“Rose, ayolah. Katakan padaku,” ucap Axel sangat tidak sabaran.
Gadis muda yang duduk di sampingnya lalu mendesah dan seketika wajahnya menjadi lesu. “Tidak bisakah kita turun dulu? Kamu mau semalaman di dalam mobil?” tanya Rose dengan suara tanpa nada dan dengan wajah yang tak berekspresi.
Axel pun memalingkan wajah, lantas mendengkus. Lelaki itu terdiam. Namun, dari gerak-geriknya, dia juga tak mau turun dari mobil. Seakan tahu persis apa yang akan dilakukan Rose saat tiba di dalam vila.
“Well,” Rose kembali berucap. Namun, ucapannya kemudian terhenti begitu saja. Rose memilih untuk menundukkan kepala. Memandang jari-jarinya yang kini mulai menyatu di atas kedua pahanya.
Mendengar suara Rose lantas membuat Axel langsung memalingkan pandangannya ke samping. Ditatapnya wajah Rose dalam diam dan perlahan, kening Axel mulai melengkung ke tengah.
Seberapa pun penasarannya diri Axel saat ini, dia tetap tak bisa berkata-kata dan menunggu Rose menjelaskan situasi yang dialaminya hingga membuatnya tampak begitu resah sekaligus sedih.
“Aku ...,” Rose perlahan-lahan mengangkat pandangannya. Saat itu juga, matanya pun menemukan sepasang manik hazel yang memandangnya penasaran. “aku harus ke luar kota hari ini juga.”
Sepasang manik berwarna hazel itu lalu terbelalak saat mendengar ucapan Rose. “What?!” Axel memekik dengan nada rendah.
Rose mendesah berat. Ia pun memalingkan wajahnya, menatap ke luar jendela. “Ya, Axe, aku harus mengunjungi Catherine. Dia sedang sakit parah,” tutur Rose. Mengingat kondisi Catherine lantas membuat hatinya berkedut ngilu.
Sementara Axel tak tahu harus beraksi apa. Tampak kedua mata berwarna hazel itu masih membola dengan tatapan terkejut. Sepasang alis indah milik Axel tampak berkedut dan mulai mengerut.
Sekalipun ada jutaan kata yang bergejolak di dalam kepalanya, nyatanya Axel masih tak menemukan cara untuk bagaimana mengatakannya. Bibir berwarna merah alami itu pun terkatup dan menjadi keluh.
Satu-satunya suara yang terdengar saat ini hanyalah embusan napas panjang dari Rose. Pelan namun pasti, dia kembali membawa tatapannya kepada Axel.
Gadis itu melihat, bagaimana wajah lelaki di sampingnya berubah murung dan dia sudah tahu bahwa ini akan terjadi. Maka dari itu, Rose pun meraih sebelah tangan Axel lalu membungkusnya dengan kedua tangannya.
“Catherine mengidap penyakit kanker darah stadium tiga,” jelas Rose.
Ditatapnya sepasang bulu mata lentik yang menyembunyikan kilatan indah dari sepasang mata berwarna hazel tersebut, Axel pun kembali memandang Rose dengan wajahnya yang berubah sendu.
Ada seberkas cairan bening yang tiba-tiba muncul begitu saja tanpa diminta. Reaksi alamiah yang ditimbulkan akibat sebuah prasangka bahwa sebentar lagi akan terjadi perpisahan dan Axel sungguh tak mau hal itu terjadi.
“Bisakah aku ikut denganmu?” Ucapan itu datang dari hati. Tanpa direncanakan. Terucap begitu saja dan secara lantang.
Namun, Axel tampaknya harus menelan kekecewaan. Kedua mata Rose tertutup. Seketika ia mendesah lalu menjatuhkan tatapannya ke bawah. Inilah yang Rose takutkan. Bagaimana dia akan menjawab pertanyaan sederhana itu.
Melihat bagaimana reaksi yang ditunjukkan oleh Rose membuat otak Axel langsung bertindak dengan cepat. Membuatnya berasumsi bahwa dia malah akan semakin menyusahkan Rose.
Lelaki muda itu lalu tertawa rendah. “Well, sorry, Rose. Itu tadi hanya omong kosong. Ah, maaf!” Axel terkekeh sinis lalu kembali melanjutkan, “aku sendiri saja sudah membuatmu kerepotan. Bagaimana bisa-“
“No!” tandas Rose. Ia pun langsung mendongakkan wajah. “Axe, bagaimana kamu bisa-“ Rose pun mendesah kecewa. Gadis itu menarik punggungnya dengan kasar lalu memalingkan wajahnya ke luar jendela.
Situasi langsung berubah menjadi canggung. Baik Axel maupun Rose, untuk sejenak keduanya memilih diam, pun keduanya terjebak dengan pemikiran masing-masing.
Axel begitu menghawatirkan Rose, tetapi dia pun paham bahwa untuk saat ini dia tak bisa melakukan apa pun untuk gadis itu. Sekalipun dia sudah bisa berjalan, toh Axel masih sering menyusahkan Rose.
Di sisi lain, Rose pun sedang dilema. Sungguh, dia tidak ingin meninggalkan Axel, sebab wanita itu tahu bagaimana Axel hanya mau bicara dengannya. Namun, situasi benar-benar menaruh Rose pada dua pilihan.
Dengan cepat Rose memutar wajahnya, kembali menatap Axel.
“Axe, a-“
“Aku mengerti, Rose,” sergah Axel dengan cepat.
Kening Rose tampak mengerut sewaktu melihat wajah Axel yang berubah sendu. Mulut Rose terbuka, menahan kalimat yang telah berada di ujung lidah.
Sejurus kemudian, Axel mengangkat pandangannya menatap Rose kini. Lelaki itu menarik sudut bibirnya ke atas. Mengulas senyum yang tentu sangat terlihat palsu.
Senyum itu lantas membuat sesuatu mencelos perih dari dalam hati Rose. “Axe,” gumamnya dengan nada lirih.
“Aku mengerti, Rose,” ucap lelaki itu sekali lagi. “aku mungkin tidak mengerti bagaimana hubunganmu dengan Catherine. Namun, yang kulihat dari serial TV, seorang ibu sangat berarti bagi putrinya. Ah ... tadi itu aku hanya berkata impulsif, Rose. Maafkan aku.” Axel kembali menutup ucapannya dengan senyuman.
Rose pun mendesah untuk kesekian kalinya. “Axe, dengarkan aku,” Dipegangnya kedua tangan Axel seakan-akan takut kehilangannya. “sungguh. Aku berpikir untuk membawa ke Bandung, tetapi kamu masih harus melakukan pemeriksaan di sini dan hanya dokter Marsel yang bisa menanganimu. Jika aku membawamu ke Bandung, aku takut-“
“Ya, Rose,” sergah Axel. Samar terlihat senyum kecut di wajah lelaki itu, sekali lagi membuat Rose mendesah kecewa.
“Axe, sungguh. Aku ingin membawamu, tetapi aku ....”
“Rose,” panggil Axel dengan nada lembut. “it’s okay,” katanya. Ia menarik satu tangannya dari dalam genggaman Rose lalu memindahkannya ke puncak kepala Rose. Dia pun membelai Rose dengan lembut di sana.
“Aku mengerti. Kamu ke sana untuk menengok ibumu, maka pergilah. Aku tidak keberatan, Rose, sungguh. Jika kamu berpikir aku keberatan maka kamu salah besar. Hanya saja, aku sempat berpikir bahwa mungkin kamu akan membutuhkan bantuanku, tetapi ....”
“Tentu,” jawab Rose impulsif. Axel yang tadinya menundukkan kepala lalu mendongak dan kembali menatap Rose. “aku pun berpikir seperti itu. Kamu keluargaku, bukan?” Mendengar kalimat keluarga membuat Axel tersenyum.
“Ya,” gumam Axel lengkap dengan anggukkan kepala. “itulah mengapa aku ingin ikut denganmu, tetapi kamu ada benarnya. Aku harus tetap di sini. Lagi pula aku lupa jika aku tidak memiliki identitas.” Axel menutup ucapannya dengan tawa rendah.
Namun, lelaki itu tidak tahu bahwa ucapannya barusan menimbulkan sebuah pemikiran dalam benak Rose.
“Hell! Itu benar,” gumam Rose. Axel pun mendongak lalu mengerutkan dahi menatap Rose. “ya, kamu belum punya identitas. Astaga!” Rose menepuk dahinya dengan kuat.
“Hey!” Axel memekik. Ia meraih tangan Rose lalu mengusap lembut dahi gadis itu. “kamu juga tidak perlu melukai dirimu, Rose,” ucap Axel.
Rose yang mendengar ucapan itu lalu tergelak. Ia pun mendekat dan meraih sekaligus mencubit pipi Axel dengan gemas.
“Uh ... mengapa kamu ini sangat manis, hah?” gumam Rose.
Axel menanggapinya dengan tawa rendah. “Kamu pikir aku kue,” protesnya. Ia pun menggelengkan kepala. “well, kalau begitu ayo. Bukankah kamu harus berangkat hari ini juga? Kalau mengantarmu ke bandara bisa, kan?”
Untuk sekelebat, Rose terdiam. Matanya sibuk memandangi pemuda berwajah tampan dan di depannya. Sejurus kemudian Rose terkikik.
Axel pun menatapnya bingung. “Kau ini kenapa?” gumam Axel. Ketika Rose menggelengkan kepalanya, Axel pun terkekeh kecil. “kau ini aneh. Tadi terlihat sedih, sekarang tersenyum konyol.” Lelaki itu pun menggelengkan kepala.
Rose tak menanggapinya. Ia sibuk terkikik. Namun, Rose tak tahu bagaimana jantung Axel sedang berdebar kuat saat ini.
“You blushing,” goda Rose. Segera Axel memalingkan wajahnya. Lelaki itu pun menekan tombol di pintu.
“Jangan menggodaku. Ayo!” ucapnya.
Rose pun tergelak. Astaga! Kelakuan Axel benar-benar tampak seperti bocah remaja yang sedang jatuh cinta, tapi hey ....
Menyadari sesuatu yang tiba-tiba terlintas di kepalanya membuat Rose langsung menatap Axel. Namun, pria itu buru-buru keluar. Dia bahkan mengabaikan tongkatnya. Berjalan cepat memasuki vila.
“Pft!” Rose terkekeh sambil memalingkan wajahnya. Ia pun akhirnya melesak keluar dari dalam mobil.