“Jadwal terapimu setiap Selasa dan Jumat, lalu di hari rabu kamu masih harus ke tempat latihan fisioterapi dan dokter akan memeriksa kakimu.”
“Ya.” Axel pun mengangguk.
“Tidak boleh main game terlalu lama dan kamu harus istirahat dengan cukup. Mbok Agni dan Maikel akan tinggal di sini. Setiap pagi bang Made akan mengajakmu keliling. Apa pun yang kamu butuhkan sudah disediakan, jadi kamu hanya perlu meminta.”
“Noted,” jawab Axel dengan cepat.
Wajah Rose tampak sangat cemas, jantungnya pun berdetak meningkat sedari tadi dan ini benar-benar bukan sesuatu yang diinginkannya.
“Perhatikan pola makanmu dan jangan lupa terlalu memaksa kedua kaki untuk bergerak, kamu masih harus banyak istirahat.”
“Rose,”
“Kamu juga belum boleh mengangkat berat. Pokoknya kamu harus ikut apa saran dokter ka-“
“Rose!” Ucapan Rose seketika terhenti saat Axel dengan sengaja mengentak suaranya. Gadis itu pun mendongak segera sesaat mendengar napas berat Axel yang berembus dengan kasar.
“Aku akan mengingatnya, Rose. Kamu tidak perlu khawatir. Kamu lebih terlihat menghawatirkan aku daripada ibumu,” ucap Axel. Rose pun mendesah hingga kedua bahunya ikut merosot.
“Aku minta maaf, Axe,” gumam Rose. Ia pun memalingkan wajah dan kembali melepaskan desahan berat.
“Damn it! Aku hanya tak tahu harus berbuat apa!” desis Rose. Gadis itu mengusap wajahnya lalu bergerak ke rambut, mengusapnya dengan frustasi.
“Aku ingin membawamu, tapi-“
“Rose, it’s okay,” ucap Axel.
Sekali lagi membuat Rose mendesah. Dia pun mendongakkan wajahnya menatap Axel kini. Maka lelaki itu langsung membawa kedua tangannya menangkup wajah Rose.
Axel melembutkan tatapan sembari memberikan senyum yang seketika meneduhkan hati Rose. Walau hanya sesaat, sebab setelah itu dia pun mendesah berat. Lantas Rose menggenggam kedua tangan Axel lalu menjatuhkan tatapannya ke bawah.
“Aku akan baik-baik saja, oke?” Mendengar ucapan Axel membuat Rose mengangguk. Namun, di sisi lain dia belum siap untuk menatap Axel kembali.
“Kamu selalu menghawatirkan aku, seakan-akan aku ini masih bayi. Tapi Rose, hey, look at me.” Rose pun mendongak. Wajahnya pun berubah sendu, menatap Axel. “aku sudah sembuh dan aku baik-baik saja. Aku bisa berjalan dan otakku tidak rusak. Ya, aku memang belum bisa mengingat masa lalu, tapi setidaknya aku bisa mengingat semua yang kamu katakan. Lagi pula seperti katamu ada mbok Agni, Maikel dan bang Made. I will fine, okay?”
Mulut Rose terkatup. Dahinya mengerut dan alisnya melengkung ke tengah. Tampak wajah itu ingin menangis, tetapi dengan cepat Rose menganggukkan kepalanya.
“Ya ...,” gumam Rose dengan suaranya yang mendesah. “kuharap aku bisa datang secepat mungkin, Axe,” ucap gadis itu.
Axel pun mengangguk setuju. “Ya, kuharap pun begitu,” ucapnya. Dia lalu menarik sekaligus memeluk tubuh Rose.
Kedua mata Rose tertutup. Tangannya pun bergerak hingga mendapati punggung Axel, lantas membalas pelukan yang diberikan oleh lelaki itu.
“Baik-baik di sana, Rose. Jaga dirimu dan jangan lupa untuk terus menghubungi aku,” ujar Axel.
Masih berada di dalam pelukannya, Rose pun menganggukkan kepala. “Ya, tentu,” ucapnya. Lantas gadis itu menarik wajahnya dari dalam pelukan Axel kemudian mendongak, menatap lelaki tersebut.
“Kamu juga jaga dirimu baik-baik di sini,” ucap Rose.
Dengan kedua matanya ia memandang sudut bibir Axel yang bergerak naik lalu membentuk senyum simpul di wajahnya. Axel pun mengangguk.
“Baiklah, kalau begitu aku pergi dulu,” ucap Rose.
Kali ini, Axel merasa berat hati untuk menyetujuinya. Jantungnya bagai berdetak menyakitkan hingga membuat Axel kembali memeluk tubuh Rose.
Ada sebuah dorongan aneh yang membuat Axel tiba-tiba mengecup puncak kepala Rose. Gadis itu pun mendelikkan mata dan merasa jantungnya berhenti berdetak selama beberapa detik.
“Cepatlah kembali, Rose.”
Mendengar ucapan dengan nada lirih dan kelam itu membuat Rose diterpa dua perasaan berbeda. Yang pertama ada satu sisi dalam dirinya yang membuat hati Rose mencelos perih, tetapi di sisi lain ada sesuatu yang membuat jantungnya berdetak meningkat lalu mengirimkan gelenyar panas ke pembuluh darah dan berhenti pada kedua pipinya.
Untuk sekejap, Rose terdiam kaku. Napasnya pun ikut terhenti di d**a. Ketika wajahnya diterpa napas Axel, seketika membuat gadis itu bergeming. Dengan susah payah Rose mengangkat pandangannya.
Kembali ia memandang sepasang manik hazel yang menatapnya dengan tatapan memelas. Sekali lagi membuat Rose semakin diterpa perasaan aneh yang tiba-tiba saja membuat jantungnya berdetak sangat cepat.
“Kabari aku tepat saat kamu tiba di sana.”
Ucapan Axel akhirnya berhasil menarik jiwa Rose kembali ke raganya. Gadis itu menggoyangkan kepala sambil mengerjap untuk mengumpulkan kesadaran penuh.
Secara alamiah sudut bibirnya berkedut dan membuatnya menyunggingkan senyuman. Namun, entah mengapa dia jadi ragu-ragu saat hendak menatap Axel.
Rose seperti seorang remaja kasmaran yang baru saja mendapatkan pernyataan cinta dari lelaki polos.
‘Oh, screw, Rose. That’s so weird!’ batin Rose.
Gadis itu memilih untuk memalingkan wajah. Dia berdehem sebelum kembali menatap wajah Axel.
“Ka- kalau begitu aku pergi,” ucap Rose.
Melihat raut wajahnya yang memerah membuat Axel mengerutkan dahi. Dia pun bertindak cepat dengan meraih dagu Rose.
“Are you okay?”
Belum sempat jantung Rose berdetak normal, Axel sudah kembali berulah dan dia membuat jantung Rose bertalu dengan kencang.
‘Oh s**t!’ Sekali lagi Rose merutuki dirinya di dalam hati.
“Ehm!” Rose sengaja berdehem untuk mengembalikan suaranya karena dia yakin tenggorokannya yang sudah tersekat itu, otomatis akan membuat suaranya menghilang.
Berharap dia bisa mendapat sedikit keberanian, akan tetapi setelah ia kembali menatap sepasang mata indah berwarna hazel milik lelaki di depannya, jantung Rose malah berdetak sangat cepat dan membuat tengkuknya terasa panas.
“A- aku baik-baik saja,” jawab Rose.
“Are you sure ...?”
Kali ini Rose menarik napas sambil menutup mata, lalu membuangnya dengan entakkan kuat sebelum kembali memandang Axel.
“Ya!” jawab Rose dengan berani dan lantang. “aku hanya sedikit gugup,” kilah Rose.
Axel kembali mengerutkan dahinya. “Gugup karena?” tanya lelaki itu.
“Aku tidak tahu,” jawab Rose. Dia kembali mengembuskan napas dengan berat dan tampak susah payah. “baiklah aku harus segera check in. Sampai bertemu lagi, dah!”
Rose pun melambaikan tangannya di depan d**a dengan gerakan cepat. Dia segera menarik kopernya dan menempuh langkah hendak pergi, tetapi baru saja dia mengambil dua langkah, tiba-tiba kaki Rose berhenti bergerak.
Pelan namun pasti dia mulai menoleh ke belakang. Sesaat memandang tangannya yang berada dalam genggaman tangan Axel lalu perlahan menaikkan tatapannya.
Gadis itu menelan saliva. Sungguh, apa pun yang sedang dilakukan Axel saat ini, bisakah dia tidak membuat jantung Rose seperti ingin melompat dari tempatnya?
Semilir angin menerpa wajah Rose saat Axel mulai mengambil langkah dia pun mendekat dengan cepat, lalu ....
“Hah!” Rose menggumam dan matanya pun mendelik, kaget.