Sembilan puluh hari nyatanya adalah waktu yang singkat. Rose benar-benar tak dapat membayangkan bagaimana hari itu telah tiba.
Kedua kakinya gemetar. Melangkah memasuki sebuah kamar yang sepi.
Tak ada lagi bunyi yang berdengung stabil. Tak ada lagi alat bantu pernapasan. Tak ada lagi keluhan dari sang ibu bahwa tubuhnya sudah sangat menderita.
‘Maafkan kami, Rose, kami sudah berusaha yang terbaik, tetapi semua ada dalam kendali Tuhan.’
Rose mengingat dengan benar kata-kata dari dokter dan pernah terlintas di benaknya bahwa dia ingin menyangkal.
Namun, ada sesuatu dalam diri Rose yang terus membuatnya tak dapat berbicara. Seakan-akan menahan mulutnya menjadi keluh dan melampiaskannya dengan air mata.
Sepasang manik cokelat itu kini berkabut dan tertutup seberkas cairan bening. Tubuhnya gemetar. Rose memeluk dirinya sendiri sambil tetap melangkah.
“Ayo, Rose.”
Sekejap gadis itu menoleh ke samping. Sambil mengulum bibirnya, Rose pun menganggukkan kepala dan kembali memusatkan pandangannya ke depan.
Pandangan sebuah peti berwarna putih di depan sana membuat hati Rose gemetar. Dia pun membawa satu tangannya ke bibir dan meremasnya dengan kuat.
Samar terdengar suara tangisan dari Rose, tertahan di kerongkongan. Gadis itu berusaha keras untuk tidak menangis.
‘Apa yang Tuhan buat adalah baik adanya. Kamu tak boleh menyalahkan Dia, tetapi kamu juga tak boleh menyalahkan dirimu. Aku rindu bertemu dengan Dia dan melayani Dia di rumah-Nya.’
Tangisan Rose pun pecah. “Cathy, ya Tuhan ....” Gadis itu melirih. Kedua tangannya memegangi pinggiran peti yang terbuka, tetapi Rose sama sekali tak memiliki kekuatan untuk dapat menatap seseorang yang terbaring damai di dalam sana.
Wanita yang menemani Rose memasuki kamar tersebut pun tak bisa menyembunyikan kesedihannya. Mereka menangis di samping peti berwarna putih tersebut.
Rose benar-benar menangis. Bahkan hingga suaranya tak terdengar lagi. Parau, serak dan benar-benar hilang. Sejauh ini dia tak pernah berhenti menangis.
Kesedihan yang melingkupinya membuat tak dapat berhenti memanjatkan Doa, tetapi dia pun tak bisa mengubah rencana yang sudah dibuat oleh Tuhan.
“Rose ....” Wanita di samping Rose itu memanggil.
Dia menyeka air matanya dan berusaha untuk tenang. Sejurus kemudian, wanita itu lalu merendahkan tubuhnya untuk sejajar dengan Rose. Dia pun memegangi kedua sisi lengan Rose dan mengusapnya.
“Ibu Kepala sudah tenang. Penderitaannya sudah diangkat. Inilah yang dia inginkan, Rose. Tuhan sudah mengabulkan doanya dan doa kita semua,” ujar wanita itu.
Berharap dia dapat menenangkan Rose, tetapi tak ada satu pun manusia yang bisa memahami bagaimana kesedihan Rose saat ini.
Rasa-rasanya dia tak sesedih ini saat ibu kandungnya meninggal. Rose juga tak sesedih ini saat ayahnya memilih untuk pergi.
Hari ini, saat menyaksikan bagaimana tubuh Catherine telah terbaring kaku di dalam sebuah peti berwarna putih, hati Rose serasa dibelah dua. Rasanya melebihi rasa sakit.
Masih berharap bahwa yang terbaring di dalam sana adalah dirinya. Ini akan jauh lebih baik. Rose tak akan merasa sedih sekalipun. Namun, mengapa ....
“Rose, kita tak punya banyak waktu. Pastor sudah menunggu. Semuanya sudah menunggu. Ayo.”
Sambil terus menangis, Rose membiarkan tubuhnya diangkat oleh wanita yang telah bersama dengan Catherine dan menjadi sahabatnya dalam suka dan duka.
Kesedihan itu bertambah semakin besar dan semakin besar di setiap detiknya ketika pun Rose akhirnya memandang tubuh Catherine.
“Wajahnya terlihat damai, bukan?” tanya Magdalena, teman seperjuangan Catherine.
Rose pun mengangguk. Dengan tangan yang gemetar itu, dia berusaha menyentuh wajah Catherine. Lalu matanya terpejam sewaktu tangannya mendarat pada permukaan wajah Catherine.
Terasa dingin. Tak seperti sebelumnya. Kadang kala hangat, kadang kala panas. Seketika Rose mengingat hari-hari terakhir mereka.
“Dia tak pernah menangis,” kata Rose dengan suaranya yang serak. Wanita di sampingnya itu mengangguk.
“Cathy tak pernah mengeluh. Dia selalu bahagia dan, dan, dan ... dia bilang bahwa inilah yang dia inginkan. Mengetahui ba- bahwa di- dia ak- akan segera pe-pergi.”
Magdalena menarik tubuh Rose dan memeluknya. Membiarkan gadis itu kembali mencurahkan air matanya.
“Ssshhh ....” Magdalena bergumam sambil mengusap sebelah sisi tubuh Rose. “jangan sedih,” katanya dengan lembut. “Ibu Kepala tak ingin kamu bersedih, bukan?”
Sambil membiarkan tubuhnya dalam pelukan Magdalena, Rose pun menganggukkan kepala.
Butuh beberapa detik hingga Rose benar-benar tenang. Dia pun menyeka air matanya dan kembali menegakkan badan.
Walaupun berat, tetapi Rose tak punya cara lain selain untuk merelakan Catherine pergi untuk selamanya.
Maka gadis itu membungkukkan hingga setengah badan, kemudian mendekatkan wajahnya ke wajah Catherine.
Bibir Rose bergetar. Ini benar-benar sulit. Rose bukan seseorang yang bisa menyembunyikan kesedihannya. Dia tidak pintar mengubah-ubah ekspresi. Pura-pura terlihat senang, tetapi hatinya benar-benar hancur.
“Cath ...,” lirihnya parau. “terima kasih.” Rose menutup mata dan menundukkan wajah. Tangannya masih membelai dahi Catherin.
“Terima kasih sudah merawatku. Terima kasih sudah mengajarkan mana hal baik dan buruk padaku. Terima kasih sudah mengenalkan Tuhan padaku. Terima kasih untuk semua yang kamu berikan dan mengubah hidupku. Cath, kamu ibuku.”
Rose berhenti sejenak. Menatap Catherine sambil berusaha untuk menenangkan dirinya. Mungkin sulit, tetapi seperti kata Magdalena, Catherine tak mau Rose bersedih dan dia sudah mengingat-ingatkan gadis itu.
“Istirahatlah dengan damai, Ibu,” bisik Rose.
Sekuat tenaga Rose menyeret wajahnya ke atas untuk memberikan kecupan terakhir pada dahi Catherina.
“Selamat tinggal,” kata Rose sambil menahan tangisannya.
Sambil mematri tatapan pada wajah Catherine, Rose pun mulai menarik tubuhnya hingga berdiri tegap. Dia pun melangkah mundur untuk memberikan kesempatan bagi Magdalena.
Alih-alih menangis, Magdalena malah memanjatkan doa di samping peti tersebut. Rose menunduk dan membiarkan air matanya jatuh.
Pandangannya buram, tetapi tidak dengan rungunya. Dia mendengar apa yang diucapkan oleh Magdalena. Dan semua itu membuat Rose semakin bersedih.
“Sampai bertemu di sana, Ibu Kepala,” ucap Magdalena. Dia pun memberikan kecupan di dahi Catherine.
Setelahnya, Magdalena pun memutar tubuh. Menghampiri Rose yang berada di belakangnya.
“Ayo,” kata Magdalena.
Tidak ada alasan untuk menolak. Rose pun menganggukkan kepalanya dan membiarkan Magdalena membawanya keluar.
Sesekali Rose menoleh ke belakang, merasakan sesuatu mencelos perih dari dalam hatinya. Namun, sedianya Rose hanya bisa mengikhlaskan.
“Pemakaman sudah siap,” kata seseorang yang menunggu di depan ruang mayat.
Magdalena mengangguk. “Baiklah, kalau begitu mari kita bawa Ibu Kepala ke tempat peristirahatan terakhirnya,” ucap wanita itu.
“ROSE!” seru seseorang.
Refleks, Rose memutar wajahnya. Seketika ia mendelik saat memandang sepasang manik hazel juga rambut kuning keriting yang panjang itu.
“ROSE!”
Dia berlari terburu-buru menghampiri Rose. Sementara gadis itu terdiam kaku dan merasakan sesuatu yang bergetar berbeda di hatinya.