“Rose ....”
Panggilan itu membuat Rose mendongak. Sekilas pandangannya terlihat buram hingga Rose harus mengerjap beberapa kali. Tampak sepasang suami istri sedang berjalan ke arahnya, membuat Rose menegakkan badannya.
Pandangan mata Rose tertuju pada raut wajah keduanya. Mereka menatap Rose dengan tatapan iba. Nyonya Harvy mendesah sebelum merendahkan tubuh dan meraih tempat duduk di samping Rose. Wanita itu membawa tangannya mengusap pundak hingga ke punggung Rose.
“Kamu yang sabar, ya,” ucap nyonya Harvy dengan nada lembut.
Tidak ada sesuatu yang bisa dilakukan Rose, karena ucapan nyonya Harvy sangat benar. Maka Rose pun memilih untuk menganggukkan kepala. “Hem,” gumam Rose.
“Astaga, kondisimu benar-benar parah, Rose,” kata tuan Harvy. Seketika membuat Rose mendongak. Menatap lelaki itu. “apa tak sebaiknya kamu ke rumah sakit?” tanya lelaki itu.
Dengan senyum sendu di wajahnya, Rose pun menggelengkan kepala. “Aku tidak apa-apa, Mr. Harvy, aku baik-baik saja. Hanya radang tenggorokan, sebentar lagi juga sembuh,” ucap Rose dengan sisa-sisa suaranya.
Terdengar desahan napas panjang menggema dari mulut nyonya Harvy. Dia terus menatap Rose dengan pandangan iba. Sesuatu terbesit begitu saja di benak Rose. Memikirkan apakah wanita itu sudah tahu bahwa hubungannya dengan Dany Harvy telah berakhir, sebab perlakuan nyonya Harvy padanya masih sama seperti dulu. Atau, mungkin saja itu hanya rasa belas kasihan pada Rose yang bernasib malang.
Rose mengangguk sambil memejamkan mata dan menyunggingkan seberkas senyum di wajahnya yang pucat itu.
“I’m okay,” bisik Rose.
Sekali lagi nyonya Harvy mendesah. “Rose,” panggilnya dengan lembut. “berduka itu manusiawi, tetapi jangan larut dalam kesedihan. Ingat pesan Catherine, kamu harus bahagia dan melanjutkan hidupmu.”
Mendengar nama Catherine membuat hati Rose mencelos perih, tetapi Rose seakan tak sanggup lagi untuk menangis. Sehingga dia pun memilih untuk menyunggingkan senyum tipis di wajah sebelum akhirnya menganggukkan kepala.
“Hem,” gumam Rose singkat.
Nyonya Harvy memindahkan tangannya dari punggung Rose ke atas pundaknya. Sekilas mengusap paha Rose lalu menepuknya sebanyak dua kali.
“Kami ada di sini, Rose. Kamu jangan segan meminta bantuan pada kami. Ingat, kamu sudah kuanggap sebagai putriku sendiri,” ujar nyonya Harvy seketika membuat Rose tergelak parau.
Dia sudah mendengar perkataan itu seumur hidupnya. Ya, sedari dulu keluarga Harvy memang sudah menganggapnya sebagai bagian dari keluarga mereka. Hingga membuat Rose berharap, suatu saat dia benar-benar bisa memiliki keluarga yang utuh bersama keluarga Harvy.
Namun, semua itu terkikis ketika sahabat sekaligus kekasihnya itu malah menghianati hubungan mereka.
“Baiklah,” ucap Rose. Memaksa suaranya yang parau itu untuk bisa terdengar.
“Kalau begitu kami pergi dulu, Rose. Oh ya, apa kamu melihat Dany?” Pertanyaan nyonya Harvy membuat Rose mendelikkan matanya. Rose tak tahu harus menjawab apa lalu dia memilih untuk menggelengkan kepala.
Nyonya Harvy kembali mendesah berat. “Hem ... kupikir dia bersamamu,” ucapnya. Maka jelaslah bahwa nyonya Harvy belum mengetahui apa yang sudah terjadi di antara putranya dan Rose.
“A- a- aku belum bertemu dengannya sejak tadi,” ucap Rose dengan jujur.
“Ya Tuhan, di mana dia,” gumam nyonya Harvy.
Wajahnya tampak cemas. Sekilas wanita itu mendongak. Menatap ke depan lalu menoleh ke belakang. Nyonya Harvy lalu berdecak bibir saat tak menemukan putranya.
Rose juga tak mau mengatakan apa pun. Diam adalah cara terbaik untuk tetap membuat pikirannya tenang. Entah di mana Dany berada, itu sudah bukan menjadi urusan Rose lagi.
“Hah ....” Desahan berat itu kembali mengalun dari mulut nyonya Harvy. “Baiklah, Rose. Kalau begitu kami pergi dulu.”
“Oh!” Rose mendelik lalu dengan cepat dia tersenyum. “tentu,” ucapnya. “terima kasih sudah datang.” Lanjut Rose.
Pandangan penuh iba dengan senyum teduh itu masih terhias di wajah nyonya Harvy. Sambil mematri tatapan pada wajah Rose, dia pun menggerakkan tangannya mengusap wajah Rose.
Gadis itu sempat kaget, sehingga dia pun mengikuti gerakan tangan nyonya Harvy.
“Jangan terlalu lama bersedih, Rose,” ucap nyonya Harvy.
Rose kembali mendongak menatapnya. Tidak ada ekspresi di wajah Rose, hanya sesuatu yang terasa seperti meremas dadanya.
Mengapa Rose selalu merindukan sentuhan seperti ini?
Sentuhan lembut dari seorang wanita. Seandainya Rose punya ibu kandung, dia pasti akan melakukan hal ini. Dia pasti akan menenangkan Rose dengan cara yang sama seperti yang dilakukan oleh nyonya Harvy.
“Jangan lupa untuk berkunjung di rumah, ya ... sudah lama kamu tidak berkunjung.”
Rose masih terdiam dengan kedua mata yang memandang wajah nyonya Harvy. Tidak ada yang terucap di bibir Rose dan entah mengapa Rose tak rela nyonya Harvy beranjak dari sana.
“Kami pergi.” Ucapan itu seketika membuat Rose sadar. Dia pun mengerjapkan mata, menggoyangkan kepala untuk menarik kesadaran penuh. Mulut Rose terbuka, dia pun mengentak napasnya dari sana.
“Y- ya ...,” gumam Rose dengan desahan.
Hal terakhir yang dilihat Rose adalah senyuman nyonya Harvy. Semilir angin menerpa wajah Rose saat wanita itu menggerakkan tubuhnya dan bangkit dari sana.
“Rose!” Suara bas berat milik tuan Harvy menyadarkan Rose sepenuhnya dan membuat gadis itu menoleh ke arah tuan Harvy. “kami pergi.”
Gadis itu pun mengangguk. “Ya,” ucapnya. “hati-hati di jalan.” Lanjut Rose.
“Ya, kamu juga baik-baik, ya, Rose.” Tuan Harvy pun membalas.
“Hem,” gumam Rose.
Rose masih memasang senyum di wajahnya yang sendu hingga tuan dan nyonya Harvy memutar tubuh dan sepenuhnya meninggalkan tempat tersebut.
Setelah memastikan mereka pergi, Rose pun mendesah sambil menutup kedua matanya. Gadis itu memutar tubuh lalu dengan cepat mengubur wajahnya di atas telapak tangannya yang terbuka.
“Rose!”
Suara itu membuat Rose mendongak. Tampak Axel datang bersama lelaki sebaya dirinya. Mereka bergegas menghampiri Rose.
Gadis itu memaksa untuk menarik kedua sudut bibirnya. Tersenyum sendu dan berharap dapat menipu orang lain dengan tatapannya tersebut. Namun, Rose salah besar apabila berpikiran demikian.
Semua orang yang melihat wajah pucat pasi dan bibirnya yang mengering itu, sanggup menebak bagaimana suasana hati gadis itu sangat terluka.
Sementara Axel datang sambil membawa segelas teh chamomile hangat dengan perasan jeruk yang diberikan salah satu suster untuknya. Tentu, minuman tersebut diperuntukkan kepada Rose yang mengalami radang tenggorokan.
Terdengar embusan napas panjang sewaktu Axel mengambil tempat di samping Rose. Lelaki itu menatap wajah Rose lekat-lekat. Axel tersenyum di saat tangan kirinya mulai bergerak naik, lantas membelai puncak kepala Rose dengan lembut.
Sungguh, setiap kali Axel memberikan perhatiannya, Rose selalu merasakan sesuatu yang berbeda melega di hatinya yang rapuh itu.
Tak ada kata yang keluar dari bibir Axel. Sejurus kemudian dia pun memberikan minuman tersebut untuk Rose.
“Aku tidak tahu ini apa, tetapi sepertinya ini baik untukmu,” ucap Axel.
Rose tersenyum samar sebelum akhirnya dia mengambil benda itu dari tangan Axel. “Terima kasih,” ucap Rose dengan suaranya yang benar-benar serak dan parau.
Axel mengangguk, mempertahankan senyum di wajah. Dia menunggu hingga Rose menyesap minuman hangat tersebut lalu kembali membelai puncak hingga belakang kepala Rose.
“Aku tidak ingin bilang kamu untuk tidak bersedih,” kata Axel sontak membuat Rose menoleh ke samping. Axel tersenyum sekilas sebelum melanjutkan, “aku mungkin tak mengetahui apa pun. Aku juga tak ingat pada apa dan siapa diriku. Aku hanya belajar dari serial TV. Semua ekspresi yang diperlihatkan oleh banyak orang. Dan ... aku memang tak pernah merasakan bagaimana rasanya kehilangan keluarga. Namun, aku ingin bilang padamu, Rose, bahwa kamu tidak sendirian.”
Mendengar ucapan itu membuat Rose tersenyum. Ada seberkas cairan bening yang kembali menutupi netra cokelatnya, tetapi bukan karena dia bersedih, melainkan Rose merasa terharu. Dia pun menganggukkan kepalanya. Menoleh ke bawah, Rose membiarkan tangannya yang lemah itu bergerak hingga menyentuh punggung tangan Axel. Lelaki itu ikut menoleh ke bawah.
“Aku tahu,” ucap Rose susah payah. Axel kembali mendongak. “I have you.” Lanjut Rose.
“You have me too.” Ucapan itu sontak membuat Rose memutar wajah. Axel pun mendongak menatap seseorang di belakang Rose.
Sejurus kemudian, Rose tertawa rendah dengan suaranya yang sudah sangat serak itu. “Yeah,” gumam Rose. Dia pun mengangguk menatap Maikel yang sedari tadi duduk di samping Rose.
“Kami ada di sini untuk menemanimu, Rose,” ucap Maikel. Dia membuat Rose semakin tersenyum.
“Ya, itu benar. Maaf karena kami tak datang di saat kamu mungkin sangat membutuhkan kami,” timpal Axel. Rose pun memutar wajah, kembali menatap Axel.
“It’s okay,” ucap Rose. Merasa suaranya nyaris hilang, Rose pun berdehem. “kalian datang di saat yang tepat.” Lanjut Rose. Sejurus kemudian dia pun mengerutkan dahinya. “Oh ya, kalian belum bilang padaku bagaimana kalian bisa sampai di sini. Maksudku, siapa yang memberitahu kalian tentang keberadaanku. Sepertinya aku tidak pernah mengatakan pada kalian di mana tempat Catherine di rawat.”
Axel tak langsung menjawab. Sekilas ia melempar tatapan pada Maikel dan membuat Rose mengerutkan dahi. Dia pun memutar wajah lambat-lambat hingga menatap Maikel.
“Dokter Karina membantu kami.”
Mendengar ucapan Axel, membuat Rose mendesah. Dia tak lagi menatap Axel, melainkan menjatuhkan tatapannya ke bawah.
“Of course she does,” gumam Rose. Sejurus kemudian, Rose pun mengangkat pandangannya untuk kembali menatap Axel dan bertanya, “apakah dia juga yang membiayai tiket kalian.”
Axel kembali terdiam dan tak ingin langsung menjawab. Tampak lelaki itu menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya dengan cepat. “Hem,” gumamnya. Sekali lagi Rose mendesah dan menjatuhkan tatapannya. Menatap kedua tangan yang saling bergumul di atas pahanya.
“Dia juga menyuruh kami mengirimkan karangan bunga dan memohon maaf karena dokter Karina dan keluarganya sedang tidak berada di tempat, untuk itu mereka tak bisa hadir di pemakaman,” ujar Axel.
Sekali lagi Rose memaksa menyunggingkan senyum di wajahnya. Gadis itu pun mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Tak apa,” kata Rose dengan suaranya yang berubah sangat pelan. “aku mengerti.” Lanjutnya. Sejurus kemudian Rose memalingkan wajah, menatap Maikel kini.
“Terima kasih sudah datang, Maikel,” ucap Rose.
“Ah ... kamu tidak usah bilang begitu, Rose, kita kan teman. Lagi pula aku juga memang akan ke Bandung karena sebentar lagi aku akan masuk kuliah. Kebetulan sekali dokter Karina mau membayar tiket pesawat berserta denganku. Benar-benar jackpot,” ucap Maikel. Merasa ada sesuatu yang keliru dari ucapannya membuat lelaki itu lalu kembali berucap. “ah, Rose, maaf bukan seperti itu maksudku.”
Rose menanggapinya dengan senyuman. “Aku mengerti,” kata Rose. “oh ya, kalian tinggal di mana malam ini?”
Mulut Maikel megap-megap. Sekilas memandang Axel lalu Rose memutar wajah menatap lelaki di sampingnya.
“A- ah ....” Axel pun tak tahu harus berucap apa.
“Dia akan menginap di tempatku, Rose,” ucap Maikel akhirnya.
Rose kembali memutar wajah. “Di mana?” tanya gadis itu. Sekalipun suaranya sudah semakin terdengar parau.
“Di dekat kampus Maranatha, deket kok dari sini,” ujar Maikel.
Mulut Rose terbuka. Gadis itu mengangguk lambat-lambat.
“Ya sudah, habiskan dulu tehnya, Rose. Kami akan ada di sini hingga malam,” ucap Axel. Dia menatap Maikel dan lelaki itu mengangguk.
“Eh, tapi, aku keluar bentar gak lama, ya.”
Mendengar ucapan Maikel membuat Axel dan Rose kompak menganggukkan kepala. “Oke, Axe, baik-baik di sini, ya. Nanti kujemput,” ucap Maikel sekali lagi.
Axel kembali menganggukkan kepalanya. “Baiklah, hati-hati di jalan, Maiky.”
“Sip,” balas Maikel sambil mengacungkan jempolnya. “Rose!” Mendengar panggilan Maikel membuat Rose mengangguk. “jangan sedih udah ada Axel,” lanjutnya.
Rose hanya terkekeh kecil lalu memalingkan wajah. Namun, jauh di dalam hatinya dia tak bisa bohong bahwa dia lega melihat Axel berada di tempat ini. Setidaknya itu bisa mengalihkan kesedihan yang dialaminya.