37. You Deserve to be Happy

1729 Kata
“Halo?” “Rose, astaga ....” Terdengar embusan napas panjang disertai desahan lega dari seberang sambungan telepon. “aku mencoba menghubungimu beberapa kali, tapi ponselmu tidak aktif,” ujar Karina. “Ya, Karin, gak apa-apa. Aku ngerti kamu sibuk banget di sana. Makasih ya, sudah menyempatkan waktu untuk menelepon. Makasih juga sudah bolehin Axel sama Maikel datang,” ujar Rose. Sekali lagi Karina mendesah. “Rose, aku tahu kamu pasti bersedih. Catherine adalah segalanya bagimu. Sungguh, Rose, andai aku tidak sedang melakukan riset, aku pasti sudah pulang dan menemanimu.” Sudut bibir Rose terangkat membentuk senyum di wajah. “Iya. Gak apa-apa. Aku ngerti, kok. Kamu kirim karangan bunga saja aku sudah senang. Apalagi kamu mengirim Axel dan Maikel. Itu sudah lebih dari cukup, kok,” ujar Rose. Untuk kesekian kalinya terdengar desahan berat dari seberang sambungan telepon. “Tapi itu semua pasti gak bisa mengurangi rasa sedih di hati kamu. Rose,” ucapan Karina terhenti sewaktu dia kembali mendesah. “kamu yang kuat ya.” Gadis itu tersenyum sendu sebelum menjawab, “Iya. Aku pasti kuat kok. Kamu tenang aja,” kata Rose. “Rose, kamu gak sendirian, okay?” Rose mengulum bibir sebelum menganggukkan kepalanya. “Ya, aku tahu, Karin,” ucapnya. “Yes. Anytime you need me, just call me. I’m not too busy, Rose. Aku hanya sedang melakukan riset dan sometimes, aku suntuk dan ingin bicara denganmu, tapi aku mengerti bagaimana kamu belakangan ini terlalu fokus pada Catherine. Well, Rose, you need someone to talk. Ada aku, Axel, Maikel, mbok Agni, Bang Made. Semuanya. Kita ada buat kamu, Rose. Don’t let yourself think that you are lonely. Kita semua ada untuk kamu, okay?” Mendengar ucapan Karina membuat Rose tergelak singkat. “Aku sedang tidak bercanda, Rose.” Rose pun mengangguk. “Aku tahu,” katanya. “But, I know you need it. Tertawa lagi,” ucap Karina. Rose hanya tersenyum. “Terima kasih,” kata Rose. “kau tahu, aku sempat marah pada Tuhan. Aku menyangkal pada-Nya, tapi belakangan aku jadi menyadari bahwa semua ini adalah jalan terbaik. Inilah satu-satunya cara untuk menyembuhkan Catherine. Aku pikir aku terlalu egois. Aku hanya berpikir tentang diriku. Aku mengabaikan fakta bahwa Catherine pun menginginkannya. Maksudku, dia selalu bilang padaku kalau dia rindu melayani Tuhan di rumah-Nya, tapi aku bersikeras mengatakan bahwa aku masih membutuhkan dia. Anak-anak masih membutuhkan dia. Banyak yang membutuhkan Catherine di sini, tetapi aku salah,” ujar Rose panjang lebar. “Kamu tidak salah, Rose,” sergah Karina dengan lembut. “setiap manusia punya sisi egois. Aku pun tak mau kehilangan ibuku, ayahku, keluargaku, sahabatku. Serasa aku berpikir, Tuhan, kalau boleh aku dulu saja yang dipanggil.” Rose terkekeh. “Ya, aku berdoa pada-Nya dan memohon seperti itu. Kubilang bahwa aku saja yang menggantikan posisi Catherine. Itu akan lebih baik,” ujar Rose. “Hem,” gumam Karina. “tapi kamu tidak bisa memerintah Tuhan. Dia tahu mana cara yang terbaik untuk manusia. Gak ada satu pun rencana Tuhan yang mendatangkan malapetaka.” “Ya, aku tahu,” gumam Rose. Ia pun menundukkan kepalanya. “untuk itulah aku merasa lebih lega sekarang. Catherine tak mengeluh lagi sakitnya.” “Ya, Rose, Catherine pergi dengan damai. Aku juga menangis di sini. Orang tuaku menelepon, mereka juga agak gak percaya gitu waktu dengar kabar kalau Catherine sakit parah. Dan ... ya, waktunya singkat banget, tapi apa yang sudah diajarkan ke kita itulah yang akan kita pegang seumur hidup, bukan begitu?” Ada seberkas cairan bening yang mengumpul di pelupuk mata Rose, gadis itu lalu menganggukkan kepalanya. “Ya,” gumam Rose. “Hem ... dia sudah berjasa atas hidup banyak orang. Misinya di dunia telah selesai. Sekarang dia pantas mendapatkan peristirahatan yang damai. Oh ... aku benar-benar menyesal tak bisa mengucapkan selamat tinggal secara langsung.” “Tak apa, Karin,” kata Rose. “kamu dan keluargamu sudah baik banget ke kita. Dia juga sering sih nanyain kamu. Pas waktu kita baru selesai telepon waktu itu, aku bilang kamu nelpon dan dia seneng banget. Dia juga bangga waktu aku bilang kamu melanjutkan kuliahmu di sana. Dia seneng banget. Pokoknya selama aku nemenin dia, yang dikeluhkan Catherine cuma pas waktu mau kemo itu. Katanya sakit banget dia gak kuat.” “Iya, Rose. Kemoterapi itu untuk beberapa pasien memang terasa sakit. Otot seperti diremas, seluruh tubuh sakit bahkan sampai di lidah. Apalagi Catherine sudah berumur, itu memang mengganggu, Rose.” “Hem,” gumam Rose. Sejurus kemudian dia pun terkekeh rendah. “aku ingat wajahnya saat terakhir kali, dia seperti tersenyum gitu. Kayak udah lega aja,” kata Rose. “Ya, Catherine benar-benar damai saat berpulang. Sekarang waktunya untuk kamu, Rose. Kamu berhak melanjutkan hidup. Aku yakin Catherine gak mau kamu berlarut dalam kesedihan. Cobalah untuk mencari kesenangan untukmu, Rose. You deserve that.” Rose kembali dibuat terkekeh. “Ya, tentu. Aku akan melakukannya.” “Itu bagus. Oh ya, Rose, kamu masih ke Bali, kan?” Untuk sekejap, Rose terdiam. Dia butuh satu tarikan napas panjang sebelum akhirnya gadis itu menganggukkan kepalanya. “Ya,” gumam Rose. “Baguslah. Kamu tinggal di sana aja, Rose bareng Axel. Oh ya, katanya dia juga mau kuliah, kan?” Rose terbelalak. “Dia udah ngomong?” tanya Rose. “Dia gak ngomong secara gamblang. Dia cuma bilang pengen jadi sesuatu yang berguna. Terus gue tawarin aja dia kuliah di hospitality school. Biar di Bali aja. Milik temen gue kok. Kalau di reguler kan agak ribet. Belum juga lu harus bolak-balik bawa dia ke terapis. Gue udah atur semuanya. Lu tinggal bawa dia ke tempat teman gue dan dia bakalan urus sisanya.” Rose mendesah. “Karin, kamu benar-benar dermawan,” ucapnya. “Ah, lu bisa aja. Lagian dia udah gue anggep ade sendiri kok. Oh ya, selama ini lu gak update perkembangan terapi dia, kan?” Saat itu, jantung Rose berkedut dengan tekanan menyakitkan membuat dia terbelalak. “Hem,” gumamnya. Sejurus kemudian, Rose bergeming. “ak- aku terlalu sibuk dengan Catherine, jadi aku lupa bertanya.” “Gak apa-apa. Aku ngerti kok. Marsel selalu chating gue setelah dia selesai memeriksa Axel. Kata dokter Smith, dia punya trauma besar. Ini gue pakai kalimat sederhana biar lu bisa ngerti ya,” ucap Karina. “Hem,” gumam Rose. “Iya, jadi si Axel ini punya kenangan kelam. Kayak sesuatu yang ngeri banget. Nah, semua itu membuat dia takut untuk mengingatnya. Bagaimana ya, kata dokter Smith. Eum ... ibaratnya kayak, dia sudah di depan pintu ini, tapi dia takut banget mau melangkah. Jadi dia milih buat balik. Sampai sekarang sih kita belum bisa memecahkan masalah itu. Karena si Axelnya gak mengizinkan kita buat tahu gitu. Kata dokter Smith itu mengerikan banget. Dia kalo ikut terpainya dokter Smith tubuhnya gemetar, keringat dingin. Dokter Smith gak berani memaksa karena itu bisa mengganggu otaknya. Jadi, kalo menurut gue, si Axel gak perlu ingat masa lalunya. Toh kalo itu kelam banget juga gak membawa manfaat buat dia. Gimana kalo keluarga dia sendiri yang buat dia kayak gitu, kan kita gak ada yang tahu,” jelas Karina. Sunggulah ucapan Karina menimbulkan gejolak dalam benak Rose. “Karin, apa kita gak egois?” tanya Rose. Terdengar desahan dari seberang sambungan telepon. “Aku pikir gak, Rose. Kita melakukan yang terbaik. Tapi, itu gak menutup kemungkinan suatu saat dia bisa mengingat siapa dirinya. Kita gak tahu apa yang akan terjadi di kemudian hari, tapi yang pengen aku bilang ke kamu, kamu gak boleh terlalu memikirkan siapa Axel. Ya, kamu anggap saja dia Axel. Dia teman kamu, I wish kalian juga bisa lebih dari teman.” Mendengar ucapan itu membuat Rose tersenyum miring. “Kamu apaan sih,” gumamnya. “Ya, itu kan harapan aku, Rose. Ya bebas-bebas aja, dong,” kata Karina. Sambil tersenyum, Rose pun menggelengkan kepala lalu memalingkan wajahnya. “Aku tidak ingin memikirkan hal itu untuk sekarang ini,” ujar Rose. “Rose, listen,” Karina kembali bersuara. “yang aku pantau, Axel ingin kamu melihatnya sebagai lawan jenis. Aku sering dengar anak mbok Agni selalu membuat lelucon dengan Axel dan beberapa kali gue facetime sama dia, dia kayak tersipu gitu kalo si Bli udah godain dia,” ujar Karina. Menyebut ‘bli’ menuju kepada Maikel. Sekali lagi Rose tergelak. Dia pun menggelengkan kepala lalu menundukkan kepala. “Maikel memang paling bisa,” gumam Rose. “Tapi kupikir dia memang menyukaimu, Rose. Bang Made juga bilang kalau si Axel pernah tanya, gimana sih caranya bikin kamu senang. Nah, lu bukan awam soal kode-kode itu, kan?” Rose mendengar ucapan Karina membuat Rose tak bisa berhenti tertawa. “Karin, apa kamu tidak punya topik lain untuk dibicarakan?” “Tidak,” jawab Karina dengan lantang. “satu-satunya yang ingin kubicarakan adalah Axel dan kamu harus menghargai usahanya. Tidak ada salahnya jatuh cinta lagi, Rose. Dan Axel juga adalah seorang lelaki. Terlepas dari apa pun yang pernah dia alami. Kamu juga pantas memberinya kesempatan. Tidak ada yang tahu dengan siapa kita akan berjodoh.” Kali ini Rose tidak berniat untuk melawan ucapan Karina. Gadis itu hanya bisa tersenyum dan menundukkan kepala. “Hem, akan kucoba,” gumam Rose. “Itu bagus. Lagi pula ... kamu memangnya tidak memperhatikan transformasi dari Axel?” Rose mengerutkan dahi. “Maksudmu?” Terdengar gelak tawa dari seberang sambungan telepon. Karina tertawa hingga terbahak-bahak. “Astaga! Aku tidak ingin memperjelasnya. Biar kamu sendiri yang melihatnya. Anyway, aku sudah menghubungi temanku yang bekerja di perusahaan penerbit. Katanya dia sedang membutuhkan editor naskah. Kamu tak perlu ke kantor dan bisa bekerja di rumah. Akan kukirim alamat emailnya padamu dan kamu bisa menghubunginya kapan pun kau siap.” Rose menghela napas lalu mengembuskannya dengan perlahan. “Ya, baiklah. Akan kupertimbangkan,” ucapnya. “Oke, kalau begitu aku tutup dulu. Nanti kita berkabar lagi.” “Ya, baiklah. Jaga dirimu,” kata Rose. “Ya, kau juga. Oh ya, dan ... jangan lupa untuk bahagia.” Rose tersenyum sebelum menjawab, “Hem, tentu.” “Salam untuk Axel dan orang-orang di rumah ya,” kata Karina. Rose kembali menjawabnya dengan gumaman. “kalau begitu aku tutup dulu telponnya, daah ....” “Daaah ....” Dengan begitu Karina pun mematikan sambungan telepon. Rose mendesah lega, lalu menyatukan kedua tangan di depan d**a. Namun, perkataan Karina malah terlintas di benaknya. Membuat Rose tersenyum. “Ya, mungkin sudah saatnya,” gumam Rose. Ia pun bangkit dan bersiap mengganti pakaiannya untuk segera bertemu dengan Axel.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN