“Tidurlah, aku akan menemanimu,” ucap Rose.
Gadis itu menarik sudut bibirnya ke atas, membentuk senyum sekadar untuk menyemangati Axel. Raut wajah Axel tampak sendu sedari tadi.
Dengan perlahan, Rose pun mendorong tubuh lelaki itu lalu membaringkannya di atas bangsal kemudian Rose pun menyusul membaringkan tubuhnya di samping Axel. Gadis itu sengaja memutar tubuhnya dan tanpa ragu, Rose pun melingkarkan tangannya ke pinggang Axel.
“Jangan takut, aku di sini,” gumam Rose dengan nada rendah.
Axel menengadahkan wajahnya ke langit-langit ruangan. Sekilas ia menoleh, lalu pria muda itu mendekatkan wajahnya. Rose pun dengan penuh pengertian merentangkan sebelah tangannya menyelip ke tengkuk Axel lalu menarik tubuhnya.
Gadis itu merangkul tubuh Axel dari samping sambil tangannya terus mengusap puncak kepala Axel.
Ada rasa takut yang sedari tadi mengungkung pikiran Axel, dan membuatnya resah. Ia pun mengumpul kedua tangannya di depan d**a kemudian mengubur wajahnya ke dalam pelukan Rose.
“I’m sorry, Rose,” gumam Axel setelah lama berdiam.
Rose yang mendengarnya lalu mengerutkan dahi. “Kamu tidak berbuat kesalahan apa pun, untuk apa minta maaf?”
Tanpa menatap Rose, Axel pun memilih untuk menggelengkan kepalanya. “Aku kembali merepotkanmu,” ucap lelaki itu.
Terdengar desahan napas panjang menggema. Dirasakan Axel jantung Rose berdetak stabil dan iramanya secara tidak langsung membuat Axel mulai merasa tenang.
“You know what,” Rose kembali berucap. “ketika Catherine masih hidup, aku sering mengatakan hal itu padanya. Dan kau tahu apa yang dia katakan?”
“Aku ingin mendengarnya,” ucap Axel.
“Katanya dalam satu keluarga tak boleh ada kata maaf dan tak boleh ada kata terima kasih,” ujar Rose.
Merasa bingung, Axel pun mendongak. Ada senyum yang menghiasi wajah Rose dan membuat jantung Axel berkedut aneh.
“Karena itulah gunanya keluarga.” Lanjut Rose. Didorong oleh instingnya, gadis itu pun membelai wajah Axel dengan punggung tangannya. Sentuhan itu membuat Axel refleks menutup kedua matanya. Ia pun menahan tangan Rose dengan menempelkan telapak tangan gadis itu ke pipinya.
“Keluarga ada di saat yang dibutuhkan. Senang, sedih. Keluarga satu-satunya tempatmu mencurahkan perasaanmu. Kamu tak perlu mengatakan tolong, karena keluarga pasti akan membantumu. Kamu juga tak perlu mengucapkan terima kasih, karena keluarga tak butuh imbalan ketika menolongmu dan ... kamu juga tak perlu memohon maaf karena keluarga semestinya akan mengerti keadaanmu. Apa pun dirimu, satu-satunya tempat yang bisa menerimamu hanyalah keluargamu,” ujar Rose.
Kelopak mata Axel pun terbuka. Untuk sekelebat, lelaki itu hanya memandangi wajah Rose. Seketika pria muda itu sadar, bahwa dia tak pernah memandangi wajah Rose sedekat ini. Masih dalam rasa takut yang menyelimutinya, terbesit begitu saja dalam pikiran Axel bahwa Rose itu benar-benar wanita tercantik di dunia.
Senyum yang terpatri di wajahnya menghantar kedamaian untuk Axel hingga secara perlahan mengusir ketakutan yang sedari tadi mengungkung pikirannya.
“Bukankah kita keluarga?” tanya Rose dengan suaranya yang begitu pelan, nyaris parau.
Sambil tetap memandang wajah Rose, Axel pun menganggukkan kepala. Entah mengapa jantungnya berdetak meningkat, tetapi kali ini tidak ada lagi rasa takut di sana. Hanya sebuah debar-debar yang membuat tengkuk Axel terasa panas.
“Look, apa pun yang kamu rasakan. Bagaimana pun itu, aku ingin kamu membaginya denganku,” ucap Rose. Sejenak ia menatap ke bawah. Gadis itu pun meraih tangan Axel lalu melilitkan jemarinya di antara jemari Axel.
“Suka dan duka.” Lanjut Rose. Ia pun kembali membawa tatapannya ke atas, memandangi wajah Axel yang kini menguar panas. “bagilah semua itu denganku. Aku juga ingin merasakan apa yang kamu rasakan.”
Axel menggeleng singkat. “Aku ragu apabila kamu ingin merasakan hal ini juga,” kata Axel.
Rose mengerutkan dahi saat mendengar ada getaran pada suara Axel. Napasnya pun tiba-tiba bergemuruh, membuat Rose refleks menarik wajah. Dengan cepat gadis itu mengangkat tubuh dan memutarnya ke samping.
“Ada apa?!” tanya Rose dengan rasa panik.
Mulut Axel terbuka, lantas mengalun napas kasar dari sana. d**a lelaki itu mengembang dan mengempis dengan cepat. Bibirnya terasa kering hingga Axel perlu membasahinya dengan liurnya.
“Aku tidak tahu,” ucap Axel terburu-buru dengan napasnya yang bergemuruh.
Melihat semua itu membuat Rose membulatkan mata. “Aku akan memanggil dokter,” ucapnya dan dengan cepat Rose memutar tubuhnya.
“No!” tandas Axel. Ia pun dengan cepat meraih pergelangan tangan Rose dan menahan pergerakannya. Seketika Rose memutar pandangan, menatap Axel sambil mengerutkan dahinya.
“Jangan panggil dokter,” kata Axel terburu-buru. Melihat tatapan Rose membuat Axel sadar bahwa gadis itu menghawatirkan dirinya. Ia pun menarik tubuh hingga terduduk di samping Rose.
“Aku baik-baik saja,” ujar Axel. “ju- just lay with me.” Lanjutnya lalu lelaki itu memalingkan wajah.
Entah mengapa, memandang wajah Rose membuat jantung Axel semakin berdetak meningkat. Ada satu dorongan kuat dalam hati yang menginginkan Axel untuk menyentuh bibir merah muda milik Rose.
“Kau yakin?” tanya Rose. Ia pun menjadi panik. Namun, Axel menganggukkan kepalanya dengan cepat.
“Hem,” gumam lelaki itu.
‘Sial!’ Lelaki muda itu menggerutu di dalam hatinya oleh karena jantungnya yang berdetak meningkat di setiap detiknya.
Merasa jantungnya mungkin akan copot sebentar lagi, Axel pun merebahkan tubuhnya. Ia tak berani menatap Rose hingga lelaki itu memilih untuk memutar tubuh.
“Kau yakin aku tak perlu memanggil dok=”
“Aku baik-baik saja,” sergah Axel dengan nada menekan. Reaksi aneh yang menggelenyar di tubuhnya membuat suara Axel terdengar meninggi.
Rose pun mendelikkan alis sambil memerengut bibir. “Oke ...,” gumam gadis itu.
Segera Rose mengambil tempat di samping Axel. Ia kembali mengerutkan dahi saat merasakan suhu tubuh Axel yang seperti menguar panas.
“Axe?” panggil Rose.
“I’m okay, Rose!” Axel berucap tanpa berniat untuk memandangi wajah Rose.
“Ya, tapi-“ Rose pun berinisiatif untuk meraba dahi Axel. Ia semakin mengerutkan dahi saat suhu tubuh Axel terasa hangat.
“Damn! Kamu demam?!” tanya Rose kali ini dia benar-benar panik.
“Tidak!” bantah Axel. Sekilas ia menoleh lalu dengan cepat lelaki itu kembali mengubur wajahnya di antara kedua tangan.
Sementara Rose melotot. “Tidak bagaimana, dahimu terasa panas!” Suara gadis itu pun naik setengah oktaf. Ia mendengkus. “aku akan memanggil dokter.
“Noway!” bentak Axel. Rose tersentak dan dengan cepat Axel memutar tubuhnya dengan cepat. “Sudah kukatakan, aku baik-baik saja!” ucap Axel dengan cepat, di antara napasnya yang kian bergemuruh.
“Tapi mengapa wajahmu terasa panas?” Rose pun tak kalah menuntutnya dengan pertanyaan.
Axel lalu mendengkus dan perlahan membawa punggungnya kembali ke permukaan ranjang. “Aku tidak demam,” kata Axel.
“Ta-“ Ucapan Rose terhenti saat Axel menarik tangannya dengan cepat hingga tubuh Rose mendarat kasar tepat di depan d**a Axel.
Gadis itu membulatkan mata. Terkejut oleh dua perasaan berbeda. Pertama karena tindakan Axel yang tiba-tiba menarik tangannya, kedua karena merasakan degup jantung lelaki ini yang berdetak tak karuan.
“Kubilang aku tidak apa-apa!” tandas Axel. Ia pun menahan wajah Rose tetap di sana supaya keinginannya untuk menciumi bibir Rose bisa tersingkirkan dalam otaknya.
‘Sial!’ Axel kembali mendesis dalam hatinya.