“Aku melihat ruangan kotor dan lembap. Tidak ada cahaya yang masuk ke sana. Benar-benar gelap. Aku mendengar suara air sepanjang waktu, tapi aku sama sekali tak tahu di mana kami berada.”
“Maksudmu, kami?” Dokter Marsel bertanya dengan nada lembut.
Lelaki muda yang tengah bercerita itu kemudian mendongakkan wajahnya. “Aku dan ibuku,” jawabnya.
Ada desahan yang terdengar mengalun keluar dari mulut Rose. Sedari tadi dia menggenggam tangan Axel, sementara wajah lelaki itu tampak pucat pasi.
“Oke, kalau begitu lanjutkan,” ucap dokter Marsel.
Tampak Axel menelan saliva. Selapis cairan bening kini menutupi netra hazelnya. Ia pun kembali menyeret pandangannya lurus ke depan. Menatap dengan pandangan kosong.
“Dia terus memanggil, Lenox ... Lenox,” kata Axel. Lelaki itu kembali membasahi tenggorokannya dengan saliva sebelum lanjut mendongak.
Dokter Marsel terdiam sambil memeluk diri. Tampak dahinya terlipat dan keningnya melengkung ke tengah. Dia masih tak ingin berkomentar. Axel pun memindahkan tatapannya pada Rose yang sedari tadi menatapnya.
“Apakah itu nama asliku?” tanya Axel.
Mulut Rose megap-megap. Ia tak tahu harus menjawab dengan apa, hingga gadis itu memindahkan tatapannya pada dokter Marsel. Lelaki itu pun mendesah berat.
“Ya.” Jawaban dokter Marsel membuat Axel mendongak. Memandang lelaki itu dengan tatapan nanar dan sarat kebingungan.
“Kamu sudah mengingatnya dengan jelas. Lalu, apa yang terjadi selanjutnya?” tanya dokter Marsel kembali.
Dada Axel mengembang, lalu mengempis dengan cepat saat ia mengembuskan napasnya dari mulut. Ia kembali menarik pandangannya ke bawah, menjauhi dokter Marsel.
“Aku belum mengingat semuanya,” ujar Axel. Ada kesedihan yang tergambar jelas dari wajah pucat pasi itu. Bibir Axel pun mengering, membuatnya terus menelan saliva.
Dari nada bicara Axel dan dari caranya mengalihkan pandangan, dokter Marsel bisa merasakan dengan jelas, bahwa ada sesuatu yang disembunyikan oleh lelaki muda itu. Namun, dokter Marsel juga tak ingin bertanya lebih jauh sebab ia pun tahu bahwa sesuatu itu sangat menyakitkan bagi Axel.
“Oke,” ucap dokter Marsel. Ia pun mengakhirinya dengan desahan panjang. “ada lagi yang kamu rasakan?” tanya dokter Marsel.
Axel menggoyangkan kepalanya dengan gerakan kecil. Mulutnya pun terkatup tak ingin lagi bercerita.
“Baiklah. Kalau begitu beristirahatlah. Jika kamu memerlukan sesuatu, pencet saja belnya. Ada perawatku yang akan datang dan membantu kalian,” ujar dokter Marsel.
“Hem,” gumam Axel singkat.
“Oke, kalau begitu aku pamit. Rose,” panggil dokter Marsel.
Rose pun mengangguk. “Axe, aku tidak lama,” ucapnya sambil menarik tubuhnya berdiri dari tempat duduk.
Axel mengangguk, tetapi ia enggan untuk menoleh ke samping. Dokter Marsel mengerutkan dahi saat melihat tangan Axel yang mencengkeram selimut dengan kuat. Ia kembali mendesah sebelum bergeming. Lelaki itu mengedikkan alis, meminta Rose untuk mengikutinya.
Rose pun mengangguk. Sekilas ia menoleh ke belakang, menatap Axel yang tampak kebingungan. Gadis itu ikut mendesah sambil menoleh ke bawah. Ia butuh beberapa detik untuk menguatkan dirinya sebelum kembali mendongak, menatap dokter Marsel.
Keduanya pun berjalan keluar dari ruangan.
“Rose,” panggil dokter Marsel. Ia pun memutar tubuh, menghadap wanita itu. Dokter Marsel kembali mendesah. “ingatannya yang kembali mengganggu mentalnya.”
Rose menghela napas panjang lalu mengembuskannya dengan berat. Ia pun menoleh, mengintip dari celah pintu yang tidak tertutup sempurna.
“Ya, aku bisa melihatnya,” kata Rose. Ia pun mendesah untuk kesekian kalinya. Kedua tangan Rose pun memanjat, memeluk tubuhnya.
“Ya, Rose. Seperti yang kita duga selama ini. Axel memiliki trauma di masa lalu. Entah apa yang sudah terjadi, tetapi yang jelas semua itu sangat mengerikan. Rose, mungkin dia enggan bercerita padaku. Namun, jika dipendam sendirian, ingatan itu akan semakin mengganggunya dan bahkan merusak mentalnya.”
“Jadi apa yang harus kulakukan?” sergah Rose dengan panik.
“Ajak dia bicara,” kata dokter Marsel. “kupikir Axel akan menceritakan semua keluh kesahnya padamu. Namun, jika dia membutuhkan waktu, maka biarkan dia mencari waktu yang tepat. Hanya saja kamu tidak boleh membiarkan dia sendirian, Rose. Sungguh, itu akan sangat membahayakan bagi Axel,” ujar dokter Marsel panjang lebar.
Mulut Rose terbuka. Gadis itu mendesah berat dan kembali memandang Axel. Tampak lelaki itu menundukkan wajahnya.
“Baiklah,” gumam Rose. Ia pun menatap dokter Marsel dan lelaki itu menganggukkan kepala.
“Oke, kita masih harus menunggu hasil MRI. Ingat, Rose, berikan dia kenangan yang bisa membuatnya melupakan traumanya,” ujar dokter Marsel.
Rose mengulum bibirnya sebelum menganggukkan kepala. “Ya, akan kuusahakan,” ucap gadis itu.
Setelahnya, dokter Marsel pun pamit sementara Rose kembali ke dalam ruangan. Gadis itu menarik sudut bibirnya ke atas membentuk senyum.
Axel yang merasakan kehadiran Rose lalu mendongak. Wajahnya terlihat nanar membuat Rose melesat dan membuka kedua tangannya.
Gadis itu langsung meraih sekaligus memeluk tubuh Axel. Seketika lelaki itu mencurahkan air mata yang sudah ditahannya sedari tadi.
Axel terisak tangis di dalam pelukan Rose. Ia mengubur wajahnya ke dalam pelukan gadis itu, sementara kedua tangannya mencengkeram baju Rose dengan kuat.
Gadis itu juga tak bisa menahan air matanya. Tubuh Axel yang bergetar, memberitahu apa yang sedang dirasakannya.
“Did they hurt you?” tanya Rose dengan nada lirih.
Axel mengangguk. Dengan cepat. Sesuatu mencelos perih dari dalam hati Rose. Axel memang tak memberitahu apa yang diingatnya, tetapi dari cara lelaki itu menangis, Rose bisa merasakan betapa berbuatan mereka sangat keji.
Kedua tangan Rose mengusap belakang kepala Axel. Ia pun tak memikirkan hal lain ketika bibirnya memberikan kecupan pada puncak kepala lelaki itu. Rose menahannya sebentar sambil mencurahkan air matanya di sana.
“It’s okay,” gumam Rose. “it’s okay,” katanya sekali lagi. “jangan memendamnya sendirian. Aku ada di sini. Menangislah padaku. Aku siap mendengarkan keluh kesahmu.”
Tangisan Axel semakin histeris. Sungguh, ingatan itu benar-benar melukainya. Tidak ada hal lain yang kini berada dalam kepala Axel selain mengingat bagaimana mereka menyiksa ibunya.
Bagaimana para lelaki b***t itu melecehkan ibunya dan mereka sengaja melakukan hal itu di depannya. Meninggalkan memori yang teramat menyakitkan untuk dikenang.
‘Lenox, kamu harus hidup untuk memberitahukan hal ini pada kakakmu.’
Axel pun menutup kedua mata, semakin mencengkeram punggung Rose. Sesuatu berdengung dalam kepalanya dan menciptakan nyeri yang luar biasa.
Bukan ini yang diinginkannya. Setelah sepenggal ingatan itu kembali, yang ada hanyalah luka dan penderitaan.
Kenangan buruk yang mulai menggerogoti kepalanya. Siapa dia? Axel masih kebingungan mencari jati dirinya.
Ingatan tentang apa yang dialaminya bersama sang ibu menutup semua celah dan membuatnya tak bisa mengingat hal lain.
Rasanya benar-benar menyakitkan. Untuk bernapas saja, Axel mulai merasa berdosa. Bagaimana dia bisa tetap hidup sementara ibunya ....