9. The Last Hand

1354 Kata
Langkah Karina sempat terhenti di depan pintu. Gadis itu tampak menarik napas dalam-dalam, menoleh ke samping pada Jared yang ikut menghentikan langkahnya. Lelaki itu menganggukkan kepala, seolah-olah memberikan dukungan yang lebih berarti dari sepenggal kalimat. Jared mendekat. Merangkul tubuh Karina kemudian menepuk pundak kanan gadis itu. Jared pun mendesah berat, “Ayo selesaikan ini,” ucapnya. Lelaki itu lalu mengedikkan kepala menunjuk ke dalam ruangan. Karina pun mengangguk setuju. “Hem,” gumamnya singkat. Sekali lagi Karina menghela napas dalam-dalam lalu mengembuskannya dengan cepat. Wanita itu akhirnya mengambil langkah masuk ke dalam ruangan. Salah satu perawat yang tadi membantu Karina telah berada di dalam dan ia tampak sudah mengecek kondisi si lelaki yang terbaring dalam kondisi setengah sadar. “Periksa tekanan darahnya,” perintah dokter Marsel langsung. “Sembilan puluh per enam puluh, Dokter,” jawab Ulfa. Sekilas ia memandang si pria dan wanita yang baru saja memasuki ruangan. Mendengar hal tersebut, membuat dokter Marsel sontak menoleh pada alat pengukur tekanan jantung. Matanya pun sedikit terbelalak saat membaca angka 120 bpm. “Syok hipovolemik,” gumam Karina yang ternyata juga memantau dari belakang. Dokter Marsel langsung memutar tubuh. Ia tak berkata apa pun selain mengembuskan napas panjang dengan sedikit gerakan di kepala. Seketika membuat Karina sadar penyebabnya. “Marsel,” panggil Karina namun setelah menyadari sesuatu ia pun menggeleng. “Dokter,” koreksinya. “pasien mungkin kehilangan banyak darah, kami sudah memeriksa golongan darahnya sebelum melakukan operasi dan golongan darahnya O rhesus positif, dan itu sama denganku. Aku siap mendonorkan darahku.” “Apa?!” bentak Jared. Matanya melebar memandang kekasihnya dengan pandangan nyalang. Karina pun mendesah. “Tak apa, dia hanya butuh sekantong,” ujar Karina dengan tenang. “Karina, aku bisa membiarkan kamu membantu lelaki itu dan semua yang kamu lakukan sudah terlalu jauh dan untuk yang satu ini ...,” Jared menggelengkan kepala. “aku tidak setuju.” Lanjutnya. Tampak Karina menghela napas lalu mengembuskannya dengan cepat. “Jared, tidak ada waktu untuk berpikir panjang. Jika harus ke rumah sakit umum untuk mengambil darah, maka kita juga harus menunjukkan identitas pria itu. Sementara kita tak punya apa-apa yang bisa menunjukkan identitasnya. Dan jika dibiarkan, tekanan darahnya bisa semakin menurun.” “Aku tidak peduli!” sergah Jared. “apa pun alasanmu, aku tak akan menoleransinya,” tegas lelaki itu. Membuat Karina mendesah gusar. “Jared, kita sudah sejauh ini dan setelah semua yang sudah kita lakukan, aku tak bisa membiarkan nyawa lelaki ini berada dalam bahaya.” Jared mendengkus. “Ya, tapi-“ “He- help.” Mendengar suara itu membuat semua orang sontak memalingkan wajah dan memusatkan atensi penuh kepada si lelaki yang berada di atas bangsal. Sontak, Karina pun mengambil langkah. Melesat menuju sisi kanan bangsal. Tampak kelopak mata lelaki itu terbuka tutup dan tak konsisten, sebab masih ada pengaruh obat bius yang memengaruhinya. “Help.” Satu-satunya kata yang keluar dari mulutnya hanyalah permintaan tolong. Sekejap Marsel mengerutkan dahi lalu ia mendongak menatap Karina. “Dia bukan penduduk lokal,” ujar Marsel. Karina pun mengangguk. “Mungkin salah satu turis. Kami menemukannya di tepi pantai Melasti.” Karina mendapati sesuatu dari ucapannya sendiri yang membuat gadis itu menoleh pada Marsel dan tepat saja. Ada kecurigaan yang ditangkap Karina dari pandangan matanya. “Maksudku, kejadian itu terjadi di seputaran pantai Melasti. Saat aku dan Jared menempuh perjalanan pulang,” jelas Karina. Tak ada tanggapan dari dokter Marsel, tetapi lelaki itu kemudian mengedikkan kedua keningnya dan kembali memusatkan atensi pada si pasien yang entah siapa namanya.   “Baiklah,” Ucapan Marsel disertai dengan desahan napas panjang. “yang terpenting saat ini adalah penyembuhan pasien. Seperti katamu, kita harus segera memberikan penanganan, sebab jika tidak pasien bisa mengalami collapse,” ujar dokter Marsel. Karina mengangguk setuju. Ia tahu persis apa yang harus dia lakukan saat ini, tetapi masalah terbesarnya adalah Jared. Bagaimana membuat lelaki itu mengerti bahwa penting bagi Karina melakukan donor darah. Gadis itu kembali menoleh ke belakang, menatap kekasihnya. Belum sempat Karina berucap, Jared sudah lebih dulu mendengkus. “No!” tandas Jared lengkap dengan pandangan tegas. Karina mendesah berat. Sekilas memutar wajahnya ke belakang lalu meminta izin lewat sebaris senyum yang ia paksakan itu. Dokter Marsel mengangguk, memberikan gesture kepada Karina untuk membicarakan hal ini baik-baik dengan Jared. “Jared, ayo bicara denganku,” ucap Karina menarik kekasihnya keluar dari ruangan. Jared terus mengembuskan napas gusar. “Karina, aku tidak mengerti lagi denganmu.” Jared pun memandang kekasihnya dengan pandangan resah. “Honey,” panggil Karina dengan nada lembut. Ia pun tersenyum sendu lalu kedua tangannya bergerak meraih tangan Jared. “Aku paham bahwa kamu sangat menghawatirkan aku dan aku berterima kasih untuk semua itu. Demi Tuhan, Jared, kamu satu-satunya lelaki yang mengerti aku. Perhatianmu sangat besar dan untuk itulah aku hanya mencintaimu.” “Jika sudah tahu begitu, seharusnya kamu tidak mengecewakan aku, Karina.” “I’m not,” bantah Karina sambil menjaga nadanya agar tetap terdengar rendah. Gadis itu mengambil gerakan, mendekatkan tubuhnya pada lelaki di depannya. Karina pun menangkup wajah kekasihnya itu. “Aku berusaha untuk tidak mengecewakanmu, tetapi mengertilah untuk kali ini saja. Izinkan aku memberikan bantuan untuknya.” Mulut Jared terbuka besar dan mendesah dari sana. “Kamu sudah memberikan yang terbaik, Karina.” “Ya,” Karina menekan nadanya barusan. “namun semua itu tak akan berarti apabila lelaki itu malah kehilangan nyawanya. Lagi pula hanya sekantung Jared. Aku tak akan mati dengan memberikan sekantung darahku untuk menyelamatkan nyawa pria itu.” “Setelah sekantung dan ternyata dia masih membutuhkan yang lebih maka apa yang akan kamu lakukan, hah? Kamu pasti akan dengan bodohnya memberikan dia sekantung lagi dan jika ternyata dia masih membutuhkannya kamu akan memberikan semua darahmu padanya.” Jared mendesah kasar hingga dadanya bergetar. Karina yang melihat tingkah kekasihnya lalu terkikik. Jared pun berdecak bibir. “Ya, tertawalah! Lagi pula semua ini hanya lelucon bagimu!” Jared pun memalingkan wajah, tetapi dengan cepat Karina menangkupnya dan menengadahkan wajah tampan itu menghadap padanya. “Itu tidak akan terjadi,” kata Karina. “lagi pula aku seorang dokter. Aku tahu mana yang harus kulakukan. Walaupun aku ingin menolong nyawa lelaki itu, tetapi bukan berarti aku juga rela menyerahkan nyawaku. Tidak.” Karina menggelengkan kepalanya. “aku tak akan sebodoh itu, Jared.” Lanjutnya. Lelaki blasteran India Irlandia itu lalu mendengkus. Ia pun memalingkan wajah sambil melayangkan kedua tangannya ke udara. Karina tahu bahwa itu sebuah kode sebagai tanda bahwa Jared menyerah dengan keputusannya. “Well, itu tubuhmu, Karina. Aku bisa apa jika kamu bersikeras.” Mendengar ucapan itu membuat Karina tersenyum semringah. Ia pun berjinjit lalu mendaratkan kecupan di bibir Jared. “Tetapi ingat satu hal!” kata Jared kembali. Ia pun menegaskan ucapannya dengan membawa telunjuk ke depan wajah Karina. “ini terakhir kali. Setelah pria itu siuman, kita pergi.” Karina pun mengangguk. “Ya,” ucapnya antusias. Wanita itu mendekat dan melempar wajahnya ke d**a bidang Jared. “Jared, you’re the best,” gumam Karina penuh antusias. Sekali lagi Jared mendengkus. Tak ada pilihan lain baginya. Dia tahu persis bahwa tak ada yang bisa menentang pikiran seorang Karina. Setelah mendapatkan izin dari Jared, Karina akhirnya kembali ke dalam ruangan. “Marsel, aku siap mendonorkan darah,” ucapnya. Hati Karina berdebar-debar. Mungkin ini hanya reaksi naluriah dan sering kali terjadi saat Karina berhasil menyelamatkan nyawa orang lain. Mendengar kabar baik itu membuat dokter Marsel mengangguk, pun memberikan senyum di wajah. Ia segera memutar pandangan menatap perawat yang berdiri di seberang arah. “Antarkan dokter Karina ke ruang pengambilan darah dan bergegaslah. Waktu kita semakin menipis,” ujar Marsel. “Baik, Dok,” jawab Ulfa. Ia pun memutar tubuh menghadap Karina kini. “mari, Nona.” Merasa ada sesuatu yang salah, Ulfa pun menggeleng singkat. “maksudku, Dokter.” Sambil mematri senyum di wajah, Karina pun mengangguk. Sekilas ia kembali menoleh ke samping, mendapati napas berat kekasihnya. Namun, sejurus kemudian Jared pun menganggukkan kepalanya. Maka Karina pun memutar tubuh sepenuhnya menghadap pada Ulfa. “Ayo,” ucapnya. Dengan begitu wanita itu mengikuti si perawat menuju ruang pengambilan darah. Sementara dokter Marsel melakukan pengecekan berkala pada kondisi si lelaki muda yang terbaring di atas bangsal.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN