“Wow!” Sepasang mata lalu mendelik. “itu kemajuan pesat.”
Axel pun tersenyum. “Thank you, Mr. Allen, kamu benar-benar membantuku,” ucapnya.
Lelaki yang telah menjadi salah satu fisioterapis untuk Axel itu lalu menarik kedua sudut bibirnya ke atas.
Sambil mematri tatapan pada Axel, ia pun berjalan. Kedua tangannya terbuka lantas menepuk kedua sisi lengan Axel.
“That’s a rapid progress. Proud of you!” ucap lelaki itu dengan senyumnya yang bertahan di wajah. Ia pun menandang Axel dengan pandangan takjub.
Sementara lelaki muda itu sudah tak sabar ingin menunjukkan kemajuan yang telah ia buat kepada Rose.
“Well, kurasa cukup untuk hari ini. Kupikir kamu juga tidak sabar lagi untuk pulang. Bukan begitu?”
Axel tergelak renda menanggapi ucapan pelatih fisioterapisnya. Sungguh, hatinya sudah berdebar-debar dengan kuat dan merasa sangat tidak sabar untuk segera bertemu dengan Rose.
“Baiklah, akan kuambilkan tongkatmu.”
“Tak perlu,” sergah Axel dengan cepat.
Lelaki bernama Allan itu sudah berjalan beberapa langkah dari Axel, tetapi mendengar ucapan itu membuat lelaki tersebut menghentikan langkahnya. Ia pun menoleh ke belakang.
Tampak sudut kedua sudut bibir Axel semakin terangkat membentuk senyum semringah di wajahnya. “Aku bisa mengambilnya sendiri,” ucap lelaki muda itu.
Dengan dahi terlipat dan kening yang mengerut ke tengah, kemudian lelaki itu memutar wajahnya, menoleh dari balik pundaknya.
“Are you sure?” tanya Allen dengan nada bergumam.
Axel kembali tersenyum, sebelum ia mengangguk mantap. “Tentu,” ucapnya.
“Oke ....” Allen sepenuhnya memutar tubuh. Dilihatnya bagaimana Axel sedang menghela napas dan ia mulai mengambil langkah.
“Tak perlu terburu-buru, Axel, tongkatmu tak akan lari,” ucapnnya.
Sekilas Axel menatap lelaki itu dan ia pun mengangguk. Namun, tetapt saat lelaki itu memutar tubuhnya, tiba-tiba saja dia kehilangan keseimbangan.
“AXEL!” teriak Allen. Matanya pun terbelalak dan seketika tubuhnya melesat menghampiri Axel yang kini tersungkur di atas lantai.
Terdengar suara tawa dari Axel. Dengan kedua tangannya ia mendorong tubuhnya. “It’s okay, it’s okay. I can handle that,” ucapnya.
“Axel, kamu tidak perlu memaksakan diri. Kamu bisa membuat kakimu cedera,” ujar Allen.
Tampak dahi Axel mengerut, sementara lehernya mengencang di sana ketika dia berusaha keras membuat tubuhnya kembali bangkit.
“Axel-“
“I got it, I got it,” gumam Axel terus menerus.
Terdengar geraman rendah yang meluncur dari kerongkongannya. Kedua kaki jenjang itu pun ikut bergerak.
“Oke, dengarkan aku. Gunakan otot perutmu untuk mendorong tubuhmu ke atas, kau mendengarku?”
Wajah Axel memerah saat ia menganggukkan kepala. Namun, Allen masih kurang yakin sehingga ia hendak memegangi kedua sisi lengan Axel.
“Coach, please don’t help me. Let me handle myself,” ucapnya.
Allen pun menarik napas, lalu mengentaknya dengan kuat. “Oke, tapi kamu harus ikuti perintahku. Oke?” Untuk sekali lagi Axel menganggukkan kepalanya.
“Oke, tarik napas secara perlahan dan kirimkan semua kekuatanmu ke perut lalu kencangkan,” perintah Allen.
Lelaki muda yang masih menumpu tubuhnya dengan kedua tangan itu kembali mengangguk. Pelan namun pasti, dia mulai melakukan perintah dari pelatihnya.
“Okay ... good. Keep it going,” gumam Allen.
Butuh beberapa waktu bagi Axel untuk menumpuk semua kekuatannya di perut. Lelaki itu mengembuskan napasnya sambil membuka kedua matanya kembali. Lalu dengan satu kali gerakan cepat ia pun tenaga dari purut ke punggung.
Kelopak mata Axel pun melebar sesaat ketika ia berhasil membangkitkan tubuhnya kembali.
“Oh my God!” pekiknya rendah. Dengan mata terbelalak itu ia pun kembali memandang pelatihnya. “I did it!” Lanjutnya dengan suara penuh semangat.
Sang pelatih pun tersenyum sambil memberikan anggukkan kepala. “Good job,” ucap Allen. Dia juga tak ragu memberikan tepuk tangan untuk menyemangati pasiennya yang semakin menunjukkan perubahan pesat.
Sementara Axel masih tak percaya. Napasnya terputus-putus mengalun keluar dari mulut. Bola mata berwarna hazel itu masih terbuka lebar. Masih merasa bahwa yang tadi itu benar-benar di luar ekspektasinya.
“Aku berhasil, Coach!” seru Axel dengan nada rendah.
“Yes you did it, tetapi kamu hampir membuat jantungku copot.”
Mendengar ucapan itu membuat Axel terkekeh. Sang pelatih pun menyambutnya dengan tawa yang sama.
“Sorry about that,” kata Axel.
Sambil mengentak napasnya, Allen menaruh tangannya pada salah satu pangkal bahu milik Axel. Lelaki itu pun menganggukkan kepala sambil menepuk-nepuk pundak Axel.
“Tak apa. Aku selalu suka semangat kamu, Axel. Usahamu selama berbulan-bulan akhirnya membuahkan hasil. Sungguh, kamu satu-satunya pasien yang memiliki energi positif. Sebelum ini, aku tak pernah melihat semangat menggebu-gebu dari pasien yang mengalami cedera kaki. Kebanyakan mereka sudah putus asa bahkan sebelum memulai latihan. Namun, semua itu tidak berlaku saat kamu datang. Kamu membawa energi positif dan aku juga belajar banyak darimu,” ujar Allen panjang lebar.
“Ah! mana mungkin bisa begitu. Kamu pelatihku, tentu saja aku yang banyak belajar darimu. Sungguh. Kamu benar-benar tak tahu bagaimana rasa senang itu kini meluap-luap di hatiku dan kamu paling sabar melatih aku. Terima kasih banyak, Mr. Allen.”
Allen pun tersenyum semakin bangga. “Sama-sama, Axel, terima kasih juga sudah mempercayai aku sebagai pelatihmu, tapi kamu masih harus kemari dan kita perlu melakukan rontgen untuk kakimu. Itu penting,” ujar lelaki itu.
Axel mengangguk. “Tentu,” ucapnya. “sekarang apa boleh aku pergi. Sungguh, aku tak sabar ingin menemui Rose.”
“Oh!” Allen mendelik. “tentu,” ucapnya. Lelaki itu terkekeh rendah. “hem ... sepertinya aku tahu apa yang membuatmu semangat.” Allen menatap Axel dengan pandangan geli. Dan lelaki muda itu hanya terkekeh.
“Well, kalau begitu ....”
“Oh, sure. Ayo,” ucap Allen. Dia mengganti posisi dengan berbalik dan berdiri di samping Axel. Dia menaruh tangannya di atas pundak Axel lalu menepuk-nepuknya sambil menuntun Axel keluar dari ruang latihan.
Axel membawa serta dua buah tongkat yang selama ini digunakannya sebagai alat bantu untuk menyanggah tubuhnya.
“Kalau kamu merasa masih memerlukan bantuan tongkat, tak apa-apa. Semuanya masih perlu penyesuaian. Jika sudah lebih baik, kamu bisa berjalan setiap pagi.”
“Ya, aku selalu melakukannya,” kata Axel.
“Oh ya?”
Axel mengangguk. “Ya, setiap pagi dengan bang Made. Dia menyuruhku berjalan tanpa alas kaki. Aku melakukannya.”
“Wow!” Allen pun mendelik. “itu juga bagus. Metode alamiah. Jadi kakimu langsung bersentuhan dengan tanah. Itu bisa membantu memperlancar peredaran darah. Bumi selalu memberikan energi positif. Bukan begitu?”
Axel tersenyum dan menganggukkan kepala. “Hem,” gumamnya. Keluar dari tempat itu, Axel langsung mendongakkan wajah. Keningnya langsung mengerut sewaktu melihat Rose yang sedang duduk sambil membungkuk setengah badan hingga wajahnya nyaris tak kelihatan.
“Rose,” gumam Axel.
Entah mengapa, ada sesuatu yang berkedut di hatinya. Bagai menyuruh Axel untuk lekas ke sana. Namun, sebelum ia mengambil langkah, lelaki itu lebih dahulu menoleh ke samping.
“Coach, I-“
“Ya, ya. Tentu. Pergilah. Aku juga harus melanjutkan pekerjaan.”
Axel mengangguk. Seketika ia pun memutar wajah lalu berjalan dengan cepat menghampiri Rose.
“Rose!” seru Axel.
Mendengar suara itu sontak membuat Rose mendongak. Ia pun langsung berdiri dari tempat duduknya. Namun, ada sesuatu dalam ekspresi di wajah Rose yang seketika menghancurkan rasa antusias di hati Axel. Mata sembap dan wajah lesu. Semua itu cukup memperjelas bahwa Rose baru saja menangis.
“Oh my God, Axe!”
Rose tidak berbohong bahwa dia cukup terkejut melihat kedatangan Axel sambil memegang kedua tangannya.
Andai ini semenit yang lalu, tentu saja Axel akan melompat kegirangan. Menghampiri Rose dan meneriakkan kabar gembira walaupun dengan kedua matanya saja, Rose sudah bisa melihat kebahagiaan itu. Namun, semuanya sirna seketika saat Axel menatap wajah Rose.
“Axe, astaga! Kamu-“ Ucapan Rose terhenti saat Axel tiba-tiba melepaskan tongkatnya.
Sekilas mata Rose masih mendelik saat menatap kedua kaki Axel yang kini berdiri tegap di depannya. Namun, sedetik kemudian gadis itu malah terkejut saat merasakan sesuatu yang hangat pada kedua sisi pipinya. Semua itu membuat Rose akhirnya mendongakkan wajah.
“Ada apa, Rose?” tanya Axel. Tatapannya pun berubah sendu.
Rose berusaha menutupi rasa sakit di hatinya dengan menarik kedua sudut bibirnya ke atas dan mengulas senyum di wajah.
“Tak apa,” gumam Rose.
“Kamu menangis,” jawab Axel sendiri.
Rose menggelengkan kepalanya. “Itu tidak penting. Axe!” Rose kembali menoleh ke bawah. “kamu berjalan. Oh my God!”
“Rose, tell me what happened!” sergah Axel. Rose pun dengan cepat membawa tatapannya naik.
Gadis itu tergelak rendah. “Tak ada apa-apa. Aku hanya-“
“Rose, kamu menangis!” tandas Axel sekali lagi. “pasti ada sesuatu yang terjadi hingga membuatmu menangis. Cerita padaku,” ucapnya.
Akhirnya Rose terdiam. Membiarkan matanya memandang sepasang manik hazel yang indah di depannya sebab ia akan merindukannya untuk beberapa waktu.
Kedua tangan Rose bergerak meraih tangan Axel yang tengah memegang kedua sisi rahangnya. Ia pun menelengkan wajahnya sedikit ke kanan.
“Tak apa, semuanya baik-baik saja. Kamu tidak perlu khawatir. Aku baik-baik saja. Sungguh.”
Axel mendengkus. Ia pun memalingkan wajah. “Kamu selalu seperti ini, Rose!” ketus Axel. “apakah ini ada hubungannya dengan lelaki b******k itu?!”
Rose mengerutkan dahi. Untuk sekelebat, ia terdiam tetapi perlahan tatapannya berubah. Memandang Axel dengan pandangan geli. Ia pun tertawa rikuh, membuat Axel kembali mendengkus.
“Hey ... siapa dia hingga aku tak berhenti memikirkannya,” gumam Rose.
Napas Axel berembus kasar menerpa wajah Rose sebelum lelaki itu kembali menarik pandangannya, menatap lurus ke depan.
“Mantan kekasihmu itu. Kamu selalu menangis saat memikirkannya!” kata Axel. Nadanya semakin terdengar ketus.
Rose pun tak bisa decihan halusnya. Mendengar ucapan itu secara tidak langsung mengalihkan pemikiran Rose dari kabar buruk yang baru diterimanya beberapa menit yang lalu.
Wanita muda itu menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya dengan entakkan kuat.
“Ini bukan soal dia, Axel. Lagi pula aku sudah tidak pernah memikirkannya lagi,” ucap Rose.
“Lalu kenapa?!” Axel memberikan tatapan keras pada Rose. “mengapa kamu menangis. Ada apa?” tanya Axel dengan nada mengentak.
Rose kembali menarik napas lalu membuangnya dengan cepat. Ia pun merundukkan badan untuk mengambil kedua tongkat milik Axel yang ia jatuhkan ke lantai.
“Ck!” Axel berdecak bibir lalu mengusap rambutnya. Sungguh, Rose membuatnya frustasi.
“Ayo pulang,” kata Rose.
“Kamu belum jawab pertanyaanku, Rose!” desak Axel.
“Nanti saja di rumah. Lagi pula aku juga ingin bicara denganmu. Ayo,” ucapnya.
Axel kembali mendengkus. Sejenak ia memalingkan wajahnya dengan kasar.
“Come on big boy ...,” gumam Rose. Ia pun tak ragu menyelipkan tangannya di belakang punggung Axel membuat lelaki itu sedikit terkejut hingga secara alamiah Axel menoleh ke bawah.
Terdengar suara cekikikan dari sebelah tempat Axel dan membuatnya dengan cepat menoleh ke sumber suara.
“Aku baru tahu kalau kamu setinggi ini,” ucap Rose.
“Oh begitu?” tanya Axel dengan wajah sinis.
“Hem,” gumam Rose tampak polos.
Axel mendecih sinis sebelum berucap, “Pengalihan yang bagus, Rose.”
Gadis muda di sampingnya kembali terkikik. “Sudah kubilang aku akan cerita di rumah. Lagi pula kita harus membagi kabar baik ini pada orang-orang rumah. Oh aku tak sabar ingin segera tiba,” ucap Rose.
Akhirnya Axel mendesah. Rose benar-benar tahu cara yang tepat dan jitu untuk mengalihkan pembicaraan dan membuat Axel tak punya pilihan selain mengalah.
“Baiklah.”
Rose pun tersenyum semakin semringah. Sekalipun, tak ada yang bisa menyembunyikan kesedihan itu di wajah Rose. Ya, dia memang sedih tetapi dia juga senang melihat Axel bisa berjalan.
Secara tidak langsung, kesembuhan Axel mengurangi beban pikiran Rose. Namun, ia tetap tak berpikir untuk membawa serta Axel ke tempat Catherine karena itu terlalu mustahil untuk dilakukan.
“Oke, kalau begitu ayo kita pulang.”
Rose berusaha tersenyum. Cara ini cukup ampuh untuk mengalihkan pemikirannya. Namun, lebih daripada itu Rose pun bersyukur melihat kesembuhan Axel.
“Rose, aku tidak mau tahu. Pokoknya kamu harus cerita.”
“Iya, iya. Aku janji, tapi biarkan aku merayakan kabar bahagia ini. Astaga, Axe! Kamu sudah merusaknya!” Rose memasang wajah cemberut.
“Aku juga sudah tidak bersemangat merayakannya,” gumam Axel. Ia pun memalingkan wajahnya, menatap ke luar jendela.
Satu-satunya yang ingin diketahui Axel saat ini adalah alasan Rose menangis. Sungguh, Axel benar-benar tak terima apabila Rose masih memikirkan mantan kekasihnya itu.