lalu aku akan segera ke sana. Maikel juga sudah berjanji akan mengantarku ke tempatmu. Katanya dia kuliah di sana.” “Oh ya?” Rose mendelik. “Ya, dia bilang Badung?” Rose terkikik. “Bandung, Axe,” koreksinya. Terdengar suara Axel yang tertawa. “Ya, pokoknya itu. Katanya dia akan kembali sebentar lagi. Jadi mungkin kami akan pergi bersama. Dokter Karina juga bertanya soal kamu dan kubilang kamu mengunjungi ibumu yang sakit. Dia sepertinya terkejut. Apa dia tidak menghubungimu?” Mulut Rose terbuka. “Ah ... ya,” ucapnya. “dia pernah menghubungiku. Semalam dan dia turut prihatin,” ucap Rose. “Kamu pasti sedang bersedih, Rose. Walaupun aku tak bisa merasakan bagaimana kesedihanmu, tetapi aku berharap bahwa semuanya akan segera membaik. Kuharap Catherine bisa segera pulih dan aku juga tak sabar untuk bertemu dengannya.” Rose tertawa rikuh kini. “Oh ya, aku sudah menceritakan soal dirimu kepada Catherine dan dia juga sangat penasaran ingin bertemu denganmu.” “Kalau begitu katakan padanya bahwa aku akan datang sebentar lagi.” Senyum Rose kembali menghiasi wajah cantiknya. “Hem,” gumam Rose. “akan aku sampaikan.” Lanjutnya. “Hem,” balas Axel bergumam. “kamu juga baik-baik di sana ya, Rose. Jaga kesehatanmu. Jangan stres dan berpikiran macam-macam. Tenanglah. Aku yakin semua akan baik-baik saja,” ujar Axel. Sungguh, senyum Rose benar-benar tak bisa memudar. Semua perkataan Axel benar-benar membuatnya tegar. “Ya, Axe, terima kasih. Sungguh, kamu benar-benar menelepon di saat yang tepat. Kamu juga jaga diri di sana, ya. Jangan main game sampai larut malam.” “Oh, sejujurnya aku tidak terlalu suka dengan game,” sergah Axel. “Syukurlah.” Rose mendesah lega. “Tenanglah. Satu-satunya yang kuinginkan adalah membuat tubuhku benar-benar sehat supaya aku bisa menjagamu dengan benar.” Sudut bibir Rose berkedut. Dia pun mengedikkan alisnya ke atas. “Well, aku jadi tak sabar ingin melihat progresmu,” kata Rose. Axel terkikik sebelum menjawab. “Simpan semua itu untuk nanti, Rose.” Rose tergelak rendah. “Hem ... semakin pintar, hah?” gumamnya. Axel menanggapinya dengan gelak tawa. Selama beberapa saat mereka tertawa bersama sampai akhirnya Axel mendesah lalu berkata, “I’ll be better, Rose. I promise.” Dengan senyum di wajahnya, Rose pun berkata, “You’re always better for me, Axe. Don’t push yourself so hard.” “I’m not,” kata Axel. “tapi jika aku bisa mengusahakan yang terbaik, aku akan melakukannya, Rose,” ucap Axel. Rose kembali tertawa rikuh. “Oke ... aku penasaran melihat kemajuanmu. Oh ya, aku harus menembus obat Catherine di apotek. Nanti kuhubungi saat senggang.” “Oh, sure!” jawab Axel. “jangan lupa untuk memerhatikan kondisimu, Rose.” Dengan senyum di wajah Rose pun mengangguk. “Tentu. Kamu juga ya,” ucapnya. “Of course,” jawab Axel. “bye Rose.” “Ya, daah ....” Ketika suara Axel terganti dengan bunyi nada sambung yang berdengung panjang, Rose pun mendesah lalu membawa ponselnya ke depan d**a. Sejurus kemudian, gadis itu kembali tersenyum saat wajah Axel tiba-tiba terlintas di benaknya. “Thank you, Axe,” gumamnya. “kamu benar-benar menjadi penghiburku di saat dunia seolah terus mendesakku ke tepi jurang yang kelam.” Rose kembali mendesah. Masih menaruh ponselnya di depan d**a, Rose lalu memandang wajahnya. Gadis itu kemudian menyadari bahwa tak semua yang terjadi dalam hidupnya adalah untuk membuatnya bersedih. Buktinya, masih ada Axel yang secara tidak langsung mampu menghibur dirinya. Maka untuk semuanya itu, Rose pun menyadari bahwa dia telah berpikiran bodoh. Seketika dia ingat perkataan Catherine bahwa segala yang terjadi dalam kehidupan manusia, sedianya semua itu mendatangkan kebaikan. “Hah ....” Rose mendesah sekali lagi. Mengobrol bersama Axel benar-benar membuat suasana hati Rose membaik. Dia pun melangkah meninggalkan tempat itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN