“Apa yang kamu pikirkan, Axe?”
Lelaki yang terduduk di tepi ranjang sambil menekuk lutut itu akhirnya bergeming. Ia pun mendongak, menatap Rose. Axel menarik sudut bibirnya, lantas membentuk senyum simpul di wajah.
“Tidak,” jawab Axel singkat.
Rose mendesah hingga kedua bahunya merosot. Setelah meletakkan pakaian Axel ke dalam lemari, Rose pun berjalan menghampiri Axel lantas merangkak di atas ranjang. Dia duduk tepat di depan Axel.
“Come on, tell me,” kata Rose.
Untuk sekelebat, Axel terdiam. Dagunya tampak mengerut, lelaki itu mulai menyeret pandangannya ke bawah, Axel pun mendesah.
“Aku hanya memikirkan di bar tadi,” ujar Axel.
Rose mengerutkan dahinya. “Yang mana?” tanya Rose.
“Eum ... yang duduk menyendiri,” jawab Axel.
Rose terkekeh pelan. “Well, ada banyak orang yang datang ke bar sendirian. Mungkin kamu bisa menyebutkannya secara spesifik,” ujar Rose.
“Pria yang memakai jaket hitam yang terus menatapku,” kata Axel sekali lagi.
Wanita muda yang duduk di depannya lalu mengerutkan dahi. Peralahan matanya mulai berpaling, seakan berusaha mengingat dengan jelas pria yang disebutkan oleh Axel. Sejurus kemudian Rose pun mendelik.
“Oh my God, I remember him,” kata Rose. “dia terlihat seperti preman dalam balutan jubah bagus.” Lanjutnya. Seketika raut wajah Rose berubah, tampak begitu cemas.
“Kenapa? Apa dia mengancammu?” Lanjut Rose bertanya.
Axel menggelengkan kepala. “Tidak,” jawabnya.
“Apa mungkin dia akan menyakitimu?” tanya wanita itu lagi.
Lelaki muda itu lalu mengerutkan dahinya. “Kurasa tidak,” jawabnya.
Giliran Rose yang mengerutkan dahi, menatapnya bingung. “Lalu?” tanya gadis itu.
Sejenak Axel terdiam, lalu perlahan ia mulai menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya dengan entakkan kuat. Lelaki itu memalingkan wajah, enggan menatap Rose.
“Entahlah. Aku juga tidak mengerti. Aku tidak bisa berhenti memikirkan pria itu,” ujarnya.
Ucapan Axel barusan membuat jantung Rose berkedut dengan rasa takut. “Well, Axe, kamu tidak ....”
Mendengar pertanyaan itu membuat Axel lalu memutar wajahnya. Ia pun mengerutkan dahi memandang wanita di depannya.
“Kamu tidak ....” Rose menjadi gelisah. Sungguh, dalam hati dia sedang merutuki pemikirannya sendiri. Bagaimana mungkin Rose bisa berpikir bahwa Axel mungkin menaruh hati pada lelaki itu.
Ya Tuhan, itu mengerikan. Dengan cepat Rose menepis pemikirannya itu dengan menggoyangkan kepala.
“Tidak,” ucap Rose segera. Ia pun menarik sudut bibirnya, membentuk senyum di wajah.
“Ada apa, Rose?” tanya Axel dengan polos. “kamu seperti gelisah. Apa yang ingin kamu tanyakan?”
Oh, sepertinya raut wajah Rose terlalu menapakkan rasa cemasnya. Sekarang bagaimana Rose akan bertanya pada Axel.
‘Masa iya, gue harus nanya apa dia suka sama pria itu. Ah sialan!’ desis Rose dalam hatinya.
“Tidak apa-apa, Axe, aku hanya-“
“Apa kamu berpikir bahwa aku menyukai lelaki itu?”
Seketika manik mata Rose pun terbuka. Gadis itu mendelik kaget dan merasa napasnya terhenti di d**a. Dengan cepat Rose menggelengkan kepalanya.
“No!” tandas Rose.
Axel tergelak rendah. “Aku hanya asal bertanya,” ucap lelaki itu.
Rose mendesah lega sambil memalingkan wajahnya. ‘Dasar bodoh!’ makinya pada diri sendiri. Lagi pula mengapa Rose dengan bodohnya memikirkan hal itu.
Keningnya lalu mengerut saat merasakan sesuatu menyentuh ujung jarinya. Dengan cepat Rose menoleh ke bawah. Hanya sedetik memandangi tangannya lalu dengan cepat ia mendongak.
“Kamu tahu bahwa aku hanya menyukaimu, Rose.”
Mendengar ucapan dengan nada rendah itu membuat Rose menelan saliva. Jantungnya pun berkedut diterpa dua perasaan berbeda –gugup dan malu.
Cara Axel memegang kedua tangannya sambil menatapnya dengan tenang malah menyalakan api dalam diri Rose hingga ia merasa bahwa dirinya sedang terbakar.
Demi apa pun, sepasang manik hazel di depan sana terlihat sangat indah. Pandangannya yang lembut dan tenang mulai berubah. Bagai seberkas cairan bening menutup netra hazelnya, membuat ia tampak semakin indah –semakin menggoda.
‘Sial!’ Sekali lagi Rose merutuki dirinya dalam hati.
Sulit membawa kembali kesadarannya. Sulit membawa pandangannya berpaling. Sepasang mata indah di depan Rose bagai punya magnet yang membuat tatapannya terpatri di sana.
“Tak ada yang paling kusukai di dunia ini selain kamu, Rose.”
Ucapan Axel semakin membakar tubuh Rose. Mengalirkan gelenyar panas ke seluruh tubuh lalu berhenti di tengkuk dan menyebar ke pipi. Jantung Rose pun berdebar-debar dengan cepat –kuat. Tekanannya menggempur d**a dan seisi alam semesta milik Rose, lantas menyulap napasnya menjadi bergemuruh.
‘Tidak. Ini bahaya!’ peringat Rose dalam hati.
Sekalipun insting pertamanya menyuruh Rose untuk bangkit dan segera meninggalkan tempat itu, tetapi kenyataannya tubuh Rose tak bisa digerakkan bahkan walau hanya seinci.
Semakin lama memandang sepasang netra hazel di depannya, semakin membuat Rose tak berdaya.
Seluruh kekuatannya bagai ditenggelamkan. Udara di sekelilingnya seakan menipis, sementara napasnya ditarik penuh oleh kekuatan yang dimiliki oleh tatapan Axel.
Suasana menjadi hening.
Baik Axel maupun Rose, tak ada satu pun dari keduanya yang mau berbicara.
Demi apa pun, Rose juga tak mengerti mengapa situasi mendadak menjadi begitu intim. Seakan ada sesuatu yang berkedut dalam hati dan mendorong Rose untuk menatap bibir merah alami milik lelaki di depannya.
‘Sial!’
Berkali-kali Rose menggerutu, memaki, merutuki dirinya di dalam hati. Ini benar-benar cobaan yang luar biasa. Bagaimana bisa Rose begitu menginginkan bibir merah itu. Tenggorokannya pun mengering, begitu dahaga dan membuatnya berkali-kali menelan saliva.
Sementara Axel yang masih mematri memandang wajah Rose pun merasakan hal yang sama.
Debar-debar di dadanya semakin menyiksa. Hanya menatap wajah Rose membuat Axel memikirkan hal-hal aneh.
Sekalipun ia berusaha menepisnya, tetapi dorongan itu semakin kuat. Semakin tak tertahankan.
Gempuran dahsyat itu mengoyak tubuhnya dari dalam. Menyulap napas Axel menjadi panas hingga terasa ke kulit wajahnya.
Terdengar bunyi gemuruh di luar sana lalu dengan cepat langit memuntahkan cairan bening. Apakah ini pertanda bahwa alam semesta pun mendukung pemikiran keduanya?
“Ro- Rose,” panggil Axel dengan gagap.
Wanita muda di depannya tak langsung menjawab. Ia masih sibuk mencari-cari kewarasannya untuk dibawa ke permukaan.
Napasnya semakin terasa sesak, membuat Rose terpaksa membuka mulut dan membiarkan napasnya keluar dengan desahan berat. Ia pun menganggukkan kepala.
“Y- yeah,” gumam Rose tak kalah menggagap.
“R- Rose.”
Bibir Axel pun gemetar, sementara matanya sudah tak bisa berpaling lagi dari permukaan bibir Rose yang mendadak terlihat begitu menggiurkan.
Jantungnya semakin berdetak meningkat –semakin menyiksanya.
Dirasakan Axel ada satu dorongan yang membuat tangan kanannya bergerak. Perlahan memanjat hingga menyentuh sisi wajah Rose.
Gadis itu menutup mata, menahan tubuhnya agar tidak merinding. Ia pun menjatuhkan tatapannya ke bawah, tetapi sama sekali tak berniat mencegah perbuatan Axel.
Rose membiarkan lelaki itu membelai rahangnya. Mengusapnya lembut. Lalu dengan ibu jari dan telunjuk, Axel mengapit dagu lancipnya lantas menarik bagian itu ke atas, membuat Rose kembali menatap lelakinya itu.
Hujan pun menggempur sekeliling tempat itu dengan suaranya yang khas sehingga berhasil menutupi suara degup jantung dari keduanya.
Rose menelan saliva, memandang sepasang manik hazel di depannya yang tertutup oleh kabut gairah. Seluruh kekuatan Rose sepenuhnya telah diserap oleh pandangan berkabut itu.
Tangannya pun bergerak secara alamiah menyentuh tangan Axel yang terbiar di depan kakinya.
Kedua tangan Rose menggenggam tangan Axel, seakan meminta kekuatan dari lelaki itu.
“Rose,” panggil Axel dengan nada lirih. Ia pun menelan saliva, membasahi kerongkongannya yang mendadak terasa begitu kering.
Wanita muda di depannya mengangguk. Seberkas cairan bening menutupi netra cokelatnya. Didengar Rose napas Axel pun memberat, membuat hati Rose berkedut –semakin gugup.
Mulut Axel pun terbuka, Ia menggelengkan kepala. “Maafkan aku,” katanya dengan lembut sambil memandang bibir Rose lalu dengan susah payah Axel menyeret pandangannya ke atas, menatap Rose kini.
“Aku hanya tak bisa menghentikan pikiranku.” Lanjutnya.
Rose yang mendengar suara kelam itu lalu kembali menelan saliva. Sejenak ia merasa napasnya terhenti di d**a dan suaranya tersekat. Hingga Rose pun menunduk untuk membiarkan satu usahanya menyelamatkan diri. Gadis itu menelan saliva. Seakan mencoba menenangkan diri, lalu dengan cepat Rose mendongak.
“Katakan padaku apa yang kamu pikirkan,” ucap Rose.
Mulut Axel megap-megap. “Ak- ak- ak- aku ....”
Sungguh, hanya untuk mengucapkannya saja Axel merasa jantungnya akan copot sebentar lagi. Demi apa pun, ini benar-benar sesuatu yang gila, tetapi Axel tak menemukan cara lain untuk menghentikannya.
“Aku ....”
Semakin lama, semakin jantungnya menggempur dengan tekanan kuat. Axel merasa sedang berada di pacuan kuda hingga napasnya pun mulai tersengal-sengal.
Demi apa pun, mengapa begitu sulit mengucapkannya.