“Rose ....”
Panggilan yang terdengar lirih itu sontak membuat Rose mendongak. “Hey ....” Gadis itu pun bergumam. Mendorong tubuhnya menjauh dari tepian bangsal.
Rose menegakkan tubuh. Kedua tangannya masih menggenggam tangan Catherine. Karena lelah, Rose sampai tertidur di atas kursi, tepat di samping Catherine.
Gadis itu pun bangkit. Memaksa untuk menarik kedua sudut bibirnya ke atas, membentuk senyum simpul di wajahnya.
Sambil mematri tatapan pada Catherine, Rose pun membawa satu tangannya membelai lembut dahi hingga kepala Catherine.
“Kamu ada di sini,” guma Catherine.
Sungguh, wajahnya yang tampak pucat dengan bibir kering itu sangatlah membuat hati Rose terluka. Namun, dia pun tak ingin menunjukkan kesedihannya kepada Catherine. Rose paham betul bagaimana wanita itu tak mau dikasihani.
Rose masih ingat bagaimana saat dia menjabat sebagai kepala asrama. Catherine selalu mewanti-wanita pada bagian penerima sumbangan supaya tidak menyepelekan anak-anak yang tinggal di asramanya.
Catherine adalah sosok wanita yang tegar dan bermartabat. Dipenuh kasih dan sayang. Untuk itu, melihat wanita tegar itu kini terbaring lemas di atas bangsal rumah sakit sungguhlah membuat hati Rose terluka.
“Ya, aku di sini, Ibu,” gumamnya.
Rose mengulum bibirnya. Seakan-akan hendak menyembunyikan kesedihannya, tetapi Rose sendiri mendengar bagaimana suaranya bergetar barusan.
Digenggamnya tangan Catherine erat-erat, tetapi Rose memilih untuk memalingkan wajah. Air mata telah mengumpul di pelupuk matanya dan Rose tak mau Catherine melihatnya.
Pun wanita yang telah mengasuh Rose sejak umurnya sepuluh tahun itu kemudian tersenyum memandang wajah putri angkatnya itu.
“Apa kabarmu, Rose?”
Pertanyaan itu membuat tangisan Rose nyaris pecah. Wajahnya bergetar, tetapi dia bersikeras untuk menganggukkan kepala. Mengirim sinyal bahwa dia baik-baik saja.
Untuk sekelebat, Rose masih tak berani untuk menatap Catherine dan bertahan dengan memalingkan wajahnya. Gadis itu butuh waktu untuk menenangkan dirinya.
“Rose ....”
Namun, panggilan Catherine membuat Rose terpaksa harus memutar wajahnya, kembali menatap Catherine. Sekali lagi wanita itu menyunggingkan senyum di wajahnya.
“Aku belum mati,” kata Catherine.
Rose tergelak sambil berderai air mata. Dia langsung merundukkan tubuhnya, menyandarkan wajah di atas d**a Catherine, tetapi menjaga bobot tubuhnya agar tidak sampai membuat napas Catherine sesak.
“Jangan berkata seperti itu, Ibu, kumohon. Hanya kamu yang aku miliki. Kumohon, Cath, sembulah untukku.”
Catherine terkekeh kecil. Dia berusaha menggerakkan kedua tangannya memegangi lengan Rose yang berada di atas tubuhnya.
Desahan napas panjang dari Catherine membuat Rose akhirnya menarik wajahnya. Napasnya tersendat-sendat sebab usahanya yang begitu keras ingin mencegah supaya jangan air matanya lolos mengacaukan pertahanannya.
“Aku pernah kehilangan ibuku, Cath dan aku tak mau kehilangan ibuku untuk kedua kalinya. Jadi kumohon, Catherine, sembulah. Kumohon, Cath, aku masih membutuhkanmu.”
Nyatanya, rasa sakit di hati Rose terlalu besar. Bercampur dengan rasa takut. Takut apabila tubuh ini akan terdiam kaku dan mendengarkan tangisannya.
Namun, wanita yang menjadi napas utama dari Rose itu kembali memperdengarkan senyumnya. Dia pun dengan sabar membelai puncak kepala Rose dan membiarkan gadis itu tetap di sana.
“Kamu sudah besar, Rose,” kata Catherine. Sungguh, suaranya benar-benar lemah. Rose jadi tak rela mengajaknya mengobrol.
Pelan namun pasti, Rose mulai menarik wajahnya. Napas gadis itu tersendat sehingga ia harus mengalunkannya dari mulut. Dadanya pun bergetar. Rose tersedu-sedu saat kembali membawa tubuhnya untuk duduk.
“Aku masih ingat saat pertama kali kita bertemu.”
Tangisan Rose kembali terdengar. Dia menggelengkan kepala. “Kumohon jangan berkata seperti itu,” lirih Rose. Dia memandang Catherine dengan tatapan nanar.
“Jangan katakan itu saat kamu sedang dalam keadaan seperti itu, Cathy, kamu membuatku takut. Sungguh.” Rose membawa kedua tangan menutupi wajahnya yang kembali berlinang air mata.
Sementara Catherine berusaha keras menggerakkan tangannya, lantas meraih salah satu tangan Rose.
Gadis itu sudah tak dapat menahan tangisannya lagi. Semakin melihat Catherine semakin dia merasa bersalah, gelisah, takut dan segala pemikiran buruk mulai bersarang di kepalanya. Rose membenci semua itu.
“Baiklah, aku tak akan mengungkit masa lalu kita jika itu membuatmu sedih.”
“Tidak,” gumam Rose. “aku hanya ... aku hanya tak ingin kamu berkata seperti itu, seolah-olah kamu akan ....” Suara Rose berubah bak decitan tikus. Dia menggigit bibir bawahnya kuat-kuat, hendak melawan perasaan emosionalnya itu.
Tampak Catherine mengulum bibirnya. Wanita itu menganggukkan kepalanya dengan gerakan kecil.
“Bagaimana pekerjaanmu?” tanya Catherine. Berusaha mengalihkan pembicaraan. Namun, di sisi lain dia juga tengah berusaha menahan rasa sakit yang seperti menyebar ke seluruh tubuhnya.
“Apakah semua berjalan dengan lancar?” Lanjut Catherine.
Butuh waktu bagi Rose untuk mengumpulkan seluruh kekuatan yang tersisa di tubuhnya. Dia semakin tak bisa bernapas. Sesak di d**a, bagai diremas dengan kuat.
Entah harus bagaimana dirinya. Mengapa Rose sama sekali tak memiliki kekuatan untuk sekadar menjawab pertanyaan Catherine. Dadanya memberat dan semakin menyiksa napasnya.
“Kemarilah,” panggil Catherine. “berbaring di sampingku.” Lanjutnya sambil menepuk-nepuk sisi kiri tempat tidur itu.
Sambil menahan tangisannya, Rose pun berupaya keras untuk mendorong tubuhnya dan bangkit dari tempat duduk. Sekilas Rose memandang Catherine dan melihat senyum di wajah wanita itu membuat Rose kembali ingin menangis.
Namun, dia menahan semua perasaan itu dan mengikuti keinginan Catherine.
Sambil menjaga gerakannya, dengan hati-hati Rose mengambil tempat di samping Catherine lalu memeluknya dari samping.
Catherine pun berupaya untuk memutar wajah, memberikan kecupan pada puncak kepala Rose.
“Sekarang ceritakan padaku,” ucap Catherine. “sudah lama kita tidak bertemu. Bagaimana kehidupanmu di Jakarta. Apakah semuanya baik-baik saja?”
Mendengar pertanyaan itu membuat Rose nyaris menangis. Air mata tak mau berhenti. Terus menerobos keluar mengacaukan napas Rose dan bahkan tak mengizinkannya untuk berbicara.
“Tak apa, take your time,” ucap Catherine. Dia pun terus mengelus puncak kepala Rose.
Selama beberapa saat terdiam, akhirnya Rose mulai mendapatkan kekuatan. Dia pun menyeka air mata dan berusaha mengembalikan suaranya dengan berdehem.
“Ya, ehem!” Sekali lagi dan Rose pun siap untuk bercerita. “sejujurnya aku sudah tidak tinggal di Jakarta lagi.”
“Oh ya?” sergah Catherine dengan nada rendah.
Rose pun mengangguk. “Ya, sudah dua bulan aku tinggal di Bali,” ujar Rose.
“Wow, apa kamu dipindah tugaskan?” tanya Catherine.
Rose tampak menghela napas lalu mengembuskannya dengan desahan panjang. “Tidak,” jawab gadis itu. “aku dipecat.” Lanjutnya.
Sekalipun Rose tahu bahwa dia tak seharusnya memberitahu Catherine, tetapi wanita itu juga tak bisa berbohong pada Catherine.
“Wow, itu bukan kabar yang baik, Nak,” kata Catherine.
Rose bisa membayangkan bagaimana raut wajah Catherine saat ini. Sudah pasti wajah pucat itu berubah sendu. Hingga Rose akhirnya mendongakkan wajah.
Kali ini tak ada air mata di wajah Rose. Dia menyunggingkan senyum, menatap ibu angkatnya itu.
“Tenanglah, aku mendapatkan pekerjaan yang lebih baik.”
Tampak manik mata Catherine melebar. “Oh ya?” tanya wanita itu.
Rose pun mengangguk. “Ya, selain upahnya yang lebih besar, aku juga bekerja dengan orang-orang yang mengerti diriku. Jadi aku tak lagi tertekan saat bekerja,” ujar Rose panjang lebar.
“Oh benarkah?” Catherine bertanya dengan wajah berseri-seri, membuat Rose akhirnya tersenyum dengan benar. Gadis itu kembali menganggukkan kepalanya.
“Ya, aku lebih menyukai pekerjaanku yang sekarang ini,” ujar Rose.
Sedetik berlalu, Catherine pun mengerutkan keningnya. “Eh, kalau boleh tahu ... apa pekerjaanmu, Nak?” tanya Catherine.
“Ibu tahu Karina?” Rose balik bertanya.
Catherine pun mengerutkan dahinya. “Anaknya dokter Wijaya?” Dengan semangat Rose menganggukkan kepalanya. “tentu aku mengenalnya. Kalian berteman sejak SMP, bukan?” Sekali lagi Rose menganggukkan kepalanya.
“Bagaimana aku bisa lupa. Ayahnya pernah menjabat sebagai ketua yayasan. Dokter Wijaya dan keluarganya sudah banyak membantu tempat kita, Rose,” ujar Catherine.
“Hem,” gumam Rose dengan anggukkan kepala.
“Jadi, ada apa dengan Karina?”
Entah Rose sadar atau tidak, tetapi Catherine berhasil mengalihkan rasa sedih di hatinya. Rose pun makin semangat menceritakan kehidupannya.
“Dia memberiku pekerjaan. Menjadi guru pembimbing untuk salah seorang pasiennya yang lupa ingatan.”
Seketika manik mata Catherine terbelalak. “Oh ya?” gumamnya rendah.
“Hem,” Rose mengangguk dan kesedihan itu perlahan menghilang di wajahnya. “dia seorang lelaki yang sampai sekarang belum diketahui identitasnya. Umurnya sekitar dua puluh dua atau dua puluh tiga. Karina menemukannya saat perjalanan pulang ke vilanya di Bali. Merasa bertanggung jawab, Karina pun bertekad untuk menolong pria itu. Akhirnya dia memohon bantuanku untuk mengajari lelaki itu pun menjadi pengasuhnya sementara.”
“Pengasuh?” tanya Catherine.
“Hem,” Rose kembali menjawab. “karena kecelakaan yang dia alami, pria itu sampai lumpuh.”
“Astaga!” Catherine pun bergumam kaget.
“Ya, kasihan sekali. Namun, hari ini dia memberikan kabar baik. Pagi tadi, sebelum berangkat kemari, aku sempat mengantarnya ke klinik fisioterapi di Bali. Dua bulan menjalani terapi, akhirnya hari ini dia bisa berjalan.”
“Oh astaga!” Catherine pun mendelik. Wajahnya yang pucat itu sekilas tampak berseri. “itu kabar baik, Rose,” ucap Catherine.
“Ya.” Rose menjawab dengan semangat.
“Lalu di mana dia?” tanya Catherine.
“Di Bali. Dia kutitipkan pada mbok Agni. Mbok Agni ini adalah orang kepercayaan Karina. Dia yang sedari dulu mengurus vila milik Karina. Dia punya anak lelaki seumuran Axel pasien Karina itu.”
“Oh ya?” Catherine pun makin semangat.
“Ya, dan ada juga bang Made dia juga salah satu orang kepercayaan Karina. Jadi kami di sana tinggal beramai-ramai. Mereka semua juga baik hati, aku dianggap keluarga oleh mereka.”
Kini, wajah Catherine benar-benar mengulas senyum. Dia pun membelai puncak kepala Rose.
“Syukurlah ...,” guma Catherina. “aku turut bahagia, Rose. Kadang-kadang hidup memang tak berjalan sesuai dengan keinginan kita. Namun, kita tak perlu mengeluh, Rose. Karena kita tahu bahwa apa yang terjadi dalam kehidupan kita adalah atas seizin dari Tuhan. Apa yang tidak kamu dapatkan saat bekerja di Jakarta, kini kamu mendapatkannya di Bali. Ibu yakin, kamu sempat kecewa saat dipecat, bukan begitu?”
Rose mengangguk. “Hem,” gumamnya. “aku ke Bali sebenarnya untuk menemui Karina. Aku cukup stres karena kehilangan pekerjaan.” Lanjut Rose.
“Nah, manusia memang tidak pernah tahu apa kehendak Tuhan. Kadang kala Tuhan menghadirkan kekecewaan untuk menunjukkan sesuatu yang lebih besar dan lebih layak untuk kita,” ujar Catherine panjang lebar.
“Hem,” Rose kembali bergumam, menyetujui.
“Maka dari itu, apa pun yang terjadi dalam hidup ini, syukuri saja. Suka dan duka. Sehat dan sakit. Semua harus kita syukuri. Jangan mengeluh apalagi marah pada Tuhan. Bukankah dia sudah memberikan napas hidup secara cuma-cuma?”
Ada seberkas cairan bening yang kembali menutupi sepasang bola mata cokelat milik Rose. Dia pun menganggukkan kepalanya.
“Ya,” gumam Rose.
“Syukurlah kalau kamu memahaminya.” Lanjut Catherine. Dia terdiam sejenak dan menciptakan keheningan. Sampai akhirnya Catherine kembali memanggil, “Rose ....”
Mendengar panggilan itu membuat Rose kemudian mendongakkan wajahnya. Dia pun memutar tubuh supaya dia bisa memandang wajah Catherine dengan baik.
“Aku tak ingin mengeluh, tetapi kemoterapi itu menyakitkan.”
Mendengar ucapan itu mengubah ekspresi di wajah Rose. Dia tersenyum, tetapi wajahnya malah terlihat sendu. Satu-satunya yang bisa dilakukan Rose adalah memberikan dukungan kepada ibu angkatnya itu.
Rose pun mengangkat tangan, membelai kepala Catherine. Sesuatu membuat Rose terkejut saat melihat helaian rambut milik Catherine yang tiba-tiba menyelip di antara jarinya.
“Rose, aku telah mengasuh banyak anak dan masih banyak lagi yang membutuhkan aku,” ujar Catherine.
Gadis itu pun mengangguk. “Termasuk diriku,” ucap Rose. Dilihatnya usaha keras Catherine yang hendak mengulas senyum di wajahnya.
“Kamu kan sudah besar, Rose. Sudah dewasa. Kamu sudah bisa mengurus dirimu sendiri. Aku tak akan takut meninggalkanmu.”
“Jangan bicara seperti itu,” mohon Rose. Dia pun menggenggam tangan Catherine lalu memeluknya. “aku masih belum bisa membuatmu bangga, Cath. Sejujurnya aku masih malu menatap matamu.” Rose menundukkan wajah untuk kembali menyembunyikan air mata.
“Kamu bicara apa, Rose. Kamu dan anak-anak yang lainnya sudah membuatku bangga. Kalian semua sukses dan berakhlak baik. Aku sungguh bangga pada kalian.”
Mendengar pujian itu membuat Rose tergelak ironi. “Sayang sekali akhlakku tidak baik, Ibu Cathy. Kamu tahu sendiri sedari dulu kamu dipanggil ke sekolah karena aku berkelahi. Di mana akhlak baik itu.” Tutup Rose dengan suaranya yang tergelak.
“Tidak juga,” kata Catherine. “kamu tetap membuatku bangga, Rose. Kamu adalah anak yang patuh dan pintar, hanya saja kamu membutuhkan perhatian dan salah satu caramu menarik perhatian adalah dengan membuat onar.”
Rose kembali tergelak. “Ah! tak usah menutupi aibku. Aku memang bocah nakal,” kata Rose.
Catherine membelai wajah Rose. “Jika kamu sudah berkeluarga nanti, jangan lupakan anak-anak di asrama ya.”
Sambil mengulum bibirnya, Rose pun menganggukkan kepala. “Tentu. Aku tak akan melupakan mereka. Kamu dan semua suster. Kalian adalah wanita-wanita yang berjasa dalam hidupku. Kalian berhati mulia, sayang sekali aku tak bisa mengikuti jejak kalian,” ujar Rose.
Catherine menanggapinya dengan senyuman. “Tak apa, Rose. Semua orang punya takdirnya masing-masing. Kamu juga tak perlu menjadi biarawati untuk berbuat baik. Ada banyak hal yang bisa menjadikanmu orang baik,” ujar Catherine.
Mata Rose terpejam saat ia menganggukkan kepala. Dibaringkan wanita itu tubuhnya kembali ke sisi Catherine, lalu memeluknya dari samping.
“Rose,” panggil Catherine lagi.
“Hem,” gumam Rose.
“Aku ingin segera pulang dan menghabiskan waktuku di tempatku. Aku ingin mati di sana tanpa rasa sakit,” ujar Catherine.
Rose terdiam kaku. Dia pun tak punya kata untuk menjawab ucapan Catherine. Yang bisa dilakukan Rose adalah memeluk tubuh wanita itu.
Nyatanya, kesedihan tak bisa lenyap begitu saja. Pun rasa bersalah yang kembali mengungkung pikiran Rose.
“Andai saja aku bisa menolongmu, Cath,” gumam Rose.
“Cukup dengan mendoakan aku, Rose, kamu sudah membantuku dengan baik.”
Rose kembali tak ingin menjawab lalu mempererat pelukannya di tubuh wanita itu. “Kumohon, jangan menyerah. Bertahanlah untuk kami, Ibu,” gumam Rose.
Tidak ada balasan dari ucapannya. Catherine terdiam dan merasakan setetes cairan panas meluap dari matanya.
Tak ada satu pun manusia di bumi yang menginginkan kematian dengan cara seperti itu. Namun, Catherine juga sadar betul bahwa dia hanya manusia yang pada dasarnya hanyalah sebuah ciptaan.
Catherine meyakini bahwa apa pun yang terjadi dalam hidupnya adalah atas kehendak Tuhan-nya. Yang menjadi harapan Catherine saat ini adalah supaya Tuhan terus menolong seluruh anak-anaknya. Supaya Catherine pun bisa beristirahat dengan tenang.