“Kamu yakin akan pulang hari ini juga?”
Satu tarikan napas panjang membuat Axel memberanikan diri untuk menganggukkan kepala. “Ya,” jawab lelaki itu.
“Baiklah,” ucap dokter Marsel. “aku mengizinkannya.”
“Really?!” pekik Axel tak percaya.
“Ya,” kata dokter Marsel. “semua sudah membaik. Tak ada gangguan apa pun di otakmu. Pendarahan di hidung bukan karena reaksi dari trauma di otak, tetapi dari pukulan keras di wajahmu,” tutur dokter Marsel.
Tampak Axel menyeret pandangannya ke bawah. Rose yang melihatnya lalu mengernyit, memindahkan tatapan pada dokter Marsel.
“Tak apa, kata Jared, polisi sudah menangkap pelakunya.” Ucapan dokter Marsel membuat Axel lalu mendongak.
“Who’s that?!” tanya lelaki itu dengan rasa panik.
Kali ini giliran dokter Marsel yang menghela napas panjang, lantas mengembuskannya dengan desahan.
“Polisi masih menginterogasi lelaki itu,” jelas dokter Marsel.
Tampak Axel menelan saliva. Sepasang manik hazel yang membulat itu perlahan bergerak turun. Ada sesuatu yang membuat jantung Axel berkedut. Ia memang sama sekali tak mengenali siapa lelaki yang sudah memukuli wajahnya malam itu. Namun, sejujurnya dia mungkin sudah mengetahui siapa dalam dari kejadian yang menimpanya.
“Kalau begitu bisa aku pergi?” tanya Axel.
Dokter Marsel sempat mendelik, terkejut. Dipikirnya, Axel akan bertanya identitas lelaki itu. Sejujurnya dokter Marsel sudah menyiapkan jawaban, tetapi berhubung Axel tidak menanyainya, maka dokter Marsel merasa bahwa dia juga tak perlu mengatakannya. Mungkin Axel lebih senang menanyai pria itu secara langsung.
“Sure!” jawab dokter Marsel. “tapi jika kamu merasakan apa pun, jangan ragu untuk menghubungiku.” Lanjutnya.
Axel pun menarik sudut bibirnya ke atas, membentuk senyum saat ia menganggukkan kepala. “Itu sudah pasti,” kata lelaki muda itu. “memangnya pada siapa lagi aku harus meminta tolong selain padamu.” Lanjut Axel. Ucapannya membuat dokter Marsel terkekeh.
“Oke,” ucapnya. “aku tidak perlu memberimu obat, karena kamu sudah baik-baik saja.”
Axel mengangguk. “Aku juga sudah bosan minum obat,” ucapnya. Sekali lagi dokter Marsel terkekeh. Ia mendekat lantas menepuk pangkal bahu Axel.
“Jaga kesehatanmu, ya.”
Sambil mengulum bibirnya, Axel sekali lagi menganggukkan kepala. Dia pun menoleh ke samping. “Rose,” panggilnya.
Wanita yang sedari tadi berdiam diri di samping Axel lalu bergeming. “Oh!” Rose pun mengerjapkan matanya untuk mengumpulkan kesadaran. “ayo!” ucapnya.
Sekali lagi Axel tersenyum. Ia pun menganggukkan kepala, lantas turun dari atas bangsal. Keduanya pamit pada dokter Marsel sebelum beranjak dari tempat itu.
“Axe, apa kamu tidak ingin ke kantor polisi?” tanya Rose di sela-sela tangannya sibuk memakai sabuk pengaman.
Axel menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya dengan cepat. “Tidak,” jawabnya dengan pasti.
Seluruh gerakan Rose terhenti, memaksanya untuk mendongakkan wajah. Gadis itu mengerutkan dahinya.
“Kau yakin?”
Pertanyaan Rose membuat Axel memutar pandangannya, menatap gadis di sampingnya. Untuk sekelebat, ia terdiam memandangi wajah Rose, tetapi dengan cepat lelaki itu menarik sudut bibir dan membentuk senyum di wajah.
“Ya,” jawab Axel singkat.
Tampak Rose memerengut bibir lalu mengedikkan kedua alisnya. “Oke,” ucap gadis itu. Ia pun memutar tubuh. Tangannya bergerak cepat memutar kunci mobil lalu segera membawa Axel pergi dari sana.
“Oh ya, Axe, mumpung cuacanya sedang bagus, apa kamu mau melihat matahari terbenam bersamaku?”
Ada sesuatu dalam pertanyaan Rose yang seketika membuat jantung Axel berkedut dengan tekanan aneh. Sepasang alis yang sempurna miliknya lalu mendelik. Axel pun memutar pandangannya ke samping.
Terlihat senyum di wajah Rose, seketika membuat jantung Axel berdegup dengan kencang dan membuatnya gugup.
“Ehm!” Lelaki itu hanya berdehem lalu kembali membawa tatapannya ke luar jendela.
Rose yang mendengarnya lalu mengerutkan dahi. Sekilas ia memandang ke samping lalu kembali berfokus pada jalanan di depannya.
“Jadi bagaimana?”
Butuh beberapa saat bagi Axel untuk menenangkan degup jantungnya sebelum akhirnya Axel menganggukkan kepala.
“Bo- boleh,” ucapnya setengah menggagap.
Rose tersenyum semringah. “Oke ...,” ucapnya. Ia pun menekan pedal gas hingga mobil itu semakin melaju dengan kencang menuju ke sisi Utara.
Hanya beberapa menit, mereka pun sudah tiba di sebuah pantai yang tergolong sepi. Axel pun mengerutkan dahi saat melihat sebuah batu. Rose yang melihatnya lalu terkekeh.
“Ya, kita pernah ke sini,” ucapnya.
Lalu Axel mengerutkan dahinya. Ia pun memutar wajahnya lambat-lambat. Rose kembali menatapnya.
“Tapi kali ini kita akan pergi ke bawah,” ucap Rose.
Axel kembali memalingkan wajah. Sungguh, ia tak bisa memandang wajah Rose lama-lama. Jantungnya bagai ingin melompat keluar hingga napasnya pun mulai berembus cepat.
Sementara Rose kembali berfokus pada jalanan di depannya. Menuruni jalan setapak yang di sisinya sudah banyak yang rusak. Rose benar-benar harus ekstra hati-hati.
“s**t!” Gadis itu memaki sewaktu bagian kiri mobil masuk ke lubang kecil. “you okay?” tanya Rose sambil berfokus pada jalanan di depannya.
“Hem,” gumam Axel singkat.
“Okay, hanging there, we’re almost there,” ucap Rose.
“Just be carefull, Rose,” ucap Axel.
“Ya, aku sedang mengusahakannya.” Rose menjawab sambil berfokus pada jalanan di depannya.
“Sial! Jalannya benar-benar sudah rusak parah!” gerutu Rose.
Axel menutup mata saat mobil Rose selalu masuk ke lubang hingga membuatnya tersentak di tempat. Astaga! Jantung Axel yang tadinya berdetak cepat karena rasa gugup, kini berdegup kencang oleh rasa takut.
Salah bergerak saja, bisa-bisa mobil ini terjun ke jurang. Namun, Axel sudah pasrah. Selagi Rose ada di sampingnya. Wanita itu selalu bisa mengendalikan situasi.
“All right, here we are!”
Axel kembali bergeming sewaktu mendengar suara Rose yang memekik gembira. Wanita muda itu menekan pedal gas hingga mobil itu melesat dengan cepat. Sekali lagi memasuki jalan setapak, Rose pun memarkirkan mobilnya di sana.
“Oke, ayo kita turun,” ucapnya.
Sekilas wanita itu menoleh ke samping, ia pun terkekeh melihat raut wajah Axel yang tampak pucat.
“Astaga! Aku sudah mahir membawa mobil, yang tadi itu bukan apa-apa,” ucap Rose.
Axel mendengkus. Andai Rose tahu bagaimana perasaan Axel tadi. Serasa perutnya berputar dan membuat Axel ingin buang air. Perasaannya sudah berkecamuk, tetapi Rose dengan santai berkata seperti itu sambil terkekeh.
Raut wajah Axel yang cemberut adalah hiburan terbaik untuk Rose. Entah mengapa, wajahnya terlihat lucu saat lelaki itu sedang berusaha menyembunyikan rasa kesal dan amarahnya.
“Astaga ....”
Sambil menggelengkan kepala, Rose pun mendorong pintu di sisi kanan. Dengan cepat ia membuka sambuk pengaman lalu melesak keluar dari mobil, menyusul Axel yang sudah lebih dulu turun.
Gadis itu menghampiri Axel lalu dengan cepat melingkari lengan Axel. “Ayo!” ajak Rose antusias.
Axel mengerutkan dahi, memandang lengannya yang kini dalam sergapan Rose. Sekilas lelaki itu memandang wajah Rose dan dia tampak sialan cantik dengan cara tersenyum, lalu tergelak seperti sedang mengejek Axel.
Ya Tuhan, Rose hanya tidak tahu bahwa Axel setengah mati gugup oleh tingkahnya.
“Come on,” ajak Rose sekali lagi sambil mengedikkan kepala menunjuk bibir pantai.
Tidak ada reaksi yang ditunjukkan oleh Axel. Ia berusaha mengikuti Rose sambil menahan degup jantungnya yang mulai menggila.