Tampak dokter Marsel mengarahkan penlight ke mata si pasien yang kembali siuman setelah satu jam yang lalu sempat memberi sinyal bahwa ia telah berhasil melewati masa kritisnya.
“Denyut nadi normal, pupilnya kelihatan normal, Tuan jika kau bisa mendengarkan aku, tolong kedipkan mata.”
Sepasang kelopak mata itu kemudian mengedip. Memberi sinyal bahwa ia mengerti dengan apa yang dikatakan oleh dokter Marsel. Ia juga tahu bahwa lelaki bermata hazel itu bukan warga setempat hingga ia memakai bahasa Inggris. Sekarang jelas sudah bahwa lelaki itu adalah seorang turis.
“Can you tell me your name?” tanya dokter Marsel.
Lelaki itu tak menjawab. Kelopak matanya terbuka tutup beberapa kali, membuat dokter Marsel mendesah panjang. Ia pun menarik tubuhnya kembali ke posisi semula lantas memutarnya menghadap Karina.
“Dia masih dalam pengaruh obat bius. Kita tunggu beberapa jam lagi,” ujar dokter Marsel.
Karina hanya bisa mengangguk. Namun, di saat yang sama ia juga mendesah panjang. Setidaknya ia telah berhasil menyelamatkan nyawa seseorang.
“Ayo ke ruanganku,” ucap dokter Marsel kembali sambil mengulurkan tangan menunjuk pintu keluar.
Karina mengangguk sekilas. Ia turut memutar tubuh. Menghampiri Jared dan lelaki itu mendekap tubuhnya dari samping. Mereka pun berjalan keluar ruang perawatan menuju ruang kerja milik dokter Marsel.
Kali ini lelaki itu membawa mereka untuk duduk di sofa. Dokter Marsel duduk lebih dahulu ke sofa tunggal sementara ia mengulurkan tangan menunjuk sofa persegi panjang. Maka Jared dan Karina pun duduk di sana.
“Syukurlah dia sudah berhasil melewati masa kritis,” kata dokter Marsel.
Sepasang kekasih itu mendesah lega bersama. Karina lalu menganggukkan kepalanya.
“Ya, aku sangat takut memikirkannya,” ujar gadis itu. Ia pun menoleh ke samping lalu mendapati senyum simpul di wajah Jared. Lelaki itu mengangguk lalu mengusap kepala Karina sebagai bentuk dukungan.
“Tak apa. Dia sudah berhasil melewati masa kritis. Kita tinggal menunggunya memberitahu nama. Setelah itu kita akan menghubungi keluarganya.”
Untuk kali ini, Karina seperti agak sulit menganggukkan kepala. Satu sisi dalam dirinya masih takut apabila lelaki itu memilih untuk memperkarakan kasus ini ke pihak berwajib.
“Hey,” panggil Jared dan membuat Karina mendongak menatapnya. “It’s okay, kamu sudah melakukan yang terbaik. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan,” ucap Jared. Karina tersenyum sendu. Ia mengangguk sekilas lalu merebahkan tubuhnya di dalam dekapan Jared.
Dokter Marsel pun mengedikkan alis. Ia menepuk kedua paha sebelum bangkit dari tempat duduknya.
“Baiklah, kalau begitu kalian beristirahatlah dulu. Aku harus ke ruangan untuk mengecek keadaan pasien lain,” ucap dokter Marsel.
Karina pun menarik dirinya. Sekilas ia menganggukkan kepala. “Marsel,” panggil gadis itu. Dokter Marsel pun menoleh saat tubuhnya nyaris sampai ke pintu. “sekali lagi terima kasih. Dan maafkan aku yang memakai klinikmu sembarangan.”
Dokter Marsel tergelak. “Astaga! Sudahlah Karina, lagi pula kamu memakainya untuk menyelamatkan nyawa orang lain. Tidak ada yang salah dengan itu. Kamu melakukan hal yang benar dan itu sebuah aksi yang mulia. You are a hero,” ujar dokter Marsel.
Karina tersenyum singkat. “Thanks a lot,” katanya sekali lagi.
“Yeah, Bro, thank you for everything,” timpal Jared. Sekali lagi dokter Marsel menganggukkan kepalanya lalu ia pergi dari sana.
Ketika dokter Marsel telah meninggalkan ruangan, Karina kembali mendesah lega. Ia pun menghadapkan wajahnya pada Jared lalu Jared memberikan kecupan di dahi.
“Bagaimana perasaanmu?” tanya Jared.
“Sudah tidak setegang tadi, tapi aku masih khawatir. Bagaimana kalau-“
“Itu tidak akan terjadi,” sergah Jared. “jika itu terjadi maka aku akan menghajarnya.”
Mendengar ucapan itu membuat Karina tergelak. Ia menggelengkan kepala lalu kembali memeluk kekasihnya.
“Maaf,” gumam Karina.
Jared mengerutkan dahi. “Maaf untuk apa?” tanya lelaki itu.
Masih dalam pelukan Jared, Karina pun mendongakkan wajahnya. “Maaf sudah membuatmu uring-uringan. Andai aku mendengarkan ucapanmu waktu itu, mungkin semua ini tidak akan terjadi,” jelas Karina lalu Jared mendesah.
Tangan kirinya memanjat hingga ke belakang kepala Karina lalu mengelusnya dengan gerakan lembut. “Sudahlah. Apa yang sudah terjadi biarlah itu menjadi kenangan. Kamu tidak perlu terlalu memikirkannya. Dan, maaf juga karena aku sudah membentakmu. Padahal kamu sedang panik, tapi aku malah egois. Maafkan aku,” ujar Jared panjang lebar. Ia pun memberikan kecupan pada puncak kepala Karina.
Kedua sudut bibir Karina berkedut lantas memberikan senyum simpul di wajahnya. Ia balas memeluk Jared.
“Sekarang ayo kita kembali dulu ke vila. Lagi pula kata Marsel lelaki itu masih akan sadar beberapa jam. Kita bisa beristirahat di vila dan kembali dengan tubuh yang lebih bersih,” ujar Jared.
Karina pun mendongak. “Tapi kita harus berpamitan pada Marsel,” jelas gadis itu.
“Dia sedang memeriksa keadaan pasien.”
Tampak Karina memanyunkan bibirnya. “Bisa kita menunggunya?” tanya gadis itu. Tak ada respon dari Jared. “rasanya tak etis bila pergi tanpa berpamitan.” Lanjut Karina. Maka Jared mendesah panjang.
“Oke,” ucap lelaki itu singkat. Karina tersenyum dan kembali memeluk kekasihnya.
Tak berselang lama, Karina pun mengerutkan dahi saat merasa ada sesuatu yang bergetar di tubuhnya. Sontak, ia kembali menarik dirinya dari dalam dekapan Jared.
Bergegas Karina merogoh ponselnya yang ia letakkan di dalam hoodie milik Jared yang dipakainya sejak subuh tadi.
Tertera nama Rose Natalie di layar ponselnya dan kembali membuat Karina mengerutkan dahi.
“Siapa?” tanya Jared. Karina mendongak.
“Rose,” jawabnya.
“Kenapa tak dijawab?”
Karina mendesah sebelum akhirnya mengusap layar ponselnya. “Hem,” gumam Karina singkat.
“Hell! Aku menghubungimu sejak semalam. Kamu baca pesanku tapi tidak ada balasan. Apa sebegitunya bulan madumu.”
Tampak Karina memutar bola mata dan mengedutkan sudut bibir. “Kenapa Rose, aku sedang tak punya waktu untuk meladeni ocehanmu,” ujar Karina.
Terdengar desahan napas panjang menggema dari seberang sambungan telepon. “Aku dipecat,” ujar teman Karina bernama Rose.
“Lalu?”
“Ya Tuhan, haruskah kamu sedingin itu padaku, Karina? Lagi pula apa yang terjadi padamu? Semalam di video call kamu terlihat asyik. Apa kamu marah padaku karena tidak ikut denganmu ke Bali? Kalau seperti itu kamu tidak perlu khawatir karena aku sedang di Bandara untuk penerbangan pagi. Siang nanti aku sudah di Bali dan aku perlu bicara denganmu,” celoteh gadis di seberang sambungan telepon.
Terdengar Karina mendengkus. “Ya, baiklah. Kita ketemu di Bali,” ucapnya.
“Hem. Kalau begitu sampai ketemu,” ucap suara di seberang sambungan telepon.
“Ya, hati-hati, Rose,” jawab Karina.
“Oke, daah.”
Dengan begitu Karina mengakhiri sambungan telepon lalu kembali merebahkan tubuhnya dalam pelukan Jared.
“Rose akan kemari,” ucap Karina.
“Dengan kekasihnya?” tanya Jared.
“Tidak tahu, aku juga tidak bertanya. Katanya dia dipecat, sepertinya dia butuh pengalihan pikiran.”
Jared lalu mendesah. “Masalah apalagi dia itu,” gumamnya.
“Tidak tahu, Jared, nanti saja. Sekarang aku mau tidur.”
Jared menoleh. “Kalau begitu berbaringlah. Sial. Aku juga ingin tidur. Mataku sudah berat,” jelas lelaki itu.
Maka mereka memutuskan untuk berbaring pada sofa panjang yang kelewat empuk itu.
“Semoga saat bangun nanti kita akan mendapat kabar baik supaya kita bisa segera kembali,” gumam Jared. Ia pun menyamping dan memeluk tubuh Karina.
“Ya, kuharap juga begitu,” balas Karina.