7. Well Done

2014 Kata
Awalnya Karina terbelalak, tetapi sejurus kemudian ia pun mengerutkan dahi saat melihat ada goresan di sisi kanan kepala si lelaki. “Permisi ....” Mendengar suara itu membuat Karina langsung menoleh. Tampak seorang wanita muda berdiri di ambang pintu. “Bu Delfi menyuruhku kemari.” Mulut Karina langsung terbuka. “Oh, hey, kemarilah,” panggilnya lengkap dengan mengedikkan kepala. Terlihat pandangan was-was sekaligus menyelidik dari wanita muda yang berjalan sambil mematri tatapan padanya, membuat Karina terpaksa menyunggingkan senyum. “Aku Karina, aku temannya dokter Marsel. Jangan khawatir, aku seorang dokter,” jelasnya. Padahal Karina sendiri tahu bahwa perkataannya itu tak dapat membenarkan tindakannya saat ini. Sebab, jika ada orang yang melihat hal ini, mereka akan melaporkan rumah sakit keluarga ini dan pasti tempat ini akan segera ditutup. “Tenang saja. Tak akan ada yang tahu. Ini sudah larut,” ujar Karina. Terdengar desahan napas panjang yang mengalun di sisi kiri bangsal. Membuat Karina ikut menoleh. Dilihatnya wajah sinis si wanita persis sama dengan Delfi. Namun, Karina tak mau mempermasalahkannya untuk saat ini. “Apakah kamu datang untuk membantu?” tanya Karina. Wanita itu mendengkus, tetapi kemudian ia pun menganggukkan kepalanya. “Baiklah, kalau begitu tolong bantu aku. Bisakah kamu mengecek golongan darahnya?” tanya Karina. Raut wajah wanita itu terlihat bersungut-sungut. Tampak dari caranya mengembuskan napas, sudah pasti wanita itu sebenarnya tak ingin membantunya, tetapi mau bagaimana lagi. Walaupun luka lelaki ini ternyata tak seperah yang dikira oleh Karina, dia tetap membutuhkan bantuan. Wanita itu akhirnya mengangguk, kemudian ia berjalan ke ruangan kecil di dalam Unit Gawat Darurat tersebut untuk mengambil sesuatu. Ia mendekat lagi sambil membawa alat untuk melakukan tes darah. “Hey, siapa namamu?” tanya Karina. “Ulfa,” jawabnya. “Ulfa, tolong bantu aku membalikkan tubuhnya. Aku harus menjahit bagian belakang kepalanya,” ujar Karina. Ulfa pun mengangguk dan menghampiri Karina. Mereka memutar tubuh lelaki itu perlahan-lahan sambil menjaga alat yang terpasang di d**a dan wajahnya tetap aman. “Thanks,” ucap Karina. Ia tersenyum samar untuk menutupi setitik rasa gugup. “Hem,” gumam Ulfa sederhana. Lantas Karina mulai melakukan pekerjaannya. Ia harus menggunting bagian rambut si lelaki, lalu membersihkan goresan luka. “Kalian punya anastesi umum?” tanya Karina. Wanita itu mendongak. Untuk sekelebat ia terdiam lalu tampak dahinya mulai mengerut sebelum akhirnya ia menjawab, “Ya, ada. Kami punya yang intravena,” jelas Ulfa. “Kalau begitu ambilkan. Dia akan membutuhkannya,” ujar Karina. Perawat bernama Ulfa itu mengangguk. Ia kembali ke dalam ruangan kecil tempat ia mengambil alat tes darah. Lalu ia datang sambil membawa suntik dan sebuah botol infus IV. Ia langsung menggantungkan benda tersebut di sebuah tiang lalu memasang jalur intravena yang terhubung langsung ke pembuluh darah bagian kanan. “Sudah,” ucap Ulfa. Karina menoleh padanya sejenak. “Terima kasih,” ucap wanita itu. “kamu sudah selesai mengecek darahnya?” tanya Karina. Ulfa mengangguk dan menoleh pada alat di atas nakas. “Golongan darahnya O rhesus positif,” jelas Ulfa. “Kalian punya persediaan darah? Sekantung saja,” ujar Karina. “Biasanya kami membelinya di Bank Darah Rumah Sakit umum,” jelas Ulfa. Seketika membuat Karina mengerutkan dahi. ‘Jika mengambil di BDRS, pasti mereka akan meminta data pasien. Sial! Aku harus bagaimana. Apakah mungkin lelaki ini tidak membutuhkan salinan darah?’ batin Karina. Ia pun menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya dengan tenang. Sekilas menatap Ulfa lalu kembali fokus pada pekerjaannya. “Baiklah, tak mengapa. Kita akan mengecek darahnya, secara berkala dan apabila ia membutuhkan salinan darah, maka aku sendiri yang akan memberikannya,” ujar Karina. Tidak ada tanggapan berarti dari lawan bicaranya. Namun, raut wajah wanita itu juga tampak tegang. Dan Karina memahaminya dengan benar. “Aku butuh bantuanmu,” ucap Karina lagi. “Ya, aku di sini dan siap membantu,” jawab Ulfa. “Aku akan menjahit bagian belakang kepala yang tergores, sepertinya luka di bagian kepala ini tak terlalu parah, tetapi aku butuh bantuan untuk melakukannya. Kita bisa lakukan bersama?” Selama beberapa detik, Ulfa terdiam lalu akhirnya ia menganggukkan kepala. Segera wanita itu berjalan ke sisi kanan brankar dan membantu Karina menyelesaikan pekerjaannya. Operasi berjalan dalam keheningan. Hanya terdengar bunyi dari alat pendeteksi jantung yang berdetak normal. Karina sangat berkonsentrasi terhadap pekerjaannya. Segampang apa pun itu, ini tetaplah sebuah operasi dan Karina perlu penenangan diri dan berharap saat lelaki ini sadar, ia tak akan melaporkan Karina ke penjara. *** Bali – Indonesia 04.47 am ________ Ternyata yang dipikir Karina mudah tak juga semudah yang diharapkannya. Operasi memakan waktu satu setengah jam dan ia telah menyelesaikannya dengan baik. Desahan napas meluncur keluar dari mulut Karina sebelum ia membungkuk dan membasuh wajahnya. Ketegangan itu masih terasa. Rasa gugup pun menyeruak. Walaupun Karina telah melakukan tanggung jawabnya, tetapi ia kini merasa gugup apabila lelaki itu telah sadar, lalu bagaimana Karina akan menjelaskan situasi yang terjadi padanya? Syukur-syukur kalau dia tidak mengingat raut wajah Karina, tetapi bagaimana jika nanti dia mengenali Karina lalu menuntutnya atas apa yang terjadi. “Hah ....” Karina menggelengkan kepalanya dan berusaha untuk tenang, tetapi di sisi lain dia juga harus mempersiapkan dirinya untuk kemungkinan terburuk. Setelah membasuh wajahnya, Karina pun melepaskan seragam operasi beserta sarung kepala sebelum ia kembali memasuki ruang operasi. “Dokter, karina operasi telah dijalankan, maka dia perlu dipindahkan ke ruangan,” ujar Ulfa yang masih ada di sana. “Oh ya,” jawab Karina. “aku yang membawa pasien ini kemari. Akan kubayar semua administrasinya. Tolong, pindahkan saja dia ke ruangan dan berikan apa yang dia butuhkan. Oh ya, infusnya juga diganti dengan cairan saja. Aku butuh persiapan sebelum melakukan donor darah,” ujar Karina. Wanita di depannya mengangguk. “Aku masih butuh bantuan untuk memindahkannya ke ruangan.” “Oh tentu,” jawab Karina. “ayo,” ucapnya. Ulfa mengangguk, lalu Karina menghampiri brankar tempat lelaki itu berbaring. Bersama Ulfa, Karina mendorong brankar tersebut dan memindahkannya di sebuah ruang perawatan. Karina tak menyangka jika rumah sakit milik Marsel ini dilengkapi dengan alat-alat yang lengkap di setiap ruangannya. Seperti yang ada di sini. Ada alat pengukur detak jantung, tabung oksigen dan lain-lain yang dibutuhkan, sehingga Karina tak merasa sulit lagi. Setelah memastikan kondisi si lelaki baik-baik saja, Karina memutuskan untuk keluar. “Hey, aku harus menghubungi dokter Marsel dan ponselku kutitipkan di lobi. Apa aku bisa ke sana?” Untuk pertama kalinya Ulfa akhirnya tersenyum. “Tentu,” ucapnya dengan senyum formal tipis di wajah. Karina mendesah lega. Ia tertawa singkat sebelum melangkah menuju lobi. Di sana, ia melihat seorang lelaki sedang duduk sambil mengubur wajah di dalam telapak tangan. “Jared?” gumam Karina. Mengenali tato di sekujur lengan kanan lelaki itu membuat Karina mempercepat langkahnya. “Jared?” Panggilan tersebut sukses membuat lelaki yang duduk sambil membungkukkan badannya itu lalu mendongak. Ia pun menghela napas dalam-dalam sebelum akhirnya bangkit dan membuka kedua tangannya. Karina yang melihatnya lalu langsung melempar tubuhnya ke dalam pelukan lelaki di depannya. Karina menutup kedua mata saat merasakan kecupan hangat pada puncak kepala Jared. “Jared, kupikir kamu sudah ....” Karina tak dapat meneruskan ucapannya saat memandang wajah lesu sang kekasih. Ia pun mendesah dan kembali memeluk tubuh kekasihnya. “Maafkan aku,” gumam Karina. “It’s okay, aku mengerti. Tapi lain kali jangan mengusirku, oke?” Karina mengangguk. Ia kembali mendongakkan wajah. “Ya, maaf untuk itu dan terima kasih sudah kembali.” Karina tersenyum di akhir kalimat. “Sebenarnya aku tidak ke mana-mana,” kata Jared. “Oh ya?” “Hem,” gumam lelaki itu. “aku ingin pulang, tapi tak punya kendaraan.” Mendengar penjelesan tersebut membuat Karina tergelak. Ia kembali memeluk tubuh Jared. “Ada-ada saja,” gumam Karina. Jared menanggapinya dengan senyum. “Lalu, bagaimana keadaan lelaki itu?” tanya Jared. Karina kembali menarik dirinya dari dalam pelukan Jared. “Dia selamat,” ucapnya. Jared pun mendesah lega. “Oh, syukurlah. Semoga dia bisa cepat sadar dan kita bisa kembali ke rumah.” Karina pun mengangguk. “Ya, semoga saja,” ucapnya. Saat membalikkan tubuh, tatapan mata Karina langsung tertuju pada Delfi yang duduk di belakang kubikel. Seketika membuatnya sadar bahwa ada yang harus dia lakukan. “Oh ya, aku harus menelepon dokter Marsel,” ujar Karina. Jared lalu mengangguk dan mengedikkan kepalanya menyuruh Karina bergegas. Wanita itu menghampiri meja kerja milik Delfi. “Hey,” sapanya. Lalu Ulfa mendongak. “terima kasih atas bantuanmu. Operasinya berjalan dengan lancar, tinggal menunggu lelaki itu sadar supaya aku bisa menghubungi keluarganya,” ujar Karina. “Bersyukur kepada Tuhan,” gumam Delfi. “Ya, syukur kepada Tuhan,” ucap Karina. “oh ya, apa ponselku sudah terisi penuh?” tanya Karina. Delfi pun menoleh dan mengambil ponsel milik wanita di depannya kemudian memberikan benda itu pada Karina. “Terima kasih,” katanya. Delfi menjawab dengan anggukkan singkat. Tak menunggu lama bagi Karina untuk langsung menghidupkan ponselnya yang sudah terisi penuh. Ia langsung menelepon sahabat karibnya tersebut. “Hem.” “Oh, thank God, finally you answer my calling,” ucap Karina saat mendengar suara di seberang sambungan telepon. “Karina?” gumam suara yang terdengar serak dan parau itu. “Ya, aku,” jawab Karina. “sebelumnya aku minta maaf karena sudah mengacaukan pagimu, tapi aku berada di rumah sakit milikmu.” “Oh ya?!” Suara di seberang sambungan telepon terdengar sedikit terkejut. “Ya,” jawab Karina dengan tenang. “Apa kau sakit?” tanya Marsel. “Tidak,” bantah Karina. “Jared?” “Bukan,” jawab Karina dan refleks ia menoleh pada kekasihnya. “Lalu?” Karina mendesah. “Marsel, bisakah kamu ke rumah sakitmu sekarang? Akan kujelaskan semuanya di sini.” Untuk sekelebat, tak ada suara yang menyahut. Hening selama beberapa detik dan yang terdengar hanya napas yang memberat. “Marsel, aku minta maaf sekali lagi, tapi aku tak dapat menjelaskan situasinya di telepon. Kamu sedang ada di Bali, kan?” “Ya,” jawab Marsel. “of course.” Lanjutnya. “aku hanya sedikit terkejut,” ucap Marsel. Karina pun tertawa rendah. “Aku mengerti. Dan maafkan aku untuk itu. Jadi, bisakah kamu kemari?” “Ya, aku akan ke sana, tapi aku butuh mandi.” Karina tergelak rendah. “Tentu. Kalau begitu bersiaplah, aku akan menunggumu di sini,” kata Karina. “Baik, aku akan ke sana secepatnya.” “Oke, terima kasih dan sekali lagi maafkan aku.” Marsel tertawa rendah. “Tak mengapa. Aku jadi penasaran dengan kondisimu. Baiklah. Beri aku satu jam untuk bersiap-siap.” “Hem, take your time.” “Oke, see you.” “See you.” Dengan begitu, Karina pun mengakhiri sambungan telepon lalu memutar tubuhnya menghadap Jared. Ia kembali memeluk tubuh pria itu. “Bagaimana?” tanya Jared dengan nada lembut. “Dia akan segera kemari,” jawab Karina. Jared mendesah. Ia mendongak sekilas lalu merangkul tubuh kekasihnya. “Syukurlah,” gumam Jared. Karina pun mengangguk. “Kalau begitu duduklah. Akan kucarikan sesuatu untuk membuatmu tenang. Kamu mau espresso?” tanya Jared. Karina memanyunkan bibir, tetapi kemudian menganggukkan kepala. “Boleh, kalau bisa dengan bagel.” Jared pun terkekeh rendah. “Tentu. Tunggu di sini dan akan kembali secepatnya,” kata Jared. Karina mengangguk dan Jared bersiap memutar tubuh. “Hey,” panggil Karina. Ia menarik lengan kekasihnya. Jared menatapnya dengan kening yang mengerut. “Thanks,” ucap Karina. Jared tersenyum samar sebelum berucap. “Anytime for you, Babe.” Lelaki itu memberikan kecupan pada dahi Karina dan dibalas oleh Karina. Ia mengecup pipi Jared dan bibirnya dengan kilat. Mereka tertawa bersama. “Baiklah aku akan pergi dan membawakan sesuatu yang bisa menenangkan pikiranmu.” Sambil mempertahankan senyum di wajah, Karina pun mengangguk. “Thank you,” ucapnya sekali lagi. Jared mengangguk dan segera melesat keluar. Karina mendesah panjang. Tubuhnya mendadak lesu lalu ia pun membaringkan tubuhnya di sofa panjang. Membuka menu obrolan di ponselnya, Karina melihat chatting yang dikirimkan sahabatnya di Jakarta. Aku kena masalah, tulis gadis itu. Karina mengerutkan dahi membaca nama Rose di sana. Ia ingin prihatin, tetapi mata Karina sudah sangat lelah. Dan wanita itu baru sadar bahwa dia belum tidur semalaman. Maka Karina memilih untuk mengistirahatkan matanya sejenak sebelum menyusun kata untuk menjelaskan situasi yang ia alami kepada Marsel.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN