“Karina.” Panggilan itu membuat si gadis yang sedang duduk sambil menekuk wajahnya itu tersentak.
“Hah!” Karina mendesah berat sambil mendongakkan wajahnya.
“Hey, easy. It’s me.”
Gadis muda itu mendesah berat dan panjang hingga kedua bahunya ikut bergerak ke bawah. Karina lalu menjatuhkan wajahnya kembali.
Terdengar desahan yang sama meluncur dari Jared yang baru saja tiba sambil membawa sebuah paper bag berlogo coffeeshop terkenal. Ia meletakkan benda itu di atas meja. Mengambil satu seloki dan sebuah bungkusan berwarna cokelat kemudian memberikannya kepada Karina.
“Vanila latte, low sugar dan bagel,” ujar Jared.
Mendengar hal tersebut membuat Karina menyunggingkan senyum. “Thanks,” ucap gadis itu sambil mengambil pemberian Jared. Lelaki itu mengedikkan kepalanya ke kiri sambil menarik bahu kirinya ke atas.
“Anytime,” jawab Jared.
Dia kembali sukses membuat Karina tersenyum. Segera wanita itu menyesap vanila latte hangat di tangannya.
“Eum ....” Karina mendelik, menatap seloki dalam genggamannya.
“Kenapa?” tanya Jared. Dahinya mengerut, menatap kekasihnya.
Sejurus kemudian Karina menggeram sambil menutup kedua matanya. “For the bless of God, ini latte ternikmat yang pernah kucicipi,” ujar Karina yang langsung membuat Jared terkekeh.
“Kupikir apa,” gumam lelaki itu kemudian mengedikkan kedua bahunya. Jared lanjut menyesap espresso miliknya, sementara Karina beralih dengan membuka bungkusan yang ditaruh Jared di atas pahanya.
“Hem ... dari baunya saja sudah membuatku lapar,” ucap Karina.
“Oh ya?” Jared menanggapinya dengan cepat. Ia pun menoleh ke samping dan tersenyum saat kekasihnya menganggukkan kepala.
“Hem,” gumam Karina. Ia tak menunggu lama untuk langsung menggigit roti Amerika tersebut.
“EUM!” Karina kembali mendelik. “oh my God! Aku tak pernah mengira akan menikmati bagel senikmat ini di Bali,” ucap wanita tersebut. Sontak membuat Jared tergelak ironi.
“Kenapa? Apa di Jakarta tak ada yang senikmat bagel di Bali?”
“Definitely!” jawab Karina sambil memandang kagum roti berbentuk gelang di depan wajahnya.
Jared pun terkekeh. Ia menggeleng singkat dan lanjut menikmati espressonya.
Tak berselang lama, terdengar bunyi berdenting yang langsung membuat Jared dan kekasihnya mendelik, mengarahkan pandangan mata ke arah pintu.
“Selamat pagi, dokter,” sapa Delfi.
Tampak Karina membulatkan mata. Jared pun menoleh ke arah Karina. Wanita itu langsung bangkit dari tempat duduknya. Memasukkan roti kembali ke dalam bungkusan lalu meletakkannya bersama seloki ke atas meja.
“Marsel!” seru Karina dengan nada rendah.
Lelaki yang baru saja tiba itu kemudian memutar wajah. “Hey ....” Ia mendesah panjang menghampiri Karina bersama Jared.
“What happened?” tanya Marsel. Ia menoleh ke samping lalu tersenyum sambil memberikan kepalan tangan kanannya. Jared ikut tersenyum lalu mengayunkan kepalan tangannya ke arah tangan Marsel, mereka melakukan fist pump.
Desahan bernada berat dari Karina membuat Marsel kembali membawa seluruh atensinya kepada wanita yang tidak lain adalah teman sejawatnya tersebut.
“Marsel, aku akan menceritakan semua, tetapi bisakah kita ke ruanganmu?” tanya Karina.
Sempat mengerutkan dahi, tetapi akhirnya Marsel pun mengangguk. “Of course,” jawab lelaki itu. Ia pun mengulurkan tangan kirinya menunjuk sebuah lorong.
Entah mengapa, Karina jadi hobi mendesah berat. Namun, sebenarnya hati Karina sedang berkedut dan pikirannya dikungkung dua perasaan berbeda. Takut apabila Marsel akan melaporkannya, kedua cemas memikirkan kondisi si lelaki yang telah menjalani operasi tersebut.
“Kalau begitu ayo,” kata Marsel dan dibalas dengan anggukkan kepala, baik oleh Karina maupun Jared.
Marsel membawa mereka ke sebuah ruangan di mana ruang itu adalah ruang kerja sekaligus ruang pribadinya. Cukup luas. Ada perpustakaan kecil, sofa sudut persegi panjang terletak di sisi kanan ruangan sebagai tempat dokter Marsel melepas lelah. Ada juga sebuah kursi kerja, meja kotak berukuran 1.5 meter, dua buah kursi berada di depan meja dan di sanalah Karina duduk bersama kekasihnya.
“Oke ....” Dokter Marsel berucap dengan nada panjang sebelum ia menjatuhkan bokongnya pada kursi kerja.
“Sekarang katakan padaku apa yang sedang terjadi,” ujar lelaki itu. Ia pun memicingkan mata menatap kedua orang di depannya. “dari raut wajah kalian sudah menjelaskan bahwa ini adalah hal serius.” Lanjutnya.
Sekilas Karina memalingkan wajahnya menatap sang kekasih sebelum ia kembali menatap dokter Marsel. Karina pun menelan saliva untuk membasahi kerongkongannya yang terasa kering.
“Marsel, aku akan menceritakan sesuatu, tetapi kuharap kamu tidak akan menghakimi aku.”
Dokter Marsel tergelak. “Astaga, Karin?! Sudah berapa lama kita berteman, apakah aku pernah menghakimi seseorang? You know me so well,” kata dokter Marsel dan membuat Karina menganggukkan kepalanya.
“Ya, untuk itulah aku datang kepadamu karena aku tahu bahwa kamu selalu berpikir dari dua sisi,” kata Karina.
Dokter Marsel mengedikkan kedua bahu. “Kalau begitu kamu bisa mulai menceritakannya,” ucap lelaki itu.
Namun, tampaknya Karina membutuhkan waktu. Ia pun menarik napas dalam-dalam, kembali menoleh ke samping dan Jared menganggukkan kepala untuk memberikan dukungan. Lantas mulut Karina terbuka dan membiarkan desahan napasnya lolos dari sana.
“Oke, jadi begini.” Karina masih butuh waktu tambahan. Kepalanya berkedut menahan sakit, kemudian ia pun mendesah berat untuk kesekian kalianya.
“It’s okay, take your time,” kata dokter Marsel yang menangkap keragu-raguan di wajah Karina.
Sekali lagi Karina menelan saliva. Sungguh, ini begitu sulit. Mulutnya megap-megap dan mendadak keluh sehingga ia harus menelan saliva berulang kali.
“So!” Karina sengaja menyentak ucapannya untuk membangun keberanian di dalam dirinya.
“Aku ke Bali untuk merayakan kelulusanku. Aku berencana untuk membuat pesta di vila, tetapi aku mendahuluinya dengan berpesta bersama Jared. Kami ke bar dan menenggak alkohol. Lalu saat perjalanan pulang, aku tak sengaja menyenggol seseorang,” ujar Karina.
Untuk sekelebat, tidak ada reaksi berlebihan yang ditunjukkan oleh dokter Marsel. Namun, kedua alisnya mulai berkedut lantas mengerut kemudian.
“And ... then?” tanya dokter Marsel akhirnya.
“Aku panik. Padahal aku telah menghindarinya hingga nyaris saja mobilku terpental ke pantai, tetapi entah mengapa. Aku juga tidak mengetahuinya. Semuanya terjadi begitu cepat.”
“Hey,” Jared memanggil dengan nada lembut saat mendengar ucapan kekasihnya. Lelaki itu lalu memegang tangan Karina. “it’s okay, kamu tidak bersalah. Lanjutkan saja.”
Perkataan Jared membuat Karina tersentuh sehingga bibirnya pun bergetar. Ia tak menyangka bahwa Jared akan bersikap seperti ini karena sebelumnya ia sempat merutuki Karina karena kebodohannya.
Wanita itu kembali menganggukkan kepala dan memutar pandangannya, menatap dokter Marsel. Berkali-kali Karina mendesah, karena ini benar-benar membuatnya gugup sekaligus takut.
“Jadi aku membawanya kemari dan berharap akan mendapatkan pertolongan. Ponselku mati, jadi aku tidak bisa menghubungimu. Untuk itu aku menyuruh staf rumah sakit menghubungimu, tetapi berkali-kali pun kamu tidak menjawab teleponnya. Aku semakin panik. Kupikir nyawanya tidak akan tertolong lalu naluri menyuruhku untuk segera mengambil tindakan. Dan akhirnya aku bermohon-mohon pada staf rumah sakit untuk meminjamkan ruang UGD. Lalu saat berada di sana, aku langsung berinisiatif untuk memberikan tindakan. Marsel, aku tahu ini melanggar kode etik. Ini juga sesuatu yang ilegal, tetapi aku tidak punya pilihan lain,” ujar Karina panjang lebar.
Selama beberapa detik yang terasa panjang, dokter Marsel terdiam dan tak langsung merespon. Semua itu menimbulkan ketegangan di dalam diri Karina sehingga jantungnya pun mulai berdetak penuh kewaspadaan.
“Marsel, aku sungguh minta maaf. Aku benar-benar tidak memiliki pilihan lain,” kata Karina dengan wajah memelas.
Sedetik berlalu, dokter Marsel tampak menghela napas dalam-dalam. Sambil mematri pandangan kepada Karina, ia mulai menarik punggung.
“Marsel, kumohon katakan sesuatu.” Karina terus menanti. Namun, yang terdengar selanjutnya hanyalah desahan napas berat.
“A-“ Mulut dokter Marsel yang telah menganga itu tak memberikan sepatah kata lagi. Hingga akhirnya terdengar suara ketukan pintu yang membuat tiga orang itu bergeming.
“Dokter,” panggil seseorang di luar ruangan dan sepertinya Karina sudah cukup familier dengan suara tersebut.
“Masuk!” seru dokter Marsel yang membuat Karina langsung menoleh padanya.
Delfi di sana. Menatap seisi ruangan dengan wajah tegang dan serius. Desahan napasnya pun mengalun berat menandakan bahwa kedatangannya bukanlah untuk sebuah kabar baik.
“Pasien yang menjalani operasi tadi subuh sudah siuman.”
DEG
Jantung Karina pun seperti mendapatkan lemparan kuat. Refleks, ia langsung memutar wajah menatap sahabat karibnya. Dan lelaki itu pun menatapnya. Sekilas terasa hening dan terjadi ketegangan di sisi tempat duduk Karina dan Jared sampai akhirnya dokter Marsel melepaskan desahannya dari mulut.
“It’s okay,” ucap lelaki itu akhirnya. “niatmu hanya ingin menyelamatkan nyawa orang dan itu sudah menjadi tugas kita. Kupikir itu tidak akan melanggar kode etik selain kamu yang memakai klinikku tanpa izin, tetapi untuk kali ini aku memaafkannya. Aku memahami sepenuhnya dengan kondisimu dan kuharap berita ini tidak menyebar luas karena kita tahu bersama konsekuensinya,” ujar dokter Marsel panjang lebar.
Karina dan Jared mendesah sambil menutup mata. Setidaknya mereka telah mendengar kabar baik dari Marsel.
“Sekarang ayo kita pergi dan melihat kondisinya,” ucap dokter Marsel. Ia pun bangkit dari kursi kerjanya. Mengambil jas berwarna putih yang digantung di samping tempat duduk lalu mengajak dua orang itu untuk ikut bersamanya.
Ketegangan yang sempat mereda itu kini mencuat kembali seiring perjalanan mereka menuju ruang perawatan. Jantung Karina berdetak meningkat dan membuatnya takut.