14. Help and Offer

1474 Kata
Bali, Indonesia *** “Oh my God ....” Rose bergumam. Kedua matanya terbelalak memandang si lelaki yang terbaring di atas bangsal. Terdengar embusan napas panjang dan berat dari Karina. Wanita muda itu menoleh ke samping, tepat saat Rose juga mengarahkan pandangan mata kepadanya. “Jadi, dia ....” Sekali lagi Karina mendesah berat lalu akhirnya gadis itu menganggukkan kepalanya. “Hem,” gumam Karina. “Oh my God!” desis Rose. Ia pun mengambil langkah, menghampiri bangsal di mana lelaki muda itu tengah berbaring. “Ini sudah seminggu, Rose, dan selama ini dia belum ada perubahan. Lelaki itu tak bicara apa pun, sepertinya dia mengalami amnesia total. Bahkan ini kasus terlangkah sebab dia tak bisa mengerti apa yang aku dan Marsel katakan,” ujar Karina. Sambil mematri tatapan pada lelaki itu, Rose pun secara perlahan membawa tubuhnya hingga terduduk di samping bangsal. “Poor boy, what a tragic fate,” gumam Rose. Ia pun memutar pandangannya menatap Karina. Untuk ke sekian kalinya gadis itu melepaskan desahan berat. “Aku juga merasa prihatin dengan nasibnya, Rose. Dia bahkan tak bisa berbicara. Seakan-akan ingatannya terhapus total hingga ia bahkan tak bisa mengenali bahasanya sendiri. Bagaimana caraku memberitahu keluarganya. Hah ... aku benar-benar kalut, Rose.” Mendengar ucapan itu membuat Rose memberengut bibir. Ia pun bangkit dari tempat duduknya, menghampiri Karina, meraih sekaligus memeluk tubuh temannya itu dari samping. Rose pun mengusap satu sisi lengan Karina untuk menyemangati sahabatnya itu. “It’s okay, Karin, kamu sudah melakukan yang terbaik. Kamu juga tak perlu merasa bertanggung jawab soal kondisinya. Sebab, seperti apa yang kamu katakan, bagian kepalanya yang terluka karena kecelakaan bukan menjadi penyebab dia mengalami amnesia. Anggap saja bahwa takdir sengaja mempertemukanmu dengan lelaki ini sebab ia tahu bahwa cuma kamu satu-satunya yang bisa menolongnya.” Mendengar ucapan itu lantas membuat Karina terkekeh sinis. Ia pun menggeleng lalu menelengkan wajahnya. “Ada apa?” tanya Rose. Ia mengerutkan dahinya, menatap bingung wajah Karina. “Tidak,” ucap Karina sambil menggelengkan kepala. Wanita muda itu kembali menatap sahabatnya. “perkataanmu sama seperti yang dikatakan Marsel.” Lanjut Karina. Kali ini giliran Rose yang terkekeh sinis. “Kupikir apa,” gumam gadis itu. Keduanya kembali memandang si lelaki yang berbaring di atas ranjang. Sama sekali tak ada ekspresi di wajah lelaki itu, sebab bagian-bagian penting di otaknya mengalami trauma. Mulut Rose terbuka, lantas melepaskan desahan panjang. “Hah ... aku jadi merasa tidak enak sudah berkunjung padahal kondisimu sedang tidak baik-baik saja. Aku malah mengacau di kelab milik Jared, oh sungguh! Aku benar-benar ingin bunuh diri saat itu,” ujar Rose panjang lebar. Karina tersenyum geli. Mendadak saja, kejadian di malam ketika Rose mabuk memenuhi kepalanya. Ia pun ingat bahwa gadis itu tak mau keluar kamar selama beberapa hari karena Jared yang tak berhenti menertawakannya. Terlebih, saat Jared dengan tega menunjukkan video yang merekam kejadian konyol di barnya. Sungguh, Rose sangat jengkel dan semakin mengurung diri. Niat hati ingin healing namun Rose malah mendapati cercaan dari kedua orang yang katanya temannya itu. “It’s okay, Rose,” ucap Karina. Ia memutar tubuh, menghadap Rose lantas memegang kedua sisi lengan gadis itu. “Lagi pula aku senang kamu ada di sini. Jika bukan karena dirimu, aku benar-benar akan jenuh. Kau tahu, aku dan Jared sempat bersitegang karena hal ini.” “Oh ya?!” Rose pun mendelik dan cukup dibuat terkejut. “Ya,” jawab Karina. “awalnya Jared tak setuju dengan keputusanku yang ingin merawat lelaki ini sampai dia pulih. Namun, belakangan dia malah mendukungku. Dan kehadiranmu mencairkan suasana yang sempat menegang. Aku jadi melihat Jared tertawa sepanjang hari.” Seketika Rose memanyunkan bibir. “Ya!” tandasnya. Ia pun melotot pada Karina. “itu karena kalian terus menghinaku. Dasar!” Karina kembali dibuat tergelak oleh tingkah lucu Rose. “But, anyway, ada sesuatu yang ingin kubicarakan berdua denganmu,” ujar Karina lantas membuat Rose kembali mengerutkan dahinya. “Ada apa?” tanya Rose dengan wajah penasaran. “Eum ...,” Karina bergumam. Sekilas ia menoleh ke belakang. Mendesah berat lagi sebelum kembali menatap Rose. “Rose, kau tahu bahwa aku tidak bisa lama-lama di Bali. Aku juga harus segera mengurus wisudaku di Amerika. Selain itu, aku juga harus mempersiapkan dokumen untuk lanjut ke tahap selanjutnya. Aku ingin mengambil pendidikan lanjutan. Aku berencana menambah gelarku karena masih banyak yang harus kupelajari di dunia kedokteran termasuk spesialis ilmu bedah,” ujar Karina panjang lebar. Rose menganggukkan kepalanya lambat-lambat. “Oke ... dan hubungannya denganku adalah?” tanya gadis itu sambil menahan kedua alisnya tetap menukik ke tengah. “Rose, karena kejadian ini, aku merasa sangat bertanggung jawab dengan keadaan lelaki itu. Aku telah bersumpah pada Tuhanku, apabila dia selamat aku akan memberikan apa pun semampuku untuk membantunya. Namun, aku juga tak bisa membawanya ke Amerika. Ya, andai aku bisa, tentu aku akan membawa serta lelaki itu denganku. Namun, kamu tahu sendiri bahwa dia bahkan tak mengingat siapa dirinya. Lelaki itu tak beridentitas. Kami sudah mencoba melacak sidik jarinya, tetapi kami tak berhasil menemukan sesuatu yang bisa membuktikan identitas lelaki itu.” “Lalu ....” Mendengar nada panjang itu sekali lagi membuat Karina mendesah berat. “Aku tak tahu harus minta tolong pada siapa. Tak mungkin juga pada Jared.” Karina berhenti berucap. Gadis itu mematri tatapan pada Rose yang juga mematri tatapan padanya. Rose menunggu dengan sabar, walaupun sesungguhnya dia sepertinya sudah tahu apa yang akan dikatakan oleh Karina. “Rose, kamu bilang kamu stres karena dipecat dan kamu butuh uang untuk melunasi kartu kredit. Aku tahu bahwa kamu tak akan menerima bantuanku, jadi mari kita buat kesepakatan.” Kening Rose yang mengerut itu semakin menukik tajam. Ia menarik kepalanya agak ke belakang, sementara memaksa otaknya untuk memahami ucapan temannya. Entah sudah berapa kali Karina mendesah. Napasnya terasa terus memberat seiring pergulatan yang terjadi di dalam otaknya. “Rose, aku mau menawarimu pekerjaan dan aku bersumpah akan menggajimu sama seperti perusahaanmu menggajimu.” “Karina, ka-“ “Rose, kumohon dengarkan aku,” sergah Karina. Ia memindahkan kedua tangannya di atas pundak Rose dan menatap gadis itu dengan pandangan serius. “Rose, jadilah pengasuh untuk lelaki itu.” DEG Seketika manik mata Rose terbelalak. Bersama degup jantungnya yang seperti berhenti berdetak. “Ap- ap-“ “Rose, aku tahu ini terdengar konyol. Namun, hanya kamu yang bisa membantuku saat ini. Tidak mungkin kutinggalkan dia sendirian di Bali. Dia juga tidak bisa lama-lama berada di rumah sakit ini, karena setelah kondisinya membaik, dia harus segera dikeluarkan dari rumah sakit ini dan aku merasa hutang budi apabila membiarkannya luntang lantung di jalanan.” “Karina, tapi-“ “Rose dengarkan aku.” Rose pun mendengkus lantas memalingkan wajahnya. “aku akan memberi kalian rumah. Oke. Aku punya investasi di sebuah vila, kamu bisa memakainya. Aku akan menjamin semua kebutuhan kalian. Sandang dan pangan. Lalu aku juga akan memberikan upah untukmu sebagaimana kamu bekerja di perusahaanmu.” “Tapi Karin-“ “Dan kamu juga bisa healing,” sergah Karina dengan cepat. Rose terdiam, selain napasnya yang berembus kasar. “Rose, kamu juga bisa mulai menulis buku sama seperti yang selama ini kamu cita-citakan. Aku berjanji akan menghubungi temanku yang adalah salah satu Chief Editor di penerbit mayor. Setelah naskahmu siap, kamu bisa memberikannya padaku dan aku berjanji akan segera mempublikasikannya. Bukankah itu cita-cita terbesarmu?” Rose pun terdiam. Seketika pikirannya dibuat berkecamuk. Hatinya berkedut, lantas memperingatkan Rose bagaimana dengan harga dirinya nanti. Namun, Rose juga tahu persis bahwa tak ada lagi yang bisa dipertahankannya di ibukota. Dia sudah dipecat dan dia juga sudah putus dengan mantan kekasihnya. Jika ada yang bisa dilakukan Rose saat ini hanyalah bertahan hidup. Uang di tabungannya juga tak seberapa. Tawaran Karina benar-benar mengacaukan prinsip Rose. “Karin, tapi aku tak bisa melakukan itu. Maksudku, meminta uang padamu, aku ....” “Rose!” tandas Karina. “kamu tidak meminta uang padaku, tetapi aku yang menawarkan pekerjaan padamu. Jadi kita sama-sama diuntungkan. Kamu menjaga lelaki itu dan aku akan membayarmu juga memenuhi kebutuhan kalian. Semuanya cukup adil, bukan?” Rose kembali dibuat terdiam. Selama beberapa detik ia menghabiskannya dengan memandang mata Karina. “Kumohon, Rose, pikirkanlah. Hanya kamu yang bisa menolongku,” ucap Karina dengan wajah memelas. Rose tampak menghela napas dalam-dalam lalu mengembuskannya sambil menutup kedua mata. “Oke,” ucapnya. Karina lalu mendesah lega. “Thank God,” gumamnya. Akhirnya hilang sudah kekhawatiran Karina. Sekarang, dia bisa fokus pada kehidupannya tanpa takut dihantui rasa bersalah. Karina memang punya finansial yang cukup. Bisa dibilang, dia hidup bergelimang harta. Untuk itu, tak masalah baginya memberikan salah satu vila di Bali untuk Rose bersama lelaki muda yang sudah menjadi buah pikirannya selama ini. “Terima kasih Rose,” ucap Karina. Ia pun memeluk tubuh sahabatnya. “kamu memang yang terbaik.” Lanjutnya. Sementara Rose hanya bisa mendesah pasrah. Ia pun memutar wajah memandang si lelaki yang masih berbaring termangu-mangu di atas bangsal.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN