“Jared, cepatlah!”
Mendengar perintah itu membuat Jared terpaksa menginjak pedal gas. Padahal baru beberapa saat mereka kembali ke vila, tetapi dokter Marsel sudah menghubungi Karina dan memberikan kabar menggemparkan bagi gadis itu. Seketika mengguncang seluruh alam semesta milik Karina dan membuatnya tak sabar untuk segera bertemu pasien yang ditanganinya tadi subuh.
“Karina!” Jared menjerit saat kekasihnya melompat dari mobil sebelum mobil itu terparkir sempurna. Gadis itu melesat secepat tembakan angin, menuju ke dalam klinik.
Jared mendengkus. Ia pun menggeram, “Damn it!” Lelaki itu mengayunkan tangan, memukul setir mobil. Jared bergegas memarkirkan mobil lalu menyusul Karina ke dalam rumah sakit.
Tampak Karina berlari menuju ruang perawatan dan mendapati dokter Marsel berada di sana. Di depan si lelaki yang kini terduduk dengan punggung bersandar di headboard.
Terdengar embusan napas panjang dan berat dari Karina. Kedua bahunya gemetar, menatap lelaki bermata hazel yang pandangannya sedang terarah pada dokter Marsel. Namun, Karina dapat memastikan bahwa pandangan itu tak berarti apa pun. Kosong, seolah tak bernyawa.
Karina menelan saliva, sekadar untuk menetralkan degup jantung dan memperbaiki napasnya. Setelah beberapa saat, ia lalu memberanikan diri menghampiri dokter Marsel.
“Hai,” sapa Karina. Kedua sudut bibirnya berkedut, bagai memaksa senyum di wajahnya.
Mendengar gelombang suara rendah yang bergetar itu membuat dokter Marsel langsung memutar wajahnya ke samping. Lelaki itu tersenyum sekilas, lalu kembali memutar wajahnya, menatap si lelaki yang berbaring dalam posisi terduduk di atas bangsal.
“Jadi ... dia mengalami amnesia?” tanya Karina, mendahului percakapan.
Dokter Marsel mengulum bibir, lantas menganggukkan kepala.. “Hem,” gumamnya lengkap dengan anggukkan kepala. “antara retrograde, atau transient global amnesia,” lanjutnya. Ia kembali memutar wajah, menatap Karina. “namun ini hanya diagnosis sementara. Kita masih harus melakukan MRI untuk melihat, seberapa parah cedera di otaknya,” jelas dokter Marsel.
Karina terdiam kaku. Selain kedua mata yang memerhatikan raut wajah si lelaki. Warna putih pasi wajahnya itu, dan pandangan matanya tampak kosong.
“Amnesia retrograde hanya akan terjadi apabila pasien mengalami cedera otak parah, ” ujar Karina. Gadis itu bersusah payah memutar wajahnya untuk kembali menatap dokter Marsel. Lelaki itu kembali menganggukkan kepala.
“Bisa saja, tetapi aku sudah memeriksa bekas operasi. Aku pun merasa ragu saat melihat lukanya. Rasanya tidak masuk akal sebab dia luka di bagian bawah kepala. Sedangkan otaknya berada di atas, jika dia mengalami amnesia retrograde dengan luka seperti itu, rasanya tak mungkin. Lebih tepatnya mustahil. Aku pernah mengoperasi pasien yang luka parah di bagian kepala, tetapi selagi tak ada benda asing yang masuk ke otaknya, dia tak akan terkena amnesia. Luka yang ada di kepalanya termasuk luka ringan, tetapi ....” Dokter Marsel menggelengkan kepalanya.
“Maka kusingkirkan pemikiran itu. Kupikir dia mengalami transient global amnesia, karena ....”
Dokter Marsel lalu mengambil langkah menghampiri si lelaki yang kini sudah dipakaikan piyama pasien. Kedua tangan dokter Marsel membuka kancing kemeja lelaki itu dan melebarkannya. Ia pun menatap Karina.
“Ini.” Lanjut dokter Marsel.
Seketika sepasang manik mata milik Karina kemudian melebar ketika melihat luka-luka yang membekas di tubuh si lelaki. Sekilas ia mematri pandangan di sana sebelum mendongak, menatap Marsel dengan wajah tercengang.
“Tak mungkin luka-luka ini disebabkan oleh kecelakaan mobil,” ucap dokter Marsel. “dan mungkin saja cedera yang ia alami bisa sampai di kepala. Tak ada yang tahu apa yang sudah dilalui oleh lelaki ini. Ia bahkan tak bisa berucap apa pun saat ini. Selain seluruh ingatannya yang hilang total, dia sepertinya juga tak bisa mengingat bahasanya.”
“Tapi saat siuman dia mengulang kalimat tolong dalam bahasanya,” bantah Karina.
Dokter Marsel kembali menganggukkan kepala. “Ya, mungkin itu kalimat terakhir yang dia ingat sebelum trauma. Sehingga kalimat itu membekas di ingatannya. Dari luka yang ia alami, wajar saja jika kalimat tolong adalah kata-kata yang sering ia ucapkan. Biasanya memori akan menyimpan kata tersebut. Seperti kataku, ini hanya dugaan sementara. Kita masih harus melakukan berbagai macam tes. Salah satunya termasuk tes kejiwaan dan aku akan menyisihkan waktu untuk menanganinya,” jelas dokter Marsel.
“Ho ... s**t!” desisan itu meluncur dari mulut Jared.
Seketika membuat dokter Marsel dan Karina memalingkan wajah. Tampak lelaki itu membelalakkan mata. Berjalan sambil memandang tubuh si lelaki yang terbaring di atas bangsal. Jared berhenti tepat di samping dokter Marsel.
“What the hell!” gumam lelaki itu. Ia pun memutar wajah, memandang lelaki di sampingnya.
“Entahlah, Jared,” jawab dokter Marsel sambil mengedikkan kedua bahunya. “dari luka-luka yang dialami, sepertinya lelaki ini mengalami siksaan fisik dan itu dialaminya selama beberapa lama. Entah siapa yang berbuat itu padanya, tetapi kalian berhasil menyelamatkan hidupnya. Mungkin Tuhan yang membuat kalian mengalami kecelakaan itu, I mean, bersama pria itu juga. Namun, siapa pun yang melakukan itu padanya, mereka benar-benar lebih parah dari monster. Aku melihat bekas cambuk itu memenuhi seluruh tubuhnya. Beberapa di antaranya adalah luka lama, sebagian pun telah merusak dagingnya. Karina, luka di kepalanya tak seberapa jika dibandingkan dengan memar di sekujur tubuhnya,” ujar dokter Marsel panjang lebar.
Karina masih terdiam kaku, memandang si lelaki muda yang sekujur tubuhnya dipenuhi memar-memar akibat luka fisik yang sengaja diberikan orang lain secara tak manusiawi kepadanya.
Semakin lama menatap lelaki itu membuat hati Karina perlahan tergores. Demi apa! Karina ingat betul bagaimana perjuangan dirinya dan seluruh dokter di dunia untuk mempertahankan nyawa seseorang. Memohon dan kadang sampai harus memerintah kepada Tuhan supaya bekerja sesuai kedaulatan-Nya, untuk memberikan kekuatan kepada para dokter sehingga melalu mereka, nyawa orang yang sekarat bisa diselamatkan.
Namun, di sini, ada satu manusia yang mendapatkan luka di sekujur tubuh. Dan semua itu karena perbuatan orang lain. Sungguh, Karina merinding melihat kondisi tubuh lelaki ini. Padahal sekilas ia sudah melihatnya sebelum melakukan operasi. Karina tak menyangka bahwa lukanya akan separah ini.
“Siapa yang tega melakukan ini,” gumam Karina. Suaranya nyaris hilang di akhir kalimat. Merasa kerongkongannya ikut dibuat tersekat. Seberkas cairan bening pun menutupi bola matanya, ketika ia memandang dua lelaki di belakangnya itu.
Dokter Marsel kembali mengedikkan kedua bahunya, sementara Jared terdiam kaku dengan sejuta pemikiran di kepalanya.
“Entahlah, tetapi siapa pun yang melakukan hal itu, mereka sungguh bukan manusia,” kata dokter Marsel.
Karina mendesah sambil menutup kedua mata. Kedua tangannya tampak meremas tepi bangsal. Ia menjatuhkan tatapan ke bawah, menelan saliva dan membiarkan dadanya gemetar oleh rasa takut. Bukan lagi pada keselamatan si lelaki dan bukan juga pada apa yang bisa menimpanya kelak, tetapi kini rasa takut itu merujuk dengan pertanyaan, pada siapa yang sudah tega menyiksa lelaki muda ini.
Terdengar embusan napas yang menyentak ketika dokter Marsel menarik kedua sisi jas berwarna putih yang membungkus tubuhnya dari belakang.
“Baiklah, hari ini juga kita lakukan MRI padanya. Oh ya, Karina apakah kamu masih akan berada di Bali?”
Mendengar pertanyaan itu membuat Karina langsung mendongakkan wajah menatap Marsel. “Ya,” gumam gadis itu. Suaranya terdengar agak lirih, oleh karena rasa syok yang dialaminya.
Dokter Marsel mengulum bibir, sekilas membentuk senyum simpul di wajah. Lelaki itu pun menganggukkan kepalanya. “Baiklah, kalau begitu aku akan memintamu bekerja di rumah sakitku. Karena kamu yang membawa pasien ini ke klinik kecilku ini, aku ingin dia menjadi tanggung jawabmu. Maaf, bukannya aku tidak ingin membantu, tetapi aku sedang bekerja sendirian. Rekanku mengambil cuti melahirkan dan aku sedang membuka lowongan, tetapi belum ada yang mendaftar. Aku butuh dokter bedah dan dokter ahli penyakit dalam. Apakah kamu mau mengisi salah satu lowongannya?”
Mendengar permintaan itu membuat Karina refleks memutar wajah pada lelaki yang berdiri di samping dokter Marsel. Lelaki itu mendengkus, kemudian memalingkan wajah dan Karina tahu bagaimana pendapat Jared saat ini.
“Bagaimana?” tanya Marsel. Membuat karina langsung menatapnya. Gadis itu mengulum bibir, tersenyum singkat lalu menganggukkan kepalanya.
“Ya, boleh. Kebetulan aku berencana untuk menetap di Bali dalam jangka waktu yang cukup lama. Sebenarnya aku ingin berlibur, tetapi seperti katamu, mungkin Tuhan ingin supaya aku tetap berada di sini dan membantu lelaki itu,” ujar Karina.
“Good,” kata dokter Marsel dengan anggukkan kepala. “kalau begitu kamu resmi menjadi salah satu dokter di sini. Tenang saja, aku akan memberikan gaji yang sesuai dengan gajimu di Jakarta.” Dokter Marsel tersenyum di akhir kalimatnya.
Karina pun memberikan senyum yang sama, lantas gadis itu menganggukkan kepala. Maka dokter Marsel mendesah lega.
“Baiklah, kalau begitu kita akan mengatur kembali jadwalmu. Karena hanya kau dan aku, maka kita tak boleh berada di shift yang sama. Kita akan membaginya secara rata supaya kamu juga masih memiliki waktu untuk liburan,” ujar dokter Marsel.
Karina kembali menganggukkan kepalanya. “Baiklah, aku ikut apa katamu,” ucap lelaki itu. “terima kasih sudah membantuku,” Lanjutnya.
Dokter Marsel tertawa singkat. “Bukankah itu sudah tugas kita? Saling membantu?”
Mendengar ucapan itu membuat Karina tersenyum simpul. Ia kembali menganggukkan kepala. “Ya,” ucap Karina singkat.
“Baiklah, kalau begitu aku pergi dulu. Ada beberapa pasien yang kondisinya harus dicek secara berkala,” ujar dokter Marsel dan ia pun melangkah meninggalkan ruangan tersebut.
Jared mematri tatapan pada dokter Marsel hingga lelaki itu meninggalkan ruang perawatan. Setelahnya, lelaki itu pun menghampiri Karina yang terdiam kaku sambil memandangi wajah si lelaki yang termangu-mangu di atas bangsal.
“Hey,” panggil Jared. Karina pun memutar pandangannya menatap sang kekasih. Kedua sudut bibir Karina berkedut, lantas mengulas senyum di wajahnya yang terlihat sendu.
“Jared, aku minta maaf, pasti kamu sangat kesal dengan keputusanku, tapi aku benar-benar merasa bertanggung jawab.”
Kekasih Karina itu menganggukkan kepala. Ia pun mengulurkan tangan, meraih tubuh Karina lalu membawanya ke dalam pelukan. Jared juga memberikan kecupan pada puncak kepala Karina sebagai bentuk dukungannya.
“Ya, tak apa. Aku juga senang kalau kamu bisa lebih lama di sini. Aku akan mendukungmu, karena itu sudah menjadi tugasmu.”
Mendengar ucapan itu membuat Karina akhirnya tersenyum, walaupun wajahnya masih terlihat lesu. Ia pun merebahkan kepalanya hingga mendarat ke depan d**a Jared.
“Terima kasih, Jared, you’re the best,” ujar Karina. Jared hanya bisa menganggukkan kepalanya.