“Axe, are you okay?” tanya Rose dengan sedikit ragu.
Dia kembali menoleh ke samping, memandang Jared yang masih terbeku di tempatnya. Tampak Jared menelan saliva lalu mengembuskan napas yang rupanya sudah ditahan lelaki itu sejak tadi.
“Y- ya,” gumam Axel. Rose kembali menghadapkan wajahnya pada lelaki muda itu.
“Oh, man ... you scared the hell are me!” Jared kembali mendesah berat. Ia pun menggelengkan kepalanya.
Sementara Axel masih memerlukan waktu untuk mengembalikan kesadarannya secara penuh. Dadanya naik turun, sementara napasnya berembus tak beraturan. Bergemuruh. Jantungnya masih bertalu dengan kencang dan bulu romanya bangkit hingga wajah Axel terasa membesar.
“Ap- apa yang terjadi?” tanya Rose.
Setelah beberapa saat, akhirnya Axel berhasil mengumpulkan kesadarannya. Tampak lelaki itu mengerjapkan mata sambil menggoyangkan kepala, berusaha mengingat apa yang baru saja terjadi padanya.
Rose menumpu tubuhnya dengan kedua lutut, lantas berjalan menghampiri Axel. Ia pun menggenggam kedua tangan lelaki itu sambil mendongak menatapnya.
“Katakan padaku, apa yang terjadi. Siapa yang melakukan ini padamu?” Wanita itu mulai penasaran.
Sepasang manik hazel milik Axel tampak membola. Ia pun menatap wanita di depannya dengan wajah kebingungan.
“Aku tidak tahu,” gumam Axel. Deru napasnya masih terdengar memburu. “aku tidak tahu,” gumam Axel sekali lagi.
Lelaki itu memutar wajahnya lambat-lambat. Ia tampak seperti seseorang yang sedang kebingungan. Membuat Rose mengerutkan dahi menatapnya.
“Ada apa, Axe? Kamu berteriak memanggil nama seseorang tadi.”
Ucapan Rose membuat Axel menoleh. Ia pun membulatkan matanya memandang gadis itu. “Siapa?” balas Axel bertanya.
Tampak mulut Rose megap-megap. Ia juga bingung harus menjawab apa. Maka gadis itu memilih untuk memutar wajahnya, menatap Jared yang juga ikut menatapnya. Jared seolah mengerti kondisi mental Rose. Ia pun memberanikan diri untuk menatap Axel.
“Mom,” jawab Jared.
Dengan cepat Axel memutar wajahnya pada Jared. Lelaki muda itu mengerutkan dahinya. Ucapan Jared membuat sesuatu mencelos perih dalam hati Axel.
“Ya, Axe, kamu memanggil ibumu,” timpal Rose.
Axel masih dalam kebingungan. Sekejap menoleh pada Rose, lalu dengan cepat memutar wajahnya menatap Jared.
“Kau mengingat sesuatu?” tanya Jared dengan hati-hati.
Axel tak tahu harus menjawab apa. Ia hanya bisa menggelengkan kepala sambil menaruh tangannya di depan d**a.
“I’m scared,” gumam Axel.
“Ya, aku bisa merasakannya,” ucap Rose. Axel pun berupaya keras memandang gadis itu. “oke!” Rose mengentak napasnya dari mulut. Ia pun menjadi frustasi karena kondisi Axel.
“Kamu tidak perlu mengingat apa pun untuk saat ini,” ucap Rose.
“No,” bantah Axel dengan nada lemah. “aku melihat sesuatu.” Lanjut Axel.
Pandangannya sangat tak fokus. Memandang Rose dan Jared bergantian. Ia pun menarik punggungnya yang sempat ia istirahatkan ke sandaran sofa.
“Aku melihat seorang wanita yang diikat di tiang,” kata Axel. Wajahnya berubah menjadi pucat pasi. Ia pun membawa tatapannya ke bawah. Dahinya pun mengerut, tampak sedang berpikir keras.
“Dia terlihat lesu. Rambutnya tampak berantakan dan pakaiannya tak beraturan lagi. Ada beberapa pria yang mengelilingi wanita itu. Dia memohon-mohon ampun, tapi tak ada yang mau mendengarkannya.”
“Ya Tuhan ....” Rose refleks bergumam. Sesuatu terbesit begitu saja di dalam kepalanya dan membuat gadis itu merinding ketakutan.
Jared yang merasakan hal yang sama lalu membawa pandangannya menatap Rose. Keduanya saling melempar tatapan ngeri. Ketika firasat berbisik sesuatu yang mengerikan, tubuh pun meresponnya dengan cepat.
Rose sampai memeluk tubuhnya sendiri. Mungkin saja yang sedang dikatakan Axel saat ini adalah penggalan dari ingatannya yang hilang.
Rose tidak ingin membuat kesimpulan sendiri, akan tetapi ... melihat ekspresi Axel saat ini, membuat semuanya semakin jelas.
“Dia ... dia berteriak. Aku menyaksikannya. Dia berteriak dan seakan-akan wanita itu sedang menatapku.”
Dilihat Rose, bibir Axel bergetar pun kelopak matanya yang ikut bergetar. Gadis itu menangkap sesuatu yang jauh lebih mengerikan hingga ia pun mendorong tubuhnya dari lantai, lalu dengan cepat meraih tubuh Axel.
“Hey ....”
“Dia memanggilku, Rose. Dia memanggilku,” kata Axel.
Rose bisa merasakan getaran kuat di tubuh lelaki itu. Tak tahan lagi, Axel pun mengubur wajahnya di dalam ceruk leher Rose dan membiarkan air matanya tumpah.
“Dia menyuruhku untuk menutup mata. Rose, oh Tuhan ....”
Jared yang melihat sekaligus mendengarkan tangisan nelangsa itu kemudian memalingkan wajah.
“s**t!” Lelaki itu mendesis sambil menonjok lantai.
Seketika lelaki itu bangkit dari lantai dan melesat keluar. Jared berlari menuju lorong di mana Axel tadi ditemukan. Ia pun menggeram saat melihat CCTV di sudut ruangan.
Segera Jared berlari ke sebuah ruangan tempat kontrol CCTV. Ia membanting tubuhnya ke kursi. Jemarinya langsung bergerak dengan cepat di atas keyboard. Rahang Jared mengencang seketika.
‘Siapa yang sudah berani menyakitimu, Axel. Siapa orang itu,’ gumam Jared. Sungguh, lelaki itu sudah bersumpah bahwa dia akan memberikan pelajaran kepada siapa pun yang sudah menyakiti Axel.
Manik mata Jared pun terbelalak. Ia pun mencondongkan wajah untuk lebih memerhatikan layar di depannya.
Tampak seseorang muncul dari lorong selatan. Dari postur tubuhnya, dia tampak berjenis kelamin lelaki. Dia bertubuh besar, memakai hoodie dan topi sehingga Jared tak bisa mengenali wajahnya.
“Dari mana dia masuk,” gumam Jared. Ya, lelaki itu muncul begitu saja. Seakan-akan dia sudah menunggu di sana sejak lama.
Mata Jared semakin membesar saat melihat lelaki itu mengayunkan tangannya dan menonjok Axel.
“What the f**k!” desis Jared sambil membuka kedua tangannya.
“JARED!”
Teriakan Rose membuat Jared tersentak di tempat duduk. Lelaki itu segera melompat dan berlari keluar dari ruangan tersebut.
“JARED!” Sekali lagi Rose berteriak dan kali ini dia terdengar ketakutan.
“What’s going on?” tanya Jared dengan nada panik. Lelaki itu menahan tubuhnya dengan kedua tangan yang bersandar di tiang pintu.
“Jared!”
Seketika Jared terbelalak saat melihat Axel yang pingsan dengan darah yang mengucur dari hidungnya.
“Tolong aku,” lirih Rose. Air mata mulai berderai keluar membasahi pipinya.
“Ya, Tuhan, Axe!” Segera Jared melesat menghampiri Rose. Tanpa bertanya lagi, ia langsung menggendong tubuh Axel.
“Hubungi Marsel, katakan kita butuh bantuan segera,” perintah Jared.
Rose mengangguk. Sambil terus berlari, dia berusaha melirik ponsel untuk mencari nama dokter Marsel dari ponselnya.
“Ya, Rose.”
Syukurlah lelaki itu menjawab dengan cepat. “Marsel, aku butuh bantuanmu. Axel diserang orang tak dikenal dan sepertinya hal itu membuatnya mengingat sesuatu. Dia sudah sadarkan diri, tapi tak lama kemudian dia pingsan. Hidungnya terus mengeluarkan darah.”
“Oh my God!” desis Marsel. “kalian di mana?” tanya lelaki itu.
“Kami sedang berada di bar milik Jared dan kami berencana untuk membawa Axel ke tempatmu,” ucap Rose terburu-buru. Dia pun berlari saat Jared berteriak meminta bantuan.
“Baiklah. Bawa dia ke tempatku. Aku akan tiba di rumah sakit dalam lima menit,” kata Marsel.
“Ya. Kumohon, Marsel cepatlah.”
“Baiklah. Aku akan menghubungi temanku yang bekerja di rumah sakit daerah. Dia seorang spesialis neurologi. Dia bisa menangani Axel lebih baik,” ujar Marsel.
“Baiklah, kalau begitu cepatlah. Sungguh, kondisinya sangat memprihatinkan,” kata Rose. Ia pun segera melesak ke dalam mobil, menemani Axel di kursi penumpang sementara Jared melesat ke depan.
“Ya. Aku akan bergegas,” kata Marsel.
Rose pun mematikan sambungan telepon. Ia membuang napas panjang. “Axel, kumohon bertahanlah,” gumam Rose.