Mendengar buni yang menggema dari balik pintu membuat Rose lantas bangkit dari tempat duduknya. Ia pun berlari menghampiri dokter Marsel yang baru saja keluar dari ruang perawatan.
“Bagaimana keadaannya?” tanya Rose tanpa basa-basi.
“Kami masih harus melakukan MRI. Dia belum sadarkan diri, tetapi kami sudah memberikan penanganan.”
Mendengar perkataan Marsel membuat Rose mendesah lega. Ia pun menjatuhkan wajahnya ke dalam kedua tangan yang terbuka.
“It’s okay, Rose. Kurasa ini salah satu reaksi alamiah saat seseorang yang punya cedera otak lalu mengingat kejadian di masa lalu. Namun, untuk membuktikan semuanya, aku tetap harus melakukan pemeriksaan lebih lanjut,” ujar dokter Marsel.
Rose pun mendongak lalu menganggukkan kepalanya. “Ya, kuharap semuanya akan baik-baik saja,” ujar Rose.
“Oke ....” Dokter Marsel mendesah. “kami akan segera memindahkan Axel ke ruangan. Sepertinya dia akan di sini selama beberapa hari.”
Rose kembali menganggukkan kepalanya saat mendengar ucapan dokter Marsel.
“Kalau begitu aku pergi dulu. Ada pasien yang harus aku kunjungi di ruangan,” ucap dokter Marsel dan sekali lagi Rose mengangguk.
“Terima kasih, Marsel.”
“Anytime, Rose.” Lelaki itu mengangkat pandang, menatap lelaki yang berdiri di belakang Rose. “Jared.”
Lelaki itu menganggukkan kepala sambil mengangkat ibu jarinya. “Thanks, Dude!” ucap Jared. Ia pun menepuk pundak Marsel sebelum lelaki itu benar-benar pergi dari sana.
Didengar Jared, desahan napas panjang dari Rose. Ia pun mendekat, memegangi kedua sisi lengan gadis itu.
“Everythings gonna be okay, Rose,” kata Jared.
Rose pun mengangguk. Masih menyebunyikan wajahnya di antara kedua tangan. Terpikir sesuatu, Rose akhirnya mendongak.
“Siapa pelakunya?”
Mendengar pertanyaan Rose membuat Jared mendesah lalu memalingkan wajahnya. “Seorang pria gila,” kata Jared.
“Kau mengenalnya?” tanya Rose.
Jared menggelengkan kepalanya. “Tidak, tapi aku sudah melaporkan kasus ini pada polisi. Larry sudah menyerahkan rekaman CCTV pada polisi dan mereka berjanji untuk segera menyelidiknya.
Rose kembali mendesah. Jared yang menangkap rasa khawatir yang terlalu besar itu lalu berinisiatif untuk memeluk Rose.
“Jangan khawatir. Polisi akan segera menemukannya dan siapa pun dia, pria itu harus bertanggung jawab atas apa yang terjadi pada Axel,” ucap Jared.
Rose pun menganggukkan kepalanya. “Ya, Jared, kumohon,” gumamnya.
“Ya, aku akan menemukannya segera,” ucap Jared.
Rose kembali mendesah. Sungguh, selain khawatir, Rose juga tak berhenti menggerutu di dalam hatinya. Kejadian yang dialami Axel tentu merupakan kelalaian Rose juga. Seandainya Rose tidak terlalu fokus dengan novelnya, mungkin dia bisa lebih cepat menemukan Axel dan mungkin juga lelaki itu tak akan mendapatkan musibah seperti ini.
Namun, semua sudah terjadi. Sekuat apa pun Rose menyalahkan dirinya, ia tetap tak bisa memutar waktu.
“Ayo kita temui Axel,” ucap Jared. Maka Rose mengangguk mengikuti lelaki itu.
***
Bali, Indonesia
01.11 am
“Rose, kau yakin tak apa-apa menginap sendirian?” tanya Jared.
Tampak Rose mengulum bibirnya sebelum menganggukkan kepala. “Ya, tak apa, Jared,” jawab Rose.
“Oke. Look, if you need some help-“
“Ya, Jared,” sergah Rose. “I will call you.” Lanjutnya.
Jared pun menghela napas panjang lalu mengembuskannya dengan cepat. “Oke, hubungi aku kapan saja dan beritahu aku keadaan Axel,” ujar lelaki itu.
Rose kembali menganggukkan kepalanya. “Sure,” ucapnya.
“Oke,” gumam Jared. Sekilas ia memandang si lelaki yang sedang terbaring di atas bangsal. Rose pun menoleh menatapnya.
“Dia akan baik-baik saja,” gumam Rose. Gadis itu menarik sudut bibirnya ke atas, membentuk senyum di wajah.
“Ya,” gumam Jared. Ia pun tersenyum simpul. Tangan Jared lalu menepuk pundak Rose. “he’s a good guy, cute boy and I’m so like that. Axel sudah kuanggap sebagai adikku sendiri. Rose, I promise-“ Ada jeda pada ucapan Jared sewaktu ia kembali memandang Rose. “I will find that son of a bitch.”
Rose memaksa senyum di wajah sebelum ia kembali menganggukkan kepalanya. “Yeah, I trusted you,” ucap Rose.
Tampak Jared mengangguk-anggukkan kepalanya. “Oke, kalau begitu aku pergi dulu, Rose. Kumohon, hubungi aku, okay?”
Maka Rose mengangguk untuk terakhir kali. Ia pun memberikan pelukan pada Jared sebelum lelaki itu benar-benar meninggalkan ruang tersebut.
“Hah ....”
Ada desahan panjang yang mengalun keluar dari mulut Rose hingga membuat kedua bahunya merosot.
Sambil mematri tatapan pada tubuh Axel, Rose pun berjalan menghampiri lelaki itu. Kedua tangannya lantas menggenggam satu tangan Axel.
“You know what,” gumam Rose. Ia pun menoleh menatap wajah tenang Axel. “aku suka semangatmu.” Rose tersenyum, tetapi tidak dengan wajahnya yang malah terlihat sendu.
“Ya, Axe. Aku suka kamu yang energetic. Sering kali kamu membuatku terheran-heran dan tak jarang kamu membuatku khawatir. Setiap hari kamu selalu mengejutkan aku. Mulai dar transformasi tubuhnya yang kini menjadi sekeras batu, caramu melapalkan sesuatu yang baru kamu pelajari, bahkan kamu yang seolah tak mau diam di rumah. Kuakui semua itu memang baik dan aku menyukainya, sehingga ....”
Rose pun menundukkan wajah. Kedua tangannya menggenggam tangan Axel dengan kuat di saat ia mengulum bibirnya kuat-kuat.
Gadis itu lalu menarik napasnya dalam-dalam lalu mengembuskannya dengan entakkan kuat. Ia kembali membentuk senyum di wajah dan menatap Axel.
“Sehingga aku berharap kamu akan seperti itu selamanya.” Rose pun mendesah. “Ya, aku tahu bahwa ini terdengar egois, tapi aku tak peduli,” ujar gadis itu.
Selapis air bening kembali menutupi netra cokelatnya. Rose pun membawa punggung jari telunjuknya untuk mengusap dua bulir air bening yang tiba-tiba jatuh membasahi pipinya.
“Axe, listen!” Ucapan Rose kembali terjeda. Ia menepuk-nepuk satu tangan Axel dan memaksa menarik sudut bibirnya membentuk senyuman.
“Kamu satu-satunya keluarga yang aku miliki.”
Ada getaran pada suara Rose hingga membuatnya kembali mengulum bibir. Dahinya terlipat, keningnya mengerut dan sepasang pelupuk matanya tampak gemetar.
“So please don’t leave me.”
Suara Rose berubah menjadi lirihan. Dadanya pun gemetar saat ia tak mampu lagi menahan tangisannya.
Gadis itu akhirnya menyerah. Ia pun merebahkan tubuh hingga wajahnya mendarat di atas telapak tangan Axel.
“Please, come back to me,” lirih Rose.
Air mata tak terbendung lagi. Hati Rose pun bergetar dengan kuat hingga membuat dadanya terasa ngilu.
Ada sesuatu di dalam diri Rose yang seolah tak rela apabila Axel mendapatkan ingatannya kembali. Terlebih, jika itu menyakiti dirinya sendiri, sungguh Rose tak akan berpikir kedua kali untuk meminta siapa pun agar jangan memberikan ingatan Axel.
“Aku tidak sanggup.”
Suara yang terdengar nelangsa itu Terdengar hingga ke alam bawah sadar Axel.
Lelaki yang tengah tersesat dan sibuk mencari jalan untuk kembali. Cahaya berwarna putih yang muncul entah dari mana membuat lelaki yang sedang terkurung dalam kegelapan itu lalu menoleh.
“Axe, kumohon. Kembalilah. Kembali untukku, untuk kita. We’re a family now, aren’t we? So please open your eyes and come back to me. Please ....”
Lelaki yang sedang terjebak dalam kegelapan itu mulai menggerakkan tubuhnya. Sedikit demi sedikit. Suara itu bagai mendorong kekuatan untuknya dan membuat lelaki itu sanggup menggerakkan kedua kaki.
“Lenox ....”
Di saat ia sedang berjalan, tiba-tiba saja langkahnya terhenti saat mendengar panggilan dengan nada lirih tersebut.
Untuk sekelebat, lelaki itu kembali menoleh. Ia melihat seorang wanita sedang terbaring di atas lantai dengan kondisi lemah.
“Mom?” panggil lelaki itu.
“Go ahead,” ucap si wanita. Di akhir kalimatnya, ia pun menganggukkan kepala. “go!” katanya sekali lagi. “it’s over!” suara itu menggema.
“Mom, is it you?”
“Semua telah berakhir, Lenox, waktunya untuk melanjutkan hidup. Pergi dan carilah kebahagiaanmu.”
“Mom?!” Terdengar suara itu menggema dalam kepalanya. Ia berusaha berlari dan menghampiri wanita itu. Namun, sekuat apa pun ia berlari, ia seakan tak akan pernah sampai di depan sana.
“Just go, Lenox.”
“Mom, aku tidak akan pergi tanpamu!”
“No ....” Terlihat wanita di depan sana menggelengkan kepala. Wajahnya terlihat pucat dan lesu. “Ibu tidak bisa ikut denganmu, Nak.”
“Tidak!” tandas sang lelaki. Ia terus memaksa kedua kakinya untuk berlari. Sekuat tenaganya.
“Lenox, kamu punya kehidupan yang harus kamu jalani.”
“Tidak! Aku tidak akan ke mana pun jika ibu tidak ikut denganku.”
“Lenox, dengarkan Ibu. Kamu punya dua orang saudara. Mereka akan mencari keberadaanmu. Kamu masih punya ayah.”
“No! I don’t need anybody else. I just need you. Please, give me your hand.”
“I can’t ...,” lirih wanita itu.
“TRY IT!” teriak anaknya.
Dilihat pria itu, wajah ibunya kini berderai air mata. Wanita tersebut lalu menggelengkan kepalanya.
“I can’t, Lenox ...,” lirihnya sekali lagi.
“No, Mom, please, just try it ....” Lelaki itu tak kalah melirih. Dadanya pun bergetar sementara wajahnya serasa membesar bagai balon.
“I can’t!” kata wanita itu sekali lagi.
“Mom, please ....”
“Pergi selagi kamu bisa, Lenox. Tidak ada harapan lagi bagi Ibu. Satu-satunya harapanku hanyalah kamu. Pergilah.”
“No!”
“Pergi, Lenox. Pergi. Cari keberadaan Letty dan Leonard. Kumohon pergilah.”
“No ...,” teriak lelaki itu dengan nada nelangsa.
“Lenox,” lirih sang ibu. “just ... be careful.”
“No, MOMMY!”
***
“ELENA ....”
Suara itu menggema bersama tubuh Axel yang seperti ditarik dengan kuat hingga terduduk di atas bangsal dalam posisi terkejut.
“Axe?!” Rose yang sedari tadi berada di situ lalu menjadi panik.
Sementara lelaki yang sedang terduduk dengan tubuh yang gemetar ketakutan itu belum sepenuhnya mendapatkan kesadarannya.
Rose mendekat dengan cepat, memegangi kedua sisi wajah Axel.
“Axel, are you okay?” tanya Rose.
Masih dengan wajah ketakutan itu, Axel pun menganggukkan kepalanya. “Aku mengingatnya.”
DEG
Ucapan lelaki itu membuat jantung Rose berdetak dengan tekanan menyakitkan.
“Aku mengingat semuanya, Rose,” ucap lelaki itu sekali lagi.
Rose terdiam dengan kedua mata yang terbelalak dan sibuk memandangi wajah Axel dengan pandangan penuh kekhawatiran.
Entah apakah dia harus senang atau malah merasa sedih. Sebagian dirinya memberitahu bahwa sebentar lagi dia mungkin harus bersiap untuk kehilangan Axel.