35. Tears

1054 Kata
“Ro-“ “ROSE!” Gadis muda berwajah sendu itu kemudian memutar wajah. Susah payah Rose memicingkan kedua mata untuk dapat memfokuskan pandangan, lalu sejurus kemudian dia pun membelalakkan mata saat melihat visual seorang lelaki muda bermata hazel berlari menghampiri dirinya. Sementara itu, ada seseorang yang berlari dari arah berlawanan. Dia begitu dekat dengan Rose, tetapi langkahnya kemudian terhenti sewaktu memandang wajah Rose yang malah memilih untuk menatap si lelaki muda berambut cokelat kekuningan tersebut. Dany memicingkan mata, memerhatikan gerakan si pria. Embusan napas panjang nan berat itu, menandakan seberapa khawatir dirinya pada Rose. Membuat pertanyaan dalam benak Dany, siapa lelaki itu dan bagaimana dia bisa mengenal Rose. “A- Axe?” Gumaman dari suara lirih Rose terdengar hingga ke rungu Dany. Semakin membuat lelaki itu bingung dengan situasi yang sedang terjadi. “Rose!” Dany terheran-heran mendengar cara lelaki itu memanggil nama mantan kekasihnya. Dia berhenti tepat di depan Rose dan ada apa dengan pandangan mata mereka. “Axe ....” ‘Axe?’ batin Dany. Lelaki itu masih berdiri di tempatnya sambil mematri pandangan kepada dua orang di depannya. “Rose, aku telah mendengar semuanya,” ucap Axel. Dia mendesah berat hingga kedua bahunya merosot. Lelaki itu pun tak ragu memegangi wajah Rose dengan kedua tangannya sontak membuat Dany terbelalak. “Aku turut berduka cita.” Lanjut Axel. Ada banyak pemikiran yang bergejolak di dalam benak Rose. Salah satunya pemikiran tentang, mengapa lelaki itu bisa berada di sini dan di sisi lain, tanpa perlu disadari, sebenarnya ada sesuatu yang seperti melega di dalam diri Rose. Namun, semua itu terhalangi oleh perasaan duka yang mendalam sehingga Rose memilih untuk menundukkan wajah. Samar terdengar suara tangisan yang berusaha ditahan oleh gadis itu, tetapi Axel sanggup mendengarnya. Dia pun langsung menarik sekaligus membawa tubuh Rose ke dalam pelukannya. Tangisan Rose pun kembali pecah. Namun, berbeda dari sebelumnya. Kali ini, Rose merasa tak perlu menyembunyikan penderitaannya. Tubuh yang kini sedang membungkusnya seperti sedang mengisyaratkan bahwa Rose pantas menangis. Bahwa hanya dengan menangis Rose bisa merasa baik-baik saja. Maka Axel pun tak ragu untuk memberikan perhatian lebih. Satu tangannya melingkari punggung Rose, sementara satu tangannya yang lain beranjak ke atas dan mengusap belakang kepala gadis itu. “Oh, Rose, maafkan aku,” gumam Axel. Didorong oleh instingnya, dia pun memberikan kecupan pada puncak kepala gadis itu. Tangisan Rose semakin histeris. Suaranya menggema di depan d**a Axel. Lelaki itu pun menutup mata dan membiarkan dirinya juga merasakan kesedihan yang dialami oleh Rose. Tak ada kalimat yang terucap di bibir Axel. Dia seolah memahami dengan betul bahwa satu-satunya yang dibutuhkan oleh Rose saat ini hanyalah pelukan yang membawa kehangatan dan Axel dengan sepenuh hati melakukannya. Sementara itu, tak jauh berdiri di sana, masih ada Dany yang sedari tadi mematri pandangan kepada dua orang yang tengah berpelukan tersebut. Sekarang Dany jadi tahu mengapa Rose tak mau menerimanya lagi. Lelaki itu mendesah berat sebelum akhirnya memalingkan wajah, mengangkat kaki dan perlahan pergi menjauh dari tempat itu. *** Bandung, Indonesia 02.22 pm Suasana dukacita begitu kental terasa di pelataran lahan pekuburan. Begitu banyak orang berpakaian serba hitam berdiri di sekeliling tempat peristirahatan terakhir dari Catherine Agustina. Tak hanya dari kerabat sekaligus teman sepelayanan dari Catherine, tetapi semua orang yang pernah merasakan kebaikan dari wanita itu datang dan melihat bagaimana Catherine akan dibawa ke tempat peristirahatan terakhirnya. Di sekeliling tempat itu, terdapat taburan bunga, ucapan belasungkawa yang menjadi penghormatan terakhir untuk wanita berhati mulia tersebut. “Sebab, semua manusia sedianya akan ke sana.” Suara itu terdengar, dari seorang pria yang merupakan pemuka agama. Lelaki yang juga menjadi mentor, teman, sekaligus saksi perjuangan hidup dari Catherine Agustina. Orang-orang itu tampak sedang menahan tangis. Di bawah langit yang sedari tadi telah menjadi mendung. Seolah-olah alam semesta juga tak rela melepas kepergian dari wanita yang sudah mengabdikan seumur hidupnya untuk melakukan kebaikan. Maikel juga ada di sana. Dia yang menemani Axel untuk datang ke Bandung. Lelaki itu berdiri tak jauh di belakang Axel. Dan, ada di antara mereka para pelayat itu, seorang gadis yang tak berhenti menangis sekalipun matanya sudah berubah sebam. Sekalipun tak ada lagi suara yang keluar dan sekalipun kerongkongannya sudah begitu sakit. Gadis itu masih memerhatikan bagaimana ibu angkatnya itu dibawa ke rumah terakhirnya. Di sisi lain, masih di bagian orang-orang yang berkabung tersebut, ada Dany yang tak bisa mengalihkan pandangannya dari lelaki berambut ikal dan berwarna cokelat kekuningan tersebut. ‘Dia bukan orang Indonesia. Di mana Rose bertemu dengannya? Apa di Bali? Tapi ... Rose bukan tipe wanita yang bisa dengan gampang dekat dengan seorang lelaki.’ Hanya Dany satu-satunya manusia yang tidak terbawa perasaan mendengar tangisan orang-orang di sekelilingnya. Sungguh, pemandangan di depannya jauh lebih menarik perhatian daripada memandangi orang-orang di sekelilingnya. Dany tak bisa dengan begitu saja mengabaikan fakta bahwa ada sesuatu yang terjadi di antara mantan kekasihnya dengan lelaki muda berparas Amerika tersebut. ‘Gak mungkin dia pacar, Rose. Kalau dia pacar Rose, kenapa dia baru kelihatan? Ke mana dia selama ini? Lagi pula dia terlihat masih seperti anak-anak. Apa ... aku yang berlebihan, ya?’ Dany terus menerus membatin. Segala asumsi terbentuk di dalam benaknya. Namun, di balik semuanya itu, Dany pun merasa tak terima apabila lelaki muda itu nyatanya adalah kekasih dari Rose. ‘Seharusnya aku yang ada di sana. Dia tidak punya hak menyentuh tubuh Rose. Dan ... apa mereka sudah melakukannya? Sial! Jika itu benar maka pria itu mengambil untung lebih banyak. Aku saja tak pernah menyentuh Rose. Awas saja kalau dia berani macam-macam pada Rose. Tak akan kumaafkan.’ “Maka di sinilah kita berada. Menyaksikan peristiwa yang teralami atas seizin Tuhan. Almarhumah Catherina Agustina, telah menjalankan tugasnya di dunia dengan sangat tulus. Biarlah Tuhan yang menilai dan menilik kehidupan almarhumah. Apa pun yang beliau lakukan semasa hidupnya akan diperhitungkan oleh Tuhan. Kita yang masih hidup ini, janganlah larut dalam kesedihan sebab kita percaya bahwa mereka yang telah mendahului kita berpulang ke rumah Bapa, telah mendapatkan peristirahatan dalam damai. Menjadi satu pengharapan iman bahwa kelak, kita akan bertemu kembali di rumah Bapa.” Rose menutup matanya. Memutar wajah dan menguburnya ke dalam pelukan Axel. Tangannya mencengkeram kemeja hitam yang dikenakan oleh Axel. Sementara lelaki itu mengencangkan pelukannya pada tubuh Rose. Sungguh, Rose benar-benar masih ingin melihat wajah Catherine. Rose sangat tak sanggup melihat Catherine kini sedang dikuburkan. Namun, jika Tuhan sudah berkehendak, maka tak ada satu pun manusia yang sanggup menentang dan bahkan mengubah rencana Tuhan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN