Kediaman Keluarga Van Der Lyn
New York, USA
2019
***
Tampak seorang lelaki sedang duduk di belakang meja kerjanya. Entah sudah berapa lama manik berwarna cokelat itu memandangi layar monitor. Dahinya tampak mengerut bersama kedua alisnya yang menukik ke tengah. Kelopak matanya kini memicing, berusaha memahami tulisan demi tulisan yang tertera di depan layar.
Lantas bunyi berderik yang menggema dari arah berlawanan lalu mengalihkan atensinya. Lelaki itu mengerjapkan mata. Manik cokelatnya mengarah ke daun pintu yang bergerak. Sejurus kemudian, muncul presensi seorang lelaki berambut panjang dengan janggut dan kumis yang tebal. Perlahan-lahan, ia mulai menarik punggungnya sembari mengembuskan napas panjang.
Untuk sejenak ia melepas atensi dari dokumen-dokumen menyebalkan yang berusaha dipahaminya.
“Sir,” Panggilan itu membuat si lelaki menarik sudut bibir, wajahnya pun membentuk senyum formal tipis ketika tangan kanannya terulur menunjuk kursi di depannya.
“Kamu dapat sesuatu?” tanya si lelaku muda bersuara bariton berat tersebut.
Lelaki pertengahan lima puluh di depannya tampak menarik napas dan mengembuskannya dengan berat hingga kedua bahunya ikut bergerak ke bawah. Ia menunduk sejenak, seakan tak kuasa menatap wajah penuh pengharapan di depannya. Sedetik berlalu, lelaki itu lantas menggelengkan kepala.
Dia membuat lelaki muda bermata cokelat di depannya kemudian mendesah kecewa. Kedua tangannya memanjat lalu mengusap wajahnya dengan kasar. Seketika ia menggeram rendah.
“Maaf, karena tidak membawa kabar yang kau inginkan,” kata si lelaki pertengahan lima puluh tersebut. Ia pun mendesah panjang sebelum melanjutkan, “namun, semua pasukan sedang bekerja menyisir beberapa tempat termasuk pelabuhan dan sebagian lagi menyisir kapal-kapal kargo milik Texas. Namun, maafkan aku, Sir, bukannya aku ingin menggurui Anda, tetapi kejadian itu sudah terjadi bertahun-tahun yang lalu. Sudah sekitar empat tahun, maaf, tapi rasanya mustahil menyelidiki mereka dengan mendatangi satu per satu pelabuhan dan juga kapal kargo,” ujar lelaki itu panjang lebar. Ia kembali menjeda ucapannya dengan mengambil napas, lalu mengembuskannya dari mulut.
“Berapa banyak pelabuhan dan berapa banyak kapal kargo yang harus kita cari? Siapa kaptennya waktu itu, belum tentu juga dia akan tahu bahwa ada penumpang yang sengaja digelapkan di kapalnya. Sir, kami pasti tak akan menyerah mencari keberadaan Nyonya besar bersama tuan Lenox, tetapi kita butuh strategi baru.” Lanjut lelaki itu.
Sejauh ini, tuannya terdiam tanpa tahu harus berbuat apa. Lalu ia mendesah dan menganggukkan kepala.
“Kamu benar, Edgar,” kata lelaki muda itu. “kita tunggu kabar dari Redfox couple. Katanya mereka punya God’s Eye. Aku tidak terlalu mengerti, tetapi kata Jhony benda itu bisa membuat kita melacak seseorang dari berbagai sumber. Katanya bisa mengakses seluruh kamera CCTV dan bahkan kamera ponsel dari berbagai belahan dunia. Kita tunggu saja info dari mereka,” ujar lelaki itu.
Edgar yang terdiam di depannya lantas menganggukkan kepala. Sekali lagi lelaki muda itu mendesah berat sebelum akhirnya bangkit dari tempat duduknya. Ia menepuk kedua paha sebelum benar-benar bangkit dari kursi kerjanya.
“Ed, tolong lihat pekerjaanku. Delinda mengirimkan banyak dokumen dan dia menyuruhku untuk mempelajarinya, tapi aku tak bisa mengerti satu pun tulisan di dalam dokumen itu. Kepalaku pening. Aku butuh sesuatu untuk menjernihkan pikiranku. Oh ya, hubungi Cassie. Kirim semua dokumen itu padanya dan suruh dia mengirimku garis besar dari dokumen yang dikirimkan Delinda.”
“Noted, Sir,” ucap Edgar. Lelaki yang menjadi kepercayaan dari Leonard Van der Lyn, putra kedua Fredrick Van der Lyn dan Elena Cardenaz.
Leonard adalah lambang dan kekuasaan tak terhingga dari seorang Fredrick Van der Lyn yang telah jatuh ke dalam penjara khusus CIA. Lelaki itu meninggalkan sebuah misteri bagi putra keduanya, Leonard Van der Lyn untuk mencari keberadaan ibu dan adiknya yang diculik pada tanggal 23 Desember 2016 silam.
Empat tahun lamanya Leonard berusaha mencari keberadaan ibu dan adiknya. Seolah-olah ingin menolak kebenaran yang diberitakan publik bahwa Elena Cardenaz, Lenox Van der Lyn dan Lucas Van der Lyn, paman Leonard itu sudah meninggal akibat peristiwa besar yang terjadi di rumah ini empat tahun silam.
Sampai saat ini, Leonard masih tak percaya bahwa ayahnya sendiri yang telah menghancurkan keluarganya. Tak ada yang pernah mengira bahwa seorang Fredricksen Van der Lyn ternyata seorang kepala dari sindikat rahasia yang telah diburu oleh CIA.
Black Glow. Begitu sindikat itu ditakuti oleh semua pelaku dunia gelap. Siapa pun yang mendengar nama itu pasti akan dibuat merinding ketakutan. Namun, sekarang, sindikat itu tak lebih dari semua nama yang mengukir kegagalan.
Pertempuran di Beverly Hills menjadi awal keruntuhan sindikat tersebut. Tiada yang tahu bahwa siapa lawan dan siapa kawan. Fredrick begitu membanggakan seluruh anak buahnya yang terkenal loyal, tetapi ia juga tak pernah menyangka bahwa salah satu anak buah loyal dari Fredrick merencanakan hal mengerikan.
Bruce Peterson bersama putranya Chester. Dua orang yang sama-sama menginginkan keruntuhan Black Glow, tetapi dengan tujuan berbeda.
Jika Bruce menginginkan penggulingan takhta dan hendak menjatuhkan Fredrick, maka Chester menginginkan sang ketua muda yaitu Letty Van Der Lyn, kakak Leonard itu untuk menjadi kekasihnya. Sayang sekali, karena cinta Letty hanya untuk Alexander Oliver.
Chester yang kecewa karena cintanya tak terbalas lalu bekerja sama dengan Marthin Oliver, ayah Alexander Oliver sekaligus musuh bubuyutan dari Fredrick Van der Lyn. Keduanya bekerja sama menjebak Letty dalam sebuah tragedi yang terjadi di London. Tragedi yang sekaligus mengungkap identitas Letty yang kala itu menyamar sebagai Letty Murphy.
Niat Letty untuk menghancurkan Black Glow pun menjadi kacau saat ia harus menerima hukuman penjara seumur hidup kepada gadis muda berhati mulia itu. Ia yang awalnya punya tujuan menjadi CIA, lalu dipaksa menjadi ketua sindikat. Ia yang membenci kejahatan lalu diterjunkan pada dunia yang menuntutnya melakukan kejahatan.
Sungguh, tidak ada yang mengerti bagaimana jalan pikiran Fredrick. Ia seorang pengusaha kaya raya yang punya kedudukan tinggi, bahkan masuk dalam deretan sepuluh orang terkaya di dunia, tetapi entah mengapa ia malah terobsesi pada dunia gelap dan berkecimpung dengan sindikat selama bertahun-tahun.
Yang dipikirkan orang-orang bahwa Black Glow telah tenggelam, tetapi Fredrick bukan seseorang yang bisa ditebak dengan mudah. Buktinya, Fredrick Van der Lyn menyimpan sindikat rahasia di Rusia. Sindikat itu tak bernama dan satu-satunya yang mengendalikan sindikat itu adalah putra keduanya, Leonard Van der Lyn.
Lelaki yang dipaksa masuk ke sekolah militer Rusia hanya untuk mempelajari seni bela diri menakutkan. Hanya dalam kurun waktu lima tahun, Leonard Van der Lyn berhasil menguasai segala jenis bela diri.
Para prajurit pasukan khusus dijadikan bagai mesin pembunuh. Dan tak ada juga yang tahu bahwa Leonard punya hubungan khusus dengan kepala negara Rusia, di mana ia sering dikirim sebagai mata-mata untuk mempelajari teknik perang dari negara lain atau bahkan menyelinap untuk mencari tahu strategi perang dari negara rival.
Dan di sinilah Leonard berakhir. Di dalam rumah besar tempatnya menghabiskan masa kanak-kanak hingga remaja.
Serasa baru kemarin dia berkumpul dengan kedua orang tuanya, dengan kedua saudaranya. Duduk di satu meja makan sambil menyantap makan malam. Sungguhlah itu menjadi satu-satunya kenangan termanis yang dimiliki Leonard.
Sekarang rumah besar itu tampak sunyi, gelap dan seakan tak bernyawa. Hanya ada beberapa pelayan termasuk dua orang kepercayaan Leonard. Dan juga ... seorang tawanan yang punya hasrat untuk melenyapkan dirinya.
“I’m back bitches, do you miss me, bitches?”
Suara itu membuat seseorang yang sedang menekuk lutut di atas ranjang lalu terperanjat. Refleks ia pun mendongak. Napasnya langsung berembus kasar dan brutal saat melihat visual yang sedang berdiri di ambang pintu.
“Lepaskan aku, b******n!”
Mendengar desisan tajam itu membuat lelaki yang dijuluki el Diablo itu lantas menyeringai. Tangan kanannya menggenggam sebotol wiski yang diambilnya dari ruang pribadi ayahnya. Ruang berdebu dan tak pernah dibersihkan karena tak ada yang tahu ruangan itu selain dirinya. Di sana ada beberapa jenis wiski yang sudah termasuk langka. Rasanya sangat nikmat. Begitu cocok ditenggak di saat kepala terasa pening, untuk menghilangkan rasa jenuh.
Sementara satu tangannya yang lain bersembunyi di balik saku celana. Sambil mematri tatapan pada sepasang manik hijau abu-abu yang tengah memandanginya dengan pandangan nyalang, lelaki itu pun berjalan menghampiri si wanita yang sedang melayangkan pandangan penuh teror padanya.
Kedua kaki jenjang milik si wanita mulai bergerak. Jantungnya pun memberikan respon mengerikan dengan berdetak dua kali lebih cepat dan setiap detakannya seolah-olah ingin menegaskan bahwa dirinya telah salah membuat strategi.
Padahal takdir sudah memihaknya. Mempertemukannya dengan si lelaki yang telah membunuh ayahnya setahun silam. Namun, karena kebodohan Victoria, ia salah menduga bahwa pembunuh berdarah dingin itu tidak mengenali dirinya. Dan akhirnya, Victoria berakhir di dalam penjara sebuah kamar yang disepuh warna gelap dan didominasi warna merah, hitam dengan sekeliling dipenuhi berbagai alat b**m.
“Hah!” Victoria tersentak ketika lelaki itu tiba-tiba saja menjatuhkan tubuh dan menumpunya dengan lutut.
Di mana pikiran Victoria sedari tadi?
Mengapa ia tak pernah menyadari keberadaan si iblis paraphilias itu. Mengapa pikiran Victoria selalu melayang mana kala rasa takut kembali berbaur dengan perasaan aneh yang setiap detik selalu bertambah. Mencuat, membuat Victoria bergidik ngeri.
Desahan napas berat milik lelaki itu, juga geraman rendah yang samar terdengar meluncur dari kerongkongannya, seketika membuat gadis berdarah McLean itu diterpa perasan takut luar biasa.
Sungguh, Victoria telah mempersiapkan dirinya untuk menghadapi lelaki itu cukup lama. Ia bahkan rela belajar berbagai ilmu bela diri. Namun, semua itu menjadi sia-sia saat lelaki itu malah menghancurkan Victoria dengan cara paling tidak manusiawi.
“Lepaskan aku!” jerit Victoria.
Lelaki di depannya menyeringai. “Lepaskanmu?” gumamnya rendah. Suara serak itu, entah mengapa membuat tubuh Victoria gemetar. Hingga gadis batinnya muncul dan berlari sambil berteriak, ‘neraka! Neraka sudah menantimu, Victoria!’
Maka gemetarlah bibir gadis itu. Pandangan yang tadinya melayangkan sejuta teror, kini bak seekor kelinci dalam kungkungan elang pemangsa. Takut dan cemas.
“Hem ....”
Gumaman dari suara berat itu membuat Victoria menarik setengah bahunya hingga nyaris menyentuh telinga.
“Set you free, hah?” gumam Leonard. Wajahnya tepat berada di depan wajah Victoria.
Satu keinginan Victoria saat ini adalah menendang tubuh lelaki itu. Kakinya cukup kuat untuk menghancurkan usus-usus lelaki di depannya. Namun, sialan karena ia memasangkan belenggu pada pergelangan kaki. Sebuah rantai mengikatnya ke tiang.
Kedua kaki dan tangannya dirantai di atas ranjang. Ada pun gerakan yang bisa ia lakukan hanyalah menggerakkan kaki, menekuk lutut dan menyandarkan kedua lengannya di atas lutut. Seperti yang ia lakukan barusan.
“Lepaskan aku, b******n gila!”
Sudut bibir Leonard naik, membentuk senyum iblis yang sudah menjadi ciri khasnya. Pelan namun pasti, lelaki itu menarik punggung hingga tubuhnya berdiri tegak. Dengan cepat lelaki itu bergerak, membuka sekaligus melebarkan kedua kaki Victoria.
“HEY!” teriak Victoria. Matanya pun lantas memberikan pandangan nyalang.
“Hey ....” Leonard menanggapinya dengan santai. “sudah berapa kali kukatakan bahwa kamu tak boleh berteriak padaku,” ucapnya dengan tenang. Namun tak setenang tatapan matanya yang memancarkan keheningan mematikan.
Victoria pun terdiam, namun tidak dengan kaki dan tangannya yang mulai meronta-ronta. Dia membuat senyum iblis di wajah Leonard semakin berkembang, mengusai wajah yang sialan tampak tampan itu.
“Aku butuh hiburan,” gumam Leonard. Ia mulai membuka penutup botol wiski yang sedari tadi bertahan dalam genggamannya. Melemparkan penutup botol di lantai lalu dengan cepat tangan kirinya meraih rahang Victoria.
“Hempth!” Wanita muda itu menjerit. Ia dipaksa mendongak, menatap pandangan mata sepasang manik cokelat yang berubah gelap bak vantablack itu kini melebar memandangnya dengan hasrat menakutkan.
“Dan satu-satunya yang bisa menghiburku adalah dengan menyiksa dirimu!” desis Leonard. Rahangnya mengencang seketika. Tangannya pun bergerak lantas menuangkan wiski ke dalam mulut Victoria yang dipaksa terbuka itu.
Gadis itu menutup kedua matanya. Mendengarkan geraman dari lelaki yang kembali menyiksanya tanpa ampun.
“Ya!” geram Leonard. “begitu. Menangislah. Menangis hingga suaramu terdengar oleh Benedict. Menangislah hingga semua orang tahu bahwa putrinya Benedict sedang tersiksa di dalam kendaliku.” Lelaki itu pun tertawa dan suaranya sangat menakutkan.
“TELAN!” perintahnya dengan nada diktator.
Victoria menggeleng dengan kuat lantas membuat Leonard menggeram berang. “Kurang ngajar!” Lelaki itu pun melepaskan cengkeraman tangannya, tetapi kemudian mengayunkannya dan mendaratkan tamparan keras tepat di pipi Victoria.
PLAK
Bunyi itu menggema. Victoria mendesah berat. Pipinya pun langsung berkedut dengan rasa sakit yang luar biasa. Telinganya berdengung. Niat hati ingin melawan, tetapi lelaki itu kembali menarik rambutnya dengan kasar. Menyodorkan mulut botol dan memasukkannya dengan paksa ke dalam mulut Victoria.
Gadis itu kembali menjerit. Dua bulir air bening jatuh membasahi pipinya. Menjadi pertanda bahwa terlalu besar penderitaan yang dialaminya. Namun, di saat yang sama justru menghibur Leonard dan membuatnya tertawa puas.
“Ya, seperti itu. Nikmati alkohol ini. Sebab ....” Leonard menunda ucapannya. Ia merundukkan wajah lalu berbisik tepat di depan telinga Victoria, “setelah ini kamu akan terangsang dengan sangat dan memohon padaku agar segera memenuhi dirimu dengan milikku.”
Kelopak mata Victoria semakin melebar. Ia mencoba untuk menggelengkan kepala, tetapi Leonard justru semakin mendorong ujung botol itu ke dalam mulut Victoria hingga nyaris menyentuh kerongkongan.
Victoria menjerit. Menangis dan melirih dengan nada nelangsa. Sejauh ini, Victoria masih bertanya-tanya mengapa dia harus mengalami siksaan fisik ini? Apa salahnya hingga dia layak diperlakukan seperti ini? Mengapa? Apakah seseorang bisa menjelaskan sesuatu padanya.
Atau ... bisakah Tuhan mengirimkan malaikat pencabut nyawa bagi Victoria?
Sungguh, jika ada yang bisa dilakukan Victoria saat ini adalah mengakhir hidupnya. Itu lebih baik daripada mengalami siksaan fisik yang diberikan oleh lelaki yang telah melenyapkan ayahnya.