52. Visiting in Silence

2225 Kata
Di sebuah kamar yang temaram, tampak seorang lelaki tengah duduk dengan tenang di atas sebuah sofa tunggal berhadapan dengan ranjang queen size. Tidak sulit bagi lelaki bermata cokelat gelap yang kerap berubah segelap vantablack itu untuk memasuki sebuah vila yang terletak di tepi pantai, tempat seorang lelaki bersama kekasihnya tinggal. Ia bergerak bak kegelapan malam. Tak ada yang pernah tahu kapan kedatangannya. Terbiasa menyerang dalam kesunyian membuat gerak-geriknya tak akan disadari oleh siapa pun yang berada di sekelilingnya. Maka di sinilah lelaki itu berada. Terdiam bagai berbaur dengan kesunyian malam. Terduduk sambil memangku kaki memandangi tubuh seorang lelaki muda yang terbaring tenang di atas tempat tidurnya. Napasnya berembus stabil selain jemari tangan kanannya yang bermain-main hingga menimbulkan bunyi khas cengkeraman. Mendengarkan deru napas lelaki muda itu, membuat lelaki yang tengah memandanginya lalu mendesah lirih sambil memalingkan wajahnya. Sekelebat cahaya dari sinar rembulan yang menyelip di antara gorden yang tak tertutup sempurna lalu menyinari wajah yang tampak begitu tenang itu. “It’s hard to believe that you don’t even know me, Lenox.” Suara bariton berat itu berucap dengan tenang. Bagai tahu bagaimana cara memainkan situasi agar ia jangan sampai membangunkan lelaki muda yang sedang bermimpi indah tersebut. “Aku berdiri di depanmu, dan kamu sama sekali tidak mengenalku.” Lanjutnya. Suaranya tersekat di ujung kalimat, lantas membuat lelaki itu menelan saliva. Ia pun memalingkan wajah untuk melepaskan desahan berat. Tampak sepasang rahang tegas itu lalu mengencang, menimbulkan bunyi kertakkan gigi. Iris cokelatnya kembali bergerak, memandang hanya lewat sudut matanya. “Apa yang terjadi padamu, Lenox?” tanya lelaki itu. “where is mom?!” Lanjutnya. Menekan, tetapi menjaga suaranya agar terdengar dalam. Ia kembali mengembuskan napasnya dengan kasar. Bisa saja dia membangunkan lelaki di depan sana lalu menyeretnya dari tempat terkutuk ini–dalam pandangannya–lantas membawa lelaki muda yang di depan sana kembali ke tempatnya yang lebih layak. Ada sesuatu yang mencelos perih dari dalam hatinya saat mengingat bagaimana adiknya itu berdiri di belakang meja bar. Mengelap gelas wiski dengan kedua tangannya. Lelaki bermata cokelat itu menggelengkan kepalanya. “Kamu bahkan tak diizinkan untuk menyendok makananmu sendiri, Lenox!” ucapnya lirih. Ia kembali memalingkan wajah. Meremas bibirnya dengan kuat, sementara kedua kakinya bergetar di atas lantai. Demi apa pun, satu keinginan lelaki itu hanya membawa adiknya kembali ke rumah, tetapi sepertinya masalahnya begitu rumit. ‘Dia mengalami amnesia.’ “s**t!” Lelaki yang punya nama kelam itu mendesis tajam, membuat kedua sisi rahangnya kembali mengencang –sekencang kepalan tangan kirinya. Napas yang tadinya berembus dengan stabil kini berembus kasar. Baru saja ia merasa senang telah menemukan sang adik, tetapi berita mengejutkan pun terjadi ketika Scarlett–salah satu anggota Redfox Couple–memberi kabar bahwa adiknya itu mengalami amnesia. Hasil yang didapatkan mata-mata kepercayaan mantan kepala mafia–Black Glow– itu masih kurang jelas. Tidak sulit mencari catatan medis milik lelaki bernama Axel Wijaya dari sebuah rumah sakit kecil di Bali. Ini terlalu mudah baginya, tetapi hasilnya benar-benar mengecewakan. ‘Rumah sakit sialan!’ Lelaki yang juga adalah mantan pasukan khusus Rusia itu kembali dibuat naik pitam. Jika hanya kehilangan ingatan, maka dia bersumpah akan membawa adiknya itu ke rumah sakit terhebat di dunia, mencari dokter terbaik untuk bisa mengembalikan ingatan yang hilang itu, tetapi satu pemikiran yang lalu mengacaukan akal sehatnya. “Where is mom, Lenox?” Dia terus bergumam, menanyakan keberadaan sang ibu. Jika Lenox berada di tempat ini dalam kondisinya yang tak mengingat apa pun, lalu di mana Elena? Di mana sang ibu. “k*****t!” desis lelaki itu sambil menonjok pahanya dengan kuat. Dia bukan memaki adik kandungnya, tetapi memaki dirinya sendiri. Tidak ada lagi yang disalahkannya selain diri sendiri. k*****t karena dia terlambat mengetahuinya. k*****t karena dirinya terjebak urusan dengan seorang diktator Rusia. k*****t karena situasi tidak memberinya celah untuk melarikan diri. Mungkin apabila di malam natal itu dia bisa bersama keluarganya di New York seperti permintaan sang ibu, pria itu yakin dia bisa menyelamatkan ibu dan adiknya. Dua bulir mata elang itu lalu membola. Napasnya semakin berembus dengan kasar, sementara rahangnya terus mengencang hingga kembali terdengar suara kertakkan gigi. “Lenox,” panggil lelaki itu dengan lembut. Ia mengembuskan napasnya dengan desahan panjang lalu mendorong tubuhnya untuk bangkit. Lelaki itu berjalan sambil menjaga langkahnya agar tidak mengganggu tidur lelaki itu. “Kamu harus sadar secepatnya, Lenox. Kita harus menyelesaikan masalah ini bersama. Kumohon, Lenox, aku butuh bantuanmu. Ingatlah siapa dirimu–“ Lelaki itu menelan saliva. Matanya mendadak terasa perih hingga membuatnya mendongakkan wajah. Sekali lagi lelaki itu mendesah lirih. “You’re a prince, Lenox, remember that. Afro Chlid, Golden Boy, you ... you are my lion.” “Axe?”  Suara yang menggema dari luar membuat lelaki bermata cokelat gelap itu refleks menoleh. Jantungnya pun berkedut saat mendengar suara ketukan pintu. Intuisi yang tajam memberitahu bahwa sebentar lagi wanita di luar sana akan masuk ke dalam. Maka dengan cepat ia kembali menatap adiknya. “Lenox, I have to go now, but I will be back. Lenox, remember this,” Lelaki itu membungkuk hingga batang hidungnya nyaris menyentuh permukaan wajah Lenox. Ia pun berbisik dengan lembut, “kamu, adalah singa.” Seketika sepasang manik hazel milik Axel pun terbuka. Jantungnya datang dengan tekanan kuat hingga membuat napasnya bergemuruh. Refleks, Axel pun memutar wajahnya ke samping. Ia lantas mengerutkan dahi. “Axe?” Suara Rose membuat lelaki bermata hazel dengan rambut cokelat ikal itu kembali memutar tubuh. “Rose?” panggilnya dengan nada memburu. Mendengar panggilan yang disertai nada lirih itu membuat Rose langsung mengambil tindakan. Ia pun berjalan selangkah sambil menggerakkan tangan kanannya hingga menekan sakelar lampu. Seketika ruangan itu menjadi terang. Axel kembali memutar wajah, memandang jendela kamarnya, sementara Rose berjalan menghampiri lelaki itu. “Everythings okay?” tanya Rose menaruh nada khawatir. Axel tak langsung menjawab. Lelaki itu menelan saliva, bernapas berat sebelum menggelengkan kepalanya. “I don’t think so,” ucap Axel. Merasakan kehadiran Rose di dekatnya lantas membuat Axel memutar tubuh. Napasnya tersengal-sengal, membuat Rose khawatir. Gadis itu langsung menangkup tangan Axel dengan kedua tangannya. “Aku mendengar suara dari luar, aku pikir Maikel ada di sini, ternyata kau–“ Sesuatu terbesit di kepala Rose, membuatnya refleks mendongak. Tanpa kata, Rose langsung bangkit mengikuti instingnya menghampiri jendela. Gadis itu merendahkan tubuhnya, mengecek kusen jendela. Ia pun mengerutkan dahi karena sepasang benda itu tertutup dengan rapat. Kuncinya bahkan terpasang dengan bagus. Rose pun tak ingin menyerah begitu saja. Ia bangkit dan mengecek jendela lain. Tidak ada hal yang mencurigakan. Rose masih kurang puas, ia pun melesat ke kamar mandi. Membungkuk dan mengecek kolong tempat tidur Axel. Sementara Axel tak berniat untuk bertanya, sebab dia pun memiliki prasangka yang sama dengan Rose. Lelaki itu juga masih sibuk memperbaiki napasnya yang berembus tak beraturan. Axel menelan saliva berat, lantas membawa kedua tangannya di depan d**a, seakan mencoba menenangkan dirinya sendiri. “Tak ada siapa pun dan tak ada apa pun,” gumam Rose sambil membawa tubuhnya bangkit. Ia terduduk di atas lantai dengan kedua kaki yang terlipat di bawah biritnya. Gadis itu mengerutkan dahi, kedua matanya menyipit, sementara menaruh rasa curiga. Rose jelas mendengar suara seseorang dan yang pasti itu bukan suara Axel. Ketika Rose mendongak, dia mendapati raut wajah Axel yang tampak ketakutan. Rose pun langsung bangkit dan mengambil tempat di samping Axel. “It’s okay,” gumam gadis itu. Kenyataannya, Rose juga butuh menenangkan diri, tetapi ia memilih untuk menarik sekaligus memeluk tubuh Axel. “It’s okay,” gumam Rose sambil mengusap belakang kepala lelaki itu. Sementara Axel terdiam. Dia bukannya takut, hanya terkejut. Namun, entah mengapa jantungnya berkedut dengan kuat. Sungguh, Axel sempat melihat siluet seseorang yang melesat secepat tembakan angin. Entah ke mana dia pergi, Axel tak sempat melihat keberadaannya. Dia datang bagai bayangan hantu, tetapi Axel tak merasa takut akan hal itu. Sekali lagi, dia hanya terkejut. Di dalam hati, dia sangat penasaran tentang siapa sosok siluet itu sebenarnya. Rungunya juga seperti mendengar sesuatu, tetapi semuanya masih samar. Tak ada yang jelas. Axel pun tak mengerti. Mencari-cari tahu di dalam hatinya. “It’s okay, I’m here.” Lelaki itu lalu menoleh saat Rose terus bergumam memintanya tenang. Seperti biasa, Axel tak mau membuat Rose repot. Ia tahu bahwa jika dia menceritakan apa yang dia alami maka semua itu akan menjadi buah pikiran bagi Rose. Axel pun memilih untuk menarik tubuhnya. Ia berusaha menyingkirkan perasaan aneh di dalam pikirannya dengan mengulas senyum. “Sial! Aku mimpi buruk!” gerutu Axel. Rose mengulum bibir, membentuk senyum di wajah. Kedua tangannya bergerak lembut mengusap kedua sisi pipi Axel. Gadis itu pun menganggukkan kepala. “Jangan takut, aku di sini,” ucapnya. Senyum pun semakin mengembang menguasai seantero wajah Axel. Ia kembali mendekat, memeluk tubuh Rose. “Thank you,” gumamnya. Rose tersenyum lega. Sambil menutup kedua matanya, ia pun menganggukkan kepala. Tak berselang lama, Rose menarik tubuhnya, menjauhi Axel. “Kamu mau aku tidur di sini?” tanya Rose. Untuk sekelebat, Axel terdiam selain kedua matanya yang mematri pandangan pada paras cantik di depannya. Sejurus kemudian, Axel pun menganggukkan kepalanya. “Ya, kumohon,” ucap lelaki itu. Dengan senyum di wajah, Rose mengangguk singkat. “Sure,” ucapnya. Rose langsung berbaring di samping Axel. “Come on,” gumamnya. Axel pun tak ingin membuang waktu dan langsung mengambil tempat di samping Rose. Mereka tidur berhadap-hadapan dan kompak menaruh tangan terlipat di bawah wajah. Senyum Rose tak mau pudar, kemudian gadis itu mendesah panjang. Ia pun membiarkan tangannya bergerak memanjat lantas mengusap puncak kepala Axel. Merasakan keringat dingin membasahi dahi lelaki itu. “Apa mimpinya masih sama seperti waktu itu?” tanya Rose dengan suaranya yang terdengar serak dan dalam. Axel menarik napas sambil menempelkan tangannya pada punggung tangan Rose. Axel pun mendesah sambil menutup matanya. “Hem,” gumam Axel. Sekali lagi. Axel tak punya pilihan selain membohongi Rose. Sulit mengungkapkan apa yang dia alami, sebab Axel pun masih mencari-cari alasan rasional tentang semua yang baru saja ia alami. “Jangan takut, aku di sini,” kata Rose sekali lagi. Axel tersenyum lebar, terkekeh singkat dan sambil menutup mata, ia pun menganggukkan kepalanya. “Ya, aku tahu,” ucap Axel dengan nada dalam. Ia pun membuka kedua mata, memandang Rose kini. Suasana menjadi hening selama beberapa detik. Jantung Axel yang tadinya berdetak tak karuan, kini datang dengan irama pelan, tetapi tekanannya mengentak. “Aku tidak takut, Rose,”  bisik Axel. Ia pun mendekat. Tangannya bergerak langsung meraih tubuh Rose. Dibawanya gadis itu ke dalam pelukannya. Axel pun menutup mata. “Aku tak akan takut selagi aku memiliki kamu,” ucap lelaki muda itu. Rose hanya tersenyum, tetapi di dalam hati ia tetap menaruh curiga. Tahu persis bahwa Axel barusan berbohong. Namun, Rose juga tak mau mendesak lelaki itu sebab dia sepertinya tak tahu apa yang sedang terjadi padanya. ‘Aku mendengar suara asing dan itu seperti orang asing,’ batin Rose. Tak ada dari Rose maupun Axel yang menyadari bahwa ada sepasang manta yang sedang memerhatikan mereka dari jauh. “Bos!” Panggilan itu membuat lelaki yang berdiri di atas cerobong asap itu lalu menoleh ke bawah. “Waktunya untuk pergi, ada sesuatu yang harus kau lihat,” ucap salah seorang anak buahnya. Lelaki berwajah tegas itu mengangguk. Sekali lagi ia memutar wajah, melihat adiknya yang sedang berbaring bersama seorang wanita. ‘Maaf membuatmu ketakutan, Lenox, tetapi kuharap kamu menangkap sinyal yang kuberikan. Lenox, aku akan kembali lagi dan aku tak akan menyerah. Tidak sampai aku mengumpulkan ingatanmu dan membuatmu memberitahu di mana keberadaan ibu,’ batinnya. Lelaki itu mengeluarkan grappling gun dari balik saku jaket kulit miliknya. Menekan pelatuk, benda itu lalu melontarkan tali pengait yang ujungnya langsung menancap ke dinding. Dengan mengandalkan benda tersebut, lelaki itu pun mendorong tubuh dengan kedua tumitnya hingga terjungkir ke belakang. Hanya dalam hitungan detik, ia sudah berhasil mendarat di tanah dengan aman. Ia tak langsung beranjak, melainkan mengambil grappling gun nya dan menaruh benda itu kembali ke dalam saku jaketnya. “Leonard!” Mendengar panggilan dengan nada rendah itu membuat lelaki yang baru saja menemui Axel itu lantas bergeming. Ia pun memutar tubuhnya. Seorang wanita bertubuh ramping dengan pakaian serba hitam lalu menghampiri si lelaki Van Der Lyn itu sambil membawa iPad di tangannya. “Kamu harus melihat ini.” Lanjut Scarlett. Ia mendekat sambil mengarahkan gawainya pada sang bos. Tampak kening Leonard semakin menukik ke tengah, ia pun mendongak menatap wanita di sampingnya. “Siapa ini?” tanya Leonard dengan nada datar. “Miguel Schmidt, lelaki yang memukul Lenox beberapa hari yang lalu. Pemilik bar mencabut tuntutannya.” Seketika bola mata Leonard pun terbuka. Kelebat percakapan antara Lenox dan teman-temannya lalu terlintas begitu saja. Tentu Leonard tak pergi ke bar untuk minum segelas Martini. Ia ke sana untuk menjenguk Lenox, tetapi sayang sekali adiknya itu tak mengingat apa pun tentang Leonard. Namun, ia berhasil merekam percakapan mereka dan timnya pun berhasil menerjemahkan apa yang menjadi obrolan mereka. The Redfox Couple pun tak sulit meretas kamera CCTV di bar tempat Lenox bekerja hingga mereka mendapati sesuatu mengejutkan bahwa Lenox sempat diserang pria asing. Rahang Leonard pun mengencang bersama napasnya yang berembus dengan kasar. “Let’s find this motherfucker!” desisnya. Tanpa menunggu jawaban Scarlett ia langsung melangkah. Memasuki mobil Mustang kesayangannya yang selalu menemani lelaki itu–ke mana pun dan kapan pun. Jantungnya pun berkedut, melepaskan iblis yang telah lama menganggur di dalam tubuhnya. “Don’t worry, malam ini, kamu akan puas minum darah!” desis lelaki itu memberi peringatan pada iblis batinnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN